Awal Perjanjian

1580 Kata
“Pak Liam?” desis Nazra, terperangah menatap Liam, sang atasan yang entah sejak kapan telah berdiri di sana. Nazra membeliak karena terkejut, lalu menatap Dhanti meminta penjelasan. Namun, wanita itu justru memalingkan wajah ke arah Liam. “Hai, Liam. Silakan duduk!” sapa Dhanti yang terlihat begitu santai tanpa rasa kaku sedikit pun. “Nah, karena semuanya sudah datang, kita mulai saja pembicaraan penting kali ini,” ucap Dhanti Menatap Nazra dan Liam bergantian, “sebelumnya, aku mau minta maaf, karena nggak bilang apa-apa ke kamu, Ra. Tapi kita lagi butuh banget bantuan kamu,” sambungnya sembari menggenggam kedua tangan Nazra di atas meja. Manik abu-abu Dhanti mengunci netra Nazra, membuat wanita itu gugup. Sekilas mata mereka beradu mencipta rasa penasaran. Dhanti mau minta tolong apa, ya, serius gitu. Jangan-jangan dia sakit? Atau dia enggak jadi nikah dengan calonnya dan terlibat cinta terlarang dengan Pak Liam? Monolog Nazra dalam hati, membuatnya menggeleng-gelengkan kepala sendiri. “Kamu sudah menjelaskan masalahnya, Dhan?” tanya Liam yang kemudian dijawab dengan gelengan oleh wanita itu. “Saya mau kamu jadi pacar saya.” Perkataan pria itu membuat Nazra memalingkan wajah ke arah si bos. Entah mimpi apa dia kemarin hingga malam ini menerima pernyataan cinta dari pria yang telah lama merebut hatinya itu. Ah, jangan-jangan ini adalah jawaban dari doa Mama dan Papa? Ternyata memang benar doa orang tua itu mustajab. Padahal baru tadi pagi mereka mendesakku membawakan calon menantu dan sekarang aku sudah mendapatkannya. Batin Nazra saat itu. Rahangnya tertarik membentuk segaris senyum yang sangat tipis. “Lebih tepatnya, ingin minta tolong kamu pura-pura jadi pacar saya. Tidak lama, kok, hanya sampai wanita yang saya cintai menerima lamaran saya.” Liam to the point menjelaskan maksudnya. Namun, jelas membuat perasaan Nazra jungkir balik. Wanita itu terdiam, dahinya berkerut seperti sedang berpikir sesuatu yang berat. Baru saja dia melayang karena kesenangan, tetapi detik berikutnya dihempaskan dengan kejamnya oleh kenyataan. Dia bahkan sudah kegirangan tadi. Sial, tidak bisakah dia memilih kalimat yang tepat? Membuatku ge-er saja. Baru juga mau bersorak bahagia, tetapi dihempaskan kenyataan yang begitu pahit. Batin Nazra saat itu. “Tenang saja. Saya akan gaji kamu dua kali lipat,” sambung Liam. Nazra masih terdiam. Bukannya dia tidak mau. Bahkan, tanpa gajinya dinaikkan pun dia akan sangat rela menjadi kekasih Liam. Namun, itu jika dia diminta menjadi kekasih, bukannya ‘kekasih palsu’. “Please, Ra. Bantuin Liam. Kamu, 'kan, baik hati meskipun enggak cantik-cantik amat." Dhanti membuka suara. Menggenggam tangan Nazra dengan wajah memelas. Namun, justru membuat wanita itu kesal akan ucapannya. Nazra memandang wajah Dhanti dan Liam bergantian. Apa aku terima saja? Aman enggak, ya, untuk hatiku? Bukankah ini kesempatan bagus untukku? Mungkin saja Pak Bos malah naksir aku? Ah, mana mungkin dia bisa suka sama aku. Dia, 'kan, minta tolong biar bisa menikah dengan orang yang dicintainya, Nazra berperang dengan pikirannya sendiri. “Atau saya tambahkan gaji kamu jadi empat kali lipat plus mobil dinas. Bagaimana?” Liam masih mencoba membujuk Nazra. “Maaf, Pak. Bukannya saya tidak mau gaji lima kali lipat plus mobil dinas. Akan tetapi–“ “Saya akan baik sama kamu, hm. Saya janji.” Liam memotong ucapan Nazra. “Maaf, Pak. Saya–“ “Saya tambahin bonus liburan keliling Eropa, kalau tujuan saya sudah tercapai.” Lagi-lagi Liam memotong. Dhanti hanya