Hazel sadar setelah lima jam pingsan.
“Dia beruntung. Tidak ada luka serius pada tubuhnya. Hanya beberapa jahitan di tangan, kaki dan kepala. Selebihnya dia baik-baik saja. Memar-memar karena benturan keras tidak Hazel anggap sebagai hal besar yang patut dikhawatirkan. Beruntung dia masih bernapas.
“Terima kasih, Dokter.”
“Apa saya bisa pulang, Dok?” tanya Hazel, membuat Tom dan seorang pria dengan jas warna putih menoleh bersamaan.
“Sebaiknya anda tetap berada di sini, setidaknya dua hari, Nyonya.”
“Dua hari?” Hazel menghembus pelan napasnya.
“Benar, Nyonya.”
Hazel diam. Mendengar penjelasan dokter tentang kondisi tubuhnya, Hazel benar-benar sangat bersyukur. Hazel bahkan sudah berpikir akan mati saat itu.
“Kalau begitu saya permisi.” Dokter berpamitan. Tersenyum kala bertemu tatap dengan Hazel, sebelum kemudian memutar langkah lalu mengayunnya. Berjalan meninggalkan ruang rawat sang pasien.
"Bagaimana lukamu, Tom?"
Tom menggerakkan kepala turun naik. "Bukan luka besar, Nyonya."
Hazel menghembus napas. Sepasang matanya bergerak ke arah bahu kiri Tom. "Pasti sakit."
Tom hanya diam tanpa merespon. Pria itu menurunkan pandangan mata.
“Bagaimana dua orang yang berada di klinik? Apa ada yang mengurus mereka?”
Suara Hazel membuat Tom kembali memberikan perhatian pada istri sang bos tersebut. “Tuan Oliver meminta dokter Rachel untuk mengurus mereka. Anda tidak perlu khawatir, Nyonya.”
“Ah, syukurlah.” Hembusan napas lega lolos dari celah bibir Hazel. Sebagai dokter, dia merasa bertanggung jawab. Dia tidak bisa tidak khawatir jika terjadi hal buruk pada mereka. Hazel bersyukur orang-orang jahat itu tidak menyentuh mereka.
“Sekarang anda fokus pada kesembuhan anda saja, Nyonya.”
“Aku seorang dokter, Tom. Aku bertanggung jawab pada pasienku.”
Tom diam menekan katupan rahangnya. Masalahnya … nasibnya juga berada di tangan Hazel saat ini. Ia berharap Oliver tidak akan menghukumnya, setelah nanti pria itu mendengar kondisi sang istri. Hanya lebam dan beberapa jahitan di beberapa bagian tubuh. Tidak ada yang mematikan. Seharusnya ia aman, bukan?
“Permisi, Nyonya. Saya harus segera menghubungi tuan Oliver.” Tom sedikit membungkuk sebelum meninggalkan Hazel di dalam ruangan itu sendirian.
Hazel mendesah. Baru hitungan hari menjadi istri Oliver, lihat apa yang terjadi padanya. Ternyata ia bukan sekedar menikahi seorang CEO. Nyawanya bisa berada dalam bahaya kapan saja. Mengingat apa yang terjadi, Hazel jelas paham jika hidupnya akan selalu terancam. Orang-orang itu … musuh Oliver, akan menjadikan dirinya sebagai tahanan untuk menekan Oliver.
Mungkinkah orang tua angkatnya tahu siapa sebenarnya Oliver? Jika mereka tahu, tega sekali mereka. Bisa-bisanya mereka menyodorkan dirinya pada pria berbahaya itu. Apa mereka sama sekali tidak khawatir pada keselamatannya?
Hazel meringis saat mengangkat tangan dan merasakan nyeri. Hazel menatap tangan kanannya yang sudah dibalut kasa. Wanita itu mendesah.
Suara pintu dibuka tanpa suara ketukan, membuat Hazel refleks menggerakkan bola mata ke arah akses keluar masuk ruang rawatnya. Sepasang mata wanita itu mengecil melihat siapa yang sedang berjalan masuk diikuti oleh pria yang belum lama meninggalkan ruangannya.
“Oliver ….”
“Bagaimana keadaanmu?"
“Aku baik-baik saja,” jawab Hazel sambil melirik Tom yang berdiri di belakang Oliver sambil menundukkan kepala. Melihat pipi kiri Tom memerah, Hazel bisa menebak jika pria itu baru saja mendapatkan tamparan keras. Dan pelakunya bisa Hazel pastikan adalah pria yang kini sudah berdiri di ujung bawah ranjangnya.
Oliver diam sambil menyapukan bola mata ke seluruh tubuh Hazel. “Berapa jahitan yang kamu dapatkan?”
“Jahitan?” Hazel menahan ringisan ketika merasakan sakit di kepala begitu ia mengernyit. Sepertinya jahitan di kepalanya tertarik. “Aku tidak tahu. Tapi aku baik-baik saja.”
“Kamu mendapatkan jahitan di kepala, tangan, dan kaki. Itu tidak baik-baik saja, Hazel. Si b******k Tom tidak becus menjagamu.”
Di belakang Oliver, Tom semakin menundukkan kepalanya. Dia baru saja mendapatkan pukulan keras dari sang Tuan.
“Mereka datang tiba-tiba. Jumlah mereka juga lebih banyak. Mereka mematikan lampu saat itu. Kami bisa selamat sudah syukur. Jangan menyalahkan siapa-siapa.”
“Kamu tidak berhak menceramahiku, Hazel. Aku berhak marah pada mereka.”
Hazel langsung terdiam. Wanita itu merapatkan sepasang bibirnya. Melihat ekspresi wajah Oliver, Hazel hanya bisa menarik pelan namun panjang napasnya.
Dan Hazel hanya bisa menahan sepasang bibirnya untuk tidak terbelah--menahan pekik begitu melihat Oliver berbalik kemudian dengan cepat pria itu mengayun tangan kanan yang sudah mengepal.
'Bugh!'
Tubuh Tom langsung terhuyung beberapa langkah.
“Brengs*k! Kamu dan anak buahmu semuanya tidak becus bekerja. Percuma aku membayar kalian semua. Yang kalian lakukan hanya membuat reputasiku hancur. Bahkan mereka hampir mendapatkan istriku. Apa kamu tahu apa itu artinya, Tom?”
Oliver mengayun langkah. Pelan, namun setiap langkah pria itu terasa seperti sebuah ancaman tak terbantahkan. Sepasang matanya menatap tajam pria yang kini sudah menegakkan posisi berdirinya. Tampak siap untuk menerima kepalan tangan lainnya.
Oliver menghentikan ayunan kaki. Pria itu menarik kerah jas sang tangan kanan. Kemarahan jelas sekali tergambar di wajah sang pengusaha.
“Orang-orang itu pasti menganggapku lemah, Sialan. Mereka pasti berpikir bisa mempermainkanku. Bahkan istriku pun bisa mereka dapatkan. Kegagalan kalian melindungi istriku akan menjadi tolak ukur mereka, Br*ngsek.
“Mereka bisa mendapatkan istriku. Mereka pasti berpikir akan bisa dengan mudah mengalahkanku.” Oliver mendorong keras tubuh Tom. Membuat pria dengan tubuh tinggi tegap tersebut terhuyung ke belakang tiga langkah.
“Saya minta maaf, Tuan. Saya pantas dihukum.” Tom membungkuk. Sebagai seorang kepala pengawal, tentu saja dia pun merasa terhina oleh kekalahan mereka semalam. Tidak hanya saat di klinik, tapi juga ketika mereka diserang di dermaga. Tom paham.
“Jangan mempermalukanku lagi. Kalau sampai terjadi sekali lagi, aku sendiri yang akan menghabisi kalian.”
Di empatnya berbaring, Hazel menelan saliva susah payah. Sekarang dia melihat Oliver saat topeng CEO nya terbuka. Inilah Oliver yang sebenarnya. Pria yang begitu mengerikan.
“Akan kupastikan isi di dalam kepalamu berceceran di jalan, Sialan.”
“Saya minta maaf, Tuan.” Tom kembali membungkuk. “Saya akan tambah latihan kami, Tuan,” janji Tom berusaha untuk memenangkan sang tuan yang sedang marah besar.
Oliver menghentak napasnya. “Apa kamu sudah mendapatkan informasi siapa yang sedang bermain-main denganku?”
“Belum, Tuan. Saya awalnya mencurigai Carlos. Tapi, sampai saat penyergapan di klinik—pria itu masih belum bergerak keluar dari mansionnya, Tuan.” Tom berdehem mendapati tatapan membunuh sang tuan.
“Kamu pikir dia tidak bisa bergerak tanpa meninggalkan mansion?” tanya Oliver yang detik berikutnya menekan-nekan katupan rahangnya. Menimbulkan kedutan yang terlihat di sekitar rahang pria tersebut.
Suara batuk Hazel mengalihkan fokus Oliver dari sang tangan kanan. Pria itu memutar tubuh lalu berjalan menghampiri ranjang. Berdiri di tepi ranjang, pria itu memperhatikan Hazel. Menarik pelan napasnya lalu menghembus sama pelan. Mencoba untuk menidurkan monster dalam dirinya yang sudah terbangun.
Cukup lama yang Oliver lakukan hanya menatap istrinya sambil mengatur tarikan dan hembusan napas.
“Kita pulang sekarang. Aku akan membayar dokter untuk merawatmu di rumah. Di sini tidak aman. Si bodoh itu tidak bisa melindungimu.”
Hazel mengedip. Sepasang mata wanita itu membalas tatapan Oliver. Untuk beberapa saat napas Hazel terhenti kala melihat sedalam apa Oliver menatapnya.
“Mulai sekarang … kamu adalah kelemahanku, Hazel.”