Bab 7. Kepuasan Bagi Oliver

1053 Kata
“Aku harus pergi. Maaf, kita belum bisa pergi berbulan madu,” ujar Oliver seraya merentangkan sedikit tangannya ke samping. Pria itu sedang berdiri di depan kaca besar. Seorang perempuan muda dengan seragam pembantu di mansion tersebut segera memasukkan lengan jas ke tangan sang majikan. Memakaikan jas tersebut ke tubuh tegap yang sudah terbungkus kemeja lengan panjang warna hitam. Wanita muda itu kemudian berjalan ke depan Oliver. Tanpa bicara, wanita itu mengancingkan jas kemudian merapikannya. Di tempatnya duduk, Hazel hanya memperhatikan. Tidak habis pikir bahwa ternyata pria itu masih membutuhkan bantuan pembantu rumah hanya untuk memakai pakaian kerjanya. Sungguh di luar akal Hazel. Berapa umur pria itu? 35 tahun. Benar-benar gila. “Jangan keluar dari rumah tanpa seizinku.” Oliver kembali bersuara. Pria itu menatap sang istri dari dalam cermin besar di depannya. “Kamu mengerti, Sayang?” Oh …. Hazel mengerjap. Lamunannya buyar. Wanita itu menggeser bola mata hingga menemukan sepasang mata Oliver dari dalam cermin. Hazel mengangguk patuh. Oliver tersenyum. “Aku akan mengurus pekerjaanku. Setelah itu kita bisa pergi berbulan madu.” Oliver menoleh ke belakang. Pria itu kemudian duduk setelah melihat kursi sudah disiapkan di belakangnya. Setelah duduk, Olive meluruskan kaki. Sementara sang pembantu yang memang dipekerjakan untuk membantu sang pemilik mansion mempersiapkan diri tersebut, segera berlutut di depan Oliver. Mengangkat satu kaki Oliver dan meletakkan ke atas pangkuannya sebelum memakaikan kaos kaki. Hazel hanya bisa menggelengkan kepala dalam bayangannya—melihat seperti apa perempuan itu melayani pria yang berstatus sebagai suaminya. Oliver bukan satu-satunya orang kaya yang ia kenal. Tapi, baru kali ini dia melihat orang kaya seperti Oliver. Entah apa yang ada di dalam kepala Oliver, sampai kaos kaki pun harus dipakaikan pembantu. Ah, apa jangan-jangan perempuan yang masih berlutut di depan Oliver itu juga melayani Oliver di atas ranjang? Hazel menelan saliva membayangkan perempuan itu berada di bawah kungkungan dua tangan kokoh Oliver. Napas Hazer tertarik kasar. Oliver memang br*ngsek. Wajahnya boleh tampan, tapi, kepribadian pria itu nol besar. Ditambah kepribadian lain yang pria itu sembunyikan dari banyak orang. Pria itu jauh lebih mengerikan. “Boleh aku pergi menengok mommy ku?” tanya Hazel seraya menatap Oliver yang sudah menoleh ke arahnya. “Aku akan kesepian di rumah ini sendirian.” Hazel membuat alasan supaya bisa keluar dari mansion. Oliver tidak langsung menjawab. Pria itu masih menatap lekat sang istri. “Sudah selesai, Tuan.” Mendengar suara pembantunya, Olvier refleks memutus pautan mata dengan sang istri kemudian memutar kepala. Bola matanya bergerak. “Um, apa masih ada yang Tuan perlukan?” Wanita itu berdiri di depan Oliver dengan jari-jari tangan terjalin di depan tubuhnya. Kepala menunduk, namun bola matanya bergerak ke atas. “Tidak.” "Ti-tidak?" Wanita itu mengangkat kepala. Tampak terkejut mendengar jawaban Oliver. Kening Oliver mengernyit. “Pergilah,” titah pria tersebut sambil mengedik kepala ke arah pintu. “Pe-pe-pergi?” Lagi, wanita yang berdiri di depan Oliver terkejut mendengar sang majikan mengusirnya. Tangan yang saling terjalin di depan tubuh itu diremas-remas oleh sang pemilik. “Apa perintahku masih tidak jelas? Keluar. Kamu bisa membuat istriku salah paham.” Disebut oleh sang suami, Hazel mengerjap. Apa benar dia salah paham? Rasanya tidak. Dia perempuan. Dia bisa melihat gelagat tak biasa pembantu yang satu itu. Jelas sekali