"Áyo, bawa masuk.” Hazel mendorong pintu lebih lebar. Lampu di dalam klinik yang lumayan besar itu langsung menyala--menerangi seluruh bagian ruangan, setelah Hazel menekan saklar. Wanita itu berderap masuk. Membuka tirai yang dibaliknya terdapat beberapa ranjang pasien.
“Ayo, cepat. Baringkan mereka.” Setelah itu Hazel berlari lebih masuk ke dalam klinik. Masuk ke dalam ruangan khusus tempat berbagai kebutuhan pengobatan tersimpan. Termasuk satu tempat pendingin yang di dalamnya terdapat stok darah.
Tom dan anak buahnya membaringkan dua orang teman sesama pengawal mereka ke ranjang pasien. Mereka kemudian menunggu sampai Hazel kembali dengan membawa satu wadah stainless steel yang cukup besar.
Mereka memperhatikan apa yang dilakukan oleh Hazel hingga akhirnya kantong darah, serta infus menggantung di masing-masing tiang ranjang.
Hazel menghembus napas lega setelah memastikan dua orang pengawal Oliver mendapatkan transfusi darah. Wanita itu memeriksa nadi satu per satu pasiennya. Memastikan aliran infus serta darah berjalan sesuai kebutuhan.
Hasel memutar kepala. “Apa kamu juga terluka?” tanya wanita itu seraya menatap Tom.
Tom terdiam dua detik sebelum akhirnya menjawab. “Tidak, Nyonya. Saya baik-baik saja.”
“Oh … syukurlah.” Hazel menghembus karbondioksida keluar dari celah bibir yang sedikit terbuka. “Aku akan menunggu mereka di sini. Kamu bisa kembali, Tom. Aku harus melihat perkembangan kondisi mereka.”
“Kami juga akan tetap di sini, Nyonya. Biar kami yang menjaga mereka, anda bisa beristirahat.” Tom tidak mungkin meninggalkan Hazel. Bisa putus lehernya kalau ia sampai melanggar perintah Oliver. “jangan khawatir, saya akan panggil anda kalau terjadi sesuatu pada mereka,” tambah Tom melihat keraguan dalam sorot mata Hazel.
Hazel menoleh. Menatap tiga orang lainnya. Sepasang bibir istri Oliver itu mengerut sebelum kembali terbelah. “Baiklah. Aku akan istirahat di ruanganku.” Hazel mengangkat tangan kanannya, menunjuk ke arah yang dimaksud. “Itu, sebelah sana.”
Tom yang sudah mengikuti arah jari telunjuk Hazel, langsung mengangguk paham. “Baik, Nyonya.”
Hazel menatap sesat Tom lalu tiga pengawal lainnya, sebelum akhirnya mengayun kedua kakinya. Hazel berjalan menjauh—meninggalkan dua pasien yang dijaga oleh Tom serta ketiga teman sesama pengawal pria tersebut.
Hazel masuk ke dalam ruang kerjanya. Wanita itu menarik napas dalam lalu menghembus perlahan. Berdiri di dalam ruang kerja yang satu minggu terakhir tidak ia kunjungi lantaran pernikahan mendadaknya dengan Oliver, Hazel mengedarkan pandangan mata.
Hazel menarik lebih banyak lagi oksigen masuk ke dalam paru-paru melalui mulutnya. Suatu saat nanti pria itu pasti akan menjadi dokter bedah hebat seperti papanya, batin Hazel. Wanita itu tersenyum sinis membayangkan sosok yang membuat hatinya patah hingga berkeping.
Rasa sakit itu sampai sekarang belum hilang. Oh, mungkin sekarang mereka sudah menikah. Hazel meramas-remas telapak tangannya. Ternyata mereka memang tidak berjodoh. Ia dikalahkan oleh perempuan yang baru masuk ke dalam hidup kekasihnya. Sungguh tragis sekali kisah percintaannya.