menatap Nazra dan Liam bergantian sambil menyesap macchiato-nya. Menyaksikan kedua sahabatnya, bagaikan menonton sebuah drama. Ah, andai saja dia tidak akan segera menikah, tentulah yang akan pura-pura menjadi kekasih bos-nya itu adalah dirinya. Plus dapat gaji empat kali lipat, mobil dinas dan liburan keliling Eropa. Ah, sungguh tawaran yang sangat menggiurkan. Hampir saja dia berniat mengundurkan pernikahannya mendengar tawaran itu. Untung saja dia tidak khilaf. Padahal dia telah memegang gawainya dan bersiap mengirim pesan kepada Ardi, calon suaminya. “Pak Liam yang terhormat. Bisakah Anda membiarkan saya menyelesaikan kalimat dulu?” tegas Nazra dengan tatapan tajam. Liam hanya terdiam dan membalas dengan anggukan. ”Saya akan membantu sampai tujuan Pak Liam tercapai dan menikah dengan pujaan hati Anda yang entah siapa. Akan tetapi, saya tidak akan menerima semua tawaran tentang kenaikan gaji, kendaraan dinas, apalagi liburan keliling Eropa. Saya Cuma mau menolong Bapak, bukan menjual diri saya. Juga satu hal yang harus Bapak ingat ... tidak ada skinship di antara kita.” Bukankah ini bisa menjadi win-win solution? Pasalnya belakangan ini desakan menikah dari orang tua Nazra semakin gencar. Bahkan, akan dinikahkan dengan anak sahabat mereka jika tahun ini tidak melepas status lajangnya. Dia tentu tidak akan mau menikah dengan orang tidak dikenal. Baginya menikah itu hanya sekali dan harus berdasarkan cinta. Meskipun dulu dia sangat menyukai koko tampan itu. Setelah berbincang sebentar, Nazra dan Liam sepakat akan mulai ‘berpacaran’ hari itu juga. Bukankah ada pepatah yang mengatakan, lebih cepat lebih baik dan jika bisa sekarang untuk apa menunggu hari esok. Lagi pula pria itu ingin segera mencapai tujuannya, yaitu menikah dengan Siska, sekretarisnya. Setelah menandatangani ‘perjanjian’ dengan poin-poin yang sudah disesuaikan dengan keinginan masing-masing, Liam mengajak Nazra pulang bersama. Namun, wanita itu menolak, dengan dalih masih ingin menikmati waktu senggangnya. Pria itu akhirnya pamit meninggalkan Nazra dan Dhanti, karena masih ada tempat yang harus ditujunya. Kini mereka hanya berdua. Dhanti sudah merasa was-was sejak kepergian Liam tadi. Wanita itu ketakutan, merasa nyawanya terancam. Hening. Nazra hanya menatap Dhanti lekat tanpa berkata apa pun. Merasa tertipu oleh wanita yang duduk di hadapannya itu. Harusnya dia berkata jujur padanya jika ingin minta tolong, bukan dengan cara menipu seperti ini. “Oke, aku salah. Aku minta maaf, Ra. Aku juga terpaksa. Kalo aku jujur, kamu pasti nggak bakalan setuju.” Nazra mengangguk-angguk, setuju dengan perkataan wanita itu. Jika Dhanti jujur, tentu saja dia akan menolak dan lebih memilih menyelesaikan pekerjaannya. “Ini tuh persoalan mendesak, Ra. Liam sudah lama menyukai Sisca, sejak dari zaman kita kuliah dulu. Dia sudah berkorban banyak hal untuknya. Herannya, wanita itu menerima semua pemberian dan perhatian Liam. Jadi, kupikir Sisca mungkin cuma butuh pemicu untuk membuatnya sadar, kalau dia juga sebenarnya memiliki perasaan yang sama dengan Liam.” Dhanti bercerita dengan raut wajah sedih. “Aku pikir kamu orang yang tepat untuk membuat Sisca cemburu, Ra. Liam itu orang yang baik, dia sahabatku sejak SMA dan juga sudah banyak membantuku. Aku yakin dia tidak akan merepotkanmu. Aku bisa jamin itu,” ucap wanita itu menatap Nazra dengan tatapan sendu. Nazra setuju Liam orang yang baik. Jika tidak, bagaimana mungkin pria itu mampu menggetarkan hatinya. “Thanks, karena sudah mau membantu Liam, Ra. Aku