wanita itu sedang berusaha menggoda Oliver. Hazel menahan dengkusan. Hazel tidak peduli dan tidak mempermasalahkan. Bukan urusannya. Dia hanya akan memikirkan dirinya sendiri. Bagaimana cara agar bisa lepas dari pria mengerikan itu. Sang pelayan langsung membungkuk sebelum memutar langkah kemudian mengayun kedua kakinya meninggalkan sang tuan dengan rasa kecewa. Sementara Oliver beranjak dari tempat duduk. Pria itu melangkah menghampiri ranjang, tempat sang istri masih duduk. Oliver menghentikan ayunan kaki di depan sang istri. Pria itu menunduk untuk memberikan kecupan di puncak kepalanya. “Aku akan minta Frank untuk mengantarmu dan menunggumu.” Mendengar satu kalimat tersebut, sepasang mata Hazel terbuka lebih lebar. Refleks wanita itu mengangkat kepala. Terkejut ketika Oliver bergerak cepat mengecup bibirnya. Meskipun sebenarnya kesal, namun karena ada hal lain yang sedang ingin ia konfirmasi, kali ini Hazel tidak mempermasalahkan kelakuan Oliver. “Aku boleh pergi?” tanya Hazel memastikan. Tidak menyangka akan semudah ini. Ia pikir akan sulit. “Tentu saja. Aku tahu kamu merindukan mommy mu.” Oliver tersenyum melihat perubahan ekspresi wajah Hazel. “Tapi ingat. Sebelum aku pulang, kamu sudah harus kembali ke sini.” Hazel langsung mengangguk setuju. Yang penting ia bisa keluar dulu dari gerbang tinggi mansion yang dijaga banyak pria bertubuh kekar. Urusan lain akan Hazel pikirkan nanti. “Apa kamu senang?” tanya Oliver melihat senyum kecil di bibir Hazel. “Iya, terima kasih.” Hazel menganggukkan kepala. Oliver yang masih sedikit membungkuk itu menggerakkan kepala turun naik. Satu sudut bibir pria itu terangkat beberapa detik selanjutnya. “Kalau begitu, senangkan aku,” lanjut Oliver berhasil membuat senyum kecil Hazel menghilang seketika. Seringai kembali muncul menghias wajah tampan sang CEO. “Cium suamimu, Hazel.” Oliver memperhatikan perubahan ekspresi istrinya. Dia tidak akan puas sebelum bisa membuat Hazel bertekuk lutut di hadapannya. Bagi Oliver, tidak boleh ada satu wanita pun yang menolaknya. “Kenapa? tidak jadi pergi ke rumah mommy mu?” Sialan, batin kesal Hazel. Wanita itu memasukkan oksigen sebanyak yang ia bisa melalui celah bibir. Menahan beberapa detik sebelum menghembus keluar karbondioksida dari tempat yang sama. Ingin sekali Hazel menampar wajah tampan di depannya ini. D*da wanita itu bergerak kentara. Hazel menekan katupan rahangnya. “Baiklah kalau tidak jadi.” Oliver bergerak menegakkan tubuh. Namun, belum juga tubuh pria itu benar-benar tegak, Hazel meraih krah jas Oliver kemudian menariknya. Sambil mengumpat dalam hati, Hazel mencium bibir Oliver. Hazel meremas krah jas Oliver untuk menyalurkan kemarahannya, sementara bibir wanita itu kini bergerak untuk mencium Oliver lebih dalam. Merasa cukup, Hazel melepas tautan bibir mereka. “Itu tadi masih kurang, Istriku.” Giliran Oliver yang kini bergerak. Oliver menarik tengkuk Hazel, melekatkan kembali bibir mereka lalu menggerakkan bibirnya—mengajak Hazel untuk menarikan bibirnya. Pria itu mencium Hazel pelan namun dalam. Menikmati setiap sisi bibir wanita yang sudah resmi menjadi istrinya. Oliver menahan kepala Hazel. Tidak membiarkan wanita itu untuk melepas tautan bibir mereka. Oliver terus menikmati bibir Hazel. Tersenyum di sela ciumannya. Ia akan pastikan sebentar lagi hazel bertekuk lutut di hadapannya. Dia ingin sekali melihat perempuan ini memujanya. Seperti perempuan-perempuan lain di luar sana. Melihat para perempuan bertekuk lutut padanya, adalah kepuasan batin tersendiri bagi Oliver.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN