“Kamu yakin? Bukannya dia wanita dingin yang irit bicara? Yah, tidak apalah yang penting dia mau membantumu. Itu saja sudah cukup.” Wanita itu menyesap minumannya lalu beralih memainkan ponsel pintarnya.
“Ya, kau benar. Aku saja masih tidak percaya dia akan setuju semudah itu.” Liam tersenyum seolah masih tidak percaya menatap Sisca. Namun, wanita itu mengabaikannya dan hanya fokus dengan gawainya.
Liam terdiam menikmati pemandangan di hadapannya. Mengunci setiap gerakan dan wajah wanita itu dalam memori. Sebagai penawar kala rindu melanda. Tidak banyak yang mereka bicarakan malam itu, sama seperti hari-hari biasa.
Meski tidak banyak kata di antara mereka, Liam tetap menikmati waktu yang mereka habiskan bersama, meskipun terbilang sangat singkat. Baginya tidak harus banyak hal yang dibicarakan, yang penting adalah kebersamaan mereka.
***
Pagi ini cuaca cerah, tetapi tidak dengan hati Nazra. Pagi ini mood-nya terjun bebas, setelah kedua orangtuanya kembali membahas soal perjodohan dan pernikahan di meja makan saat sarapan.
“Pokoknya Papa dan Mama mau kamu menikah tahun ini. Titik. Entah itu dengan pacar kamu atau dengan jodoh pilihan kami.” Perkataan papa Nazra Kembali terngiang di telinganya.
Sepertinya pilihannya kini hanyalah meminta tolong kepada Liam agar membantunya terbebas dari serangan kedua orang itu. Ya, dia akan mengutarakan keinginannya nanti saat jam istirahat makan siang.
Nazra Kembali fokus mengemudikan mobil Honda Civic berwarna hitam miliknya. Alunan lagu its only me milik Kaleb J. menggema memenuhi indera pendengaran. Wanita itu menggerak-gerakkan ujung jarinya yang berada di kemudi mobil sambil ikut bernyanyi. Sesekali kepalanya tampak menggeleng ke kanan dan kiri karena terlalu terbawa irama lagu.
Nazra baru saja mengayunkan kakinya memasuki gedung kantor tempatnya bekerja. Namun, langkahnya terhenti ketika dia merasa banyak mata yang memperhatikan. Entah mengapa, setiap karyawan yang ditemuinya selalu menatap sekilas lalu berbisik dengan teman di sampingnya.
Namun, wanita itu tidak peduli dan tetap melangkah dengan percaya diri. Dia yakin sebelum meninggalkan rumah, telah memastikan penampilannya sempurna dengan setelan jas biru navy dan high heels senada. Riasannya pun tipis dan senatural mungkin seperti biasanya.
Untuk lebih meyakinkan dirinya, Nazra menatap pantulan dirinya saat di dalam lift. Perfect! Cantik seperti biasa, gumamnya pada diri sendiri.
Ketika melangkahkan kaki keluar dari lift, pemandangan yang sama kembali menyapa dirinya. Oke, sekarang semua itu mengganggu pikirannya. Meski berusaha meredam rasa penasaran dalam hatinya tetap saja jiwa kepo-nya masih meronta-ronta.
“Selamat, ya, Bu Nazra. Saya nggak nyangka, loh, Bu,” ucap seorang karyawan yang tiba-tiba menjabat tangannya dengan senyum lebar. Membuat wanita itu manautkan kedua alisnya heran.
“Semoga langgeng, ya, Bu. Meskipun saya patah hati, tapi saya rela, kok, Bu.” Beberapa karyawan yang lain ikut menimpali.
Heh, ada apa ini?Apa aku mendapat promosi jabatan atau semacamnya? Batin Nazra mulai merasa senang. Dia berusaha menyembunyikan senyum di wajahnya dan menampakkan wajah datar seperti biasa.
Rasa penasaran semakin memenuhi otaknya. Ada apa gerangan dengan semua karyawan hari ini? Tadi dia disambut dengan tatapan dan bisikan, sekarang disambut dengan ucapan selamat. Heran.
“Bu Nazra yang cantik ditambah Pak Liam yang gantengnya bikin istighfar. Iri banget nggak, sih? Seperti pasangan yang ditakdirkan dari surga gitu,” ucap Rini asisten Nazra yang sukses membuat wanita itu berpaling menatapnya dengan tatapan tajam.
“Apa kamu bilang?” Nazra melangkah mendekati Rini dengan tatapan yang jelas sangat mengintimidasi.
“Ampun, Bu, saya nggak akan bilang Pak Liam ganteng lagi. Ibu jangan dibutakan cemburu, Bu. Saya cuma kagum. Sumpah!” Rini mengangkat sebelah tangannya meyakinkan Nazra. Dia tidak ingin pagi yang membahagiakan ini berganti dengan hari yang mencekam.
Nazra mengacungkan telunjuknya pada wanita itu. “Kamu–“ Belum sempat Nazra menyelesaikan kalimatnya Dhanti tiba-tiba datang memeluk bahunya.
“Cieee ... yang lagi hot-hot-nya sama Pak Bos Ganteng. Tenang saja, kabar kalian pacaran sudah diketahui semua karyawan, kok. Jadi, nggak bakalan ada yang berani deketin Pak Bos lagi.” Dhanti menaik-turunkan alisnya sembari mencolek dagu Nazra. “Ya, kan, epribadeh?” teriak Dhanti mengangkat kedua tangannya kemudian kembali merangkul bahu wanita itu. Namun, semua karyawan hanya tersenyum mendengar ucapannya.
“Ah, jadi itu alasannya.” Ekspresi Nazra seketika kembali datar. “Kamu harus menjelaskan semuanya kepadaku, Dhan. Sejak kemarin aku merasa terus-terusan tertipu olehmu,” ucapnya mengancam wanita di sampingnya.
Seketika pelukan Dhanti terlepas. Dia tidak ingin mendapat sarapan kicauan kemarahan dari wanita itu. Cukuplah dua potong sandwich baginya, tidak perlu ditambah dengan omelan dari si akuntan dingin. Jika bisa memilih tambahan, mungkin ice caramel latte saja lebih bagus.