Hazel mengusir perasaan sedih yang menyusup ke dalam hatinya. Tidak ada yang perlu ia tangisi. Ia tidak perlu merasa sedih. Dia hanya perlu membuktikan jika pria itu salah karena sudah melepas perempuan seperti dirinya.
Lupakan, Hazel. Sekarang kamu hanya perlu fokus pada dirimu sendiri. Kamu juga berhak hidup bahagia. Kejar mimpi dan bahagiamu sendiri. Tidak perlu lagi menoleh ke belakang. Masa lalu hanya akan berada di belakangmu. Yang perlu kamu tuju saat ini adalah masa depanmu.
Hazel melanjutkan ayunan kaki menuju satu ranjang di bagian belakang, yang biasa ia pakai untuk memeriksa pasiennya. Hazel berbaring di atas ranjang. Wanita itu menutup kedua kelopak matanya.
****
“Pulanglah. Anak buahku akan mengantarmu. Terima kasih sudah datang.”
“Lain kali hati-hati.” Rachel menatap Oliver. “Siapa dia? Aku baru melihatnya. Selama ini dia tidak ada di sekitarmu?”
Oliver mengerutkan kedua alisnya. Pria yang duduk menyandar sofa dengan bertelanjang d**a itu berdecak setelah paham siapa ‘dia’ yang dibicarakan oleh Rachel. “Aku tidak punya kewajiban untuk memberikan penjelasan kepadamu.”
“Kupikir kita sudah jadi teman.”
Oliver tidak menjawab. Pria itu hanya mendengkus seraya masih membalas tatapan Rachel. “Pulanglah.” Oliver menggeser pandangan matanya. “Frank, antar dokter Rachel pulang.”
“Baik, Tuan.”
Dengan wajah kesal, Rachel mengambil tas besarnya. Berbalik, lalu berjalan meninggalkan Oliver. Karena kesal, Rachel tidak merasa perlu untuk berpamitan.
Di tempatnya duduk, Oliver menatap punggung Rachel yang semakin lama semakin mengecil, kemudian menghilang setelah wanita itu keluar dari pintu. Oliver menegakkan tubuhnya. Menoleh ke kiri, pria itu memperhatikan lengan atas yang mendapatkan tiga jahitan.
Pria itu beranjak berdiri. Kembali memutar kepala saat mendengar suara derap langkah kaki cepat mendekat.
"Ini, Tuan.” Seorang asisten rumah menghampiri Oliver dengan napas sedikit memburu. Wanita yang wajahnya masih tampak kusut itu baru saja berlari. Dia sedang tidur nyenyak saat tadi dibangunkan oleh seorang pengawal. Diminta untuk mengambilkan baju sang majikan.
Sepasang mata yang sebenarnya masih enggan terbuka itu, seketika terbuka lebih lebar begitu melihat lengan kiri majikannya. “Tuan terluka?” tanya perempuan itu tampak terkejut.
Oliver tidak menjawab. Pria itu melirik tajam sang asisten yang langsung buru-buru membuka semua kancing kemeja warna navy di tangannya, lalu memasukkan lengan kemeja ke dua tangan sang majikan yang sudah setengah terentang ke bawah.
Wanita itu menarik kemeja ke atas, lalu bergerak ke depan Oliver untuk segera mengancingkan kemeja tersebut. Begitu selesai memasukkan kancing paling bawah, tubuh wanita itu terdorong ke samping.
Oliver bergegas mengayun kedua kakinya. Membuat dua orang pengawal yang berdiri di dalam ruangan itu segera mengikuti sang tuan. Oliver langsung membelokkan langkah ke kanan setelah keluar dari dalam rumah. Pria itu kemudian melanjutkan ayunan kaki ke samping rumah.
Sebuah buggy cart melaju, lalu berhenti di samping sang pemilik mansion. Oliver segera naik, disusul dua orang pengawalnya. Buggy cart tersebut kembali bergerak menyusuri halaman samping mansion. Beberapa menit kemudian, alat transportasi yang biasa dipakai di lapangan golf tersebut berhenti di depan bangunan besar serupa gudang yang menjadi markas dunia gelap Oliver.
Oliver meloncat turun. Pria itu berjalan cepat menuju pintu bangunan yang sudah terbuka.
“Apa sudah ada yang mengaku?” tanya Oliver ketika melewati seorang pengawal yang berjaga di depan markas. Pria itu tidak menghentikan langkah, membuat orang yang ditanya berputar kemudian mengikuti pria tersebut.
“Belum, Tuan. Mereka lebih memilih disiksa, daripada membuka mulut.”
“Sialan. Kalau perlu patahkan kaki atau tangan mereka supaya mereka mau mengaku,” marah Oliver begitu mendengar anak buahnya masih belum berhasil mendapatkan informasi siapa dalang dibalik penyerangan di dermaga.
Oliver masih mengayun langkah masuk ke dalam markas. Wajah pria itu sudah mengeras. Tatapan matanya tajam membunuh. Ekspresi wajah pria itu berubah mengerikan. Seperti seekor binatang buas yang siap bertarung dengan musuhnya.
“Tuan,” sapa pengawal Oliver yang sedang berdiri tak jauh dari dua orang yang digantung dengan dua tangan terikat.
Tanpa menjawab sapaan sang pengawal, Oliver justru menghampiri pria tersebut kemudian mencabut senjata api yang terselip di belakang pinggang pengawalnya. Lalu dengan cepat mengarahkan moncong senjata ke arah salah satu musuh yang menggantung tak lebih dari 2 meter di depannya.
“Katakan siapa yang membayar kalian, atau aku akan menyiksa kalian hingga kalian memohon kematian padaku,” ancam Oliver dengan suara rendah penuh tekanan.
Oliver menggerakkan kepala ke kanan, kiri--menyerupai patahan, seraya menyeringai menatap membunuh sang musuh. Tidak mendengar jawaban setelah sepuluh detik terlewat, tanpa basa-basi pria itu menarik pelatuk. Membuat suara letusan peluru menggema di dalam ruangan besar tersebut, diikuti pekik kesakitan salah satu orang yang digantung dengan dua tangan terikat.
“Jangan pikir aku akan bersabar menghadapi kalian. Kalau kalian masih tidak mau membuka mulut, setelah ini kaki kananmu juga akan segera merasakan seperti apa rasanya ditembus peluru.” Oliver menggeser tatapan ke samping. Memberi ancaman pada satu orang lainnya.
Melihat sosok itu bergerak-gerak berusaha untuk melepas ikatan tangannya, Oliver tertawa keras.
****
Sepasang mata Hazel terbuka lebar saat merasakan sedikit cahaya yang sebelumnya menerangi, hilang seketika. Gelap. Pekat.
‘BRRUKKK!’
Mata Hazel membesar mendengar suara gaduh di luar ruangannya. Suara benda-benda terjatuh, diikuti umpatan-umpatan.
“Sialan. Siapa kalian?”
Hazel segera mengangkat tubuhnya kemudian turun dari ranjang. Hazel menarik keluar ponsel yang semula berada di dalam saku jaketnya. Wanita itu menggunakan senter ponsel untuk menerangi ruangan tersebut.
Di luar, suara perkelahian terdengar. Pukulan, tendangan, serta suara benda keras terjatuh--terdengar saling bersahutan. Membuat Hazel sadar jika ada penyusup masuk ke dalam kliniknya.
“Cari perempuan itu. Bos menginginkan perempuan itu.”
Dengan jantung yang sudah tak lagi berdegup normal, Hazel berlari ke arah pintu, lalu menguncinya. Berdiri di depan pintu, Hazel meremas-remas ponselnya. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Oliver?