dan Liam berhutang budi padamu. Kami pasti tidak akan pernah melupakan bantuanmu ini.” Nazra hanya menatap wanita itu dengan tatapan yang sulit diartikan. Dia masih terdiam, memberikan kesempatan bagi Dhanti untuk menuntaskan ucapannya. “Kalau saja aku enggak ada rencana untuk menikah dalam waktu dekat ini, pasti aku yang akan pura-pura jadi pacar Liam. Hampir saja aku khilaf mendengar tawaran Liam tadi. Tapi, kamu serius menolak hadiah dari Liam? Jarang-jarang, loh, Ra, bisa dapat tawaran gitu.” Lagi-lagi Nazra setuju jika tawaran itu sangat menggiurkan dan bisa jadi hanya sekali seumur hidup. Namun, dia merasa itu seperti harga akan dirinya. Memangnya dia wanita apa? “Ra, ngomong, dong. Aku sudah minta maaf dan bicara panjang lebar, loh, masa kamu enggak memaafkan aku?” Dhanti memasang wajah memelas dengan menangkupkan kedua tangan di depan dadanya. “Maafkan aku, ya? Ya?” Nazra hanya menjawab dengan deheman kemudian kembali menikmati espresso miliknya. Senyum kembali terbit di wajah Dhanti setelah mendapat jawaban isyarat dari Nazra. Baginya, seperti itu saja sudah cukup. Toh, wanita yang duduk di hadapannya memang irit bicara. Setelah mendapat pesan singkat dari calon suaminya, Dhanti pun pamit kepada Nazra. Nazra masih setia duduk di kafe. Tenggelam dalam pikirannya sembari menatap ke luar kaca jendela menikmati pemandangan city light. Jujur saja, Nazra sangat senang bisa menjadi pacar Liam, meski hanya pura-pura. Setidaknya dia memiliki kesempatan untuk berdekatan dengan pria itu. Tanpa harus curi-curi kesempatan seperti kebanyakan karyawan wanita di kantornya atau menunggu waktu meeting tiba, seperti yang biasa dia lakukan. Liam memang tampan dengan tubuh tinggi proporsional dan kulit putih karena memang keturunan Tionghoa. Tidak hanya itu, dia juga ramah dan murah senyum, hingga banyak karyawan wanita yang jatuh hati padanya. Termasuk dirinya, tentu saja. Samar-samar senyum terbit di wajah cantiknya mengingat wajah pria itu. Apalagi besok mereka akan resmi menjalankan peran sebagai kekasih. Ah, dia semakin tidak sabar menanti hari esok. Namun, masih ada satu hal yang mengganggu pikirannya, yaitu masalah pernikahan. Semoga saja Liam bisa diajak kerjasama, jika orangtuanya mendesak untuk membawa calon menantu. Liam meninggalkan kafe dengan senyuman yang tidak pernah pudar di wajahnya. Bagaimana tidak, Nazra yang terkenal dingin itu menerima permintaannya untuk berpura-pura menjadi kekasihnya. Dia mengendarai Pajero sport hitam dengan bersenandung kecil menuju suatu tempat yang belakangan ini menjadi favoritnya. Ya, tempat itu adalah rumah Sisca, gadis yang dia cintai. Setelah tiba di sebuah rumah minimalis berwarna putih, Liam menghentikan laju kendaraannya. Sejenak dia menilik penampilan di kaca spion dan tidak lupa menyemprotkan parfum andalannya, perpaduan aroma woody, blackpaper dan citrus, yang selalu sukses menambah kepercayaan dirinya. Setelah menekan bel, sesosok wanita cantik bersurai panjang menyambut dengan senyuman. Sepasang lesung pipit di kedua pipi membuat senyumannya semakin manis saja. Wanita cantik itu mempersilakan Liam duduk sebelum meninggalkannya untuk mengambil minuman. Tidak lama kemudian dia kembali dengan sebuah nampan berisi kopi hitam tanpa gula, favorit pria itu. “Bagaimana dengan persyaratan dariku?” Wanita itu duduk menyilangkan kaki jenjang putih nan mulus miliknya. “Tenang saja, aku sudah melakukannya sesuai permintaanmu,” ucap pria itu tersenyum bangga. Bersambung ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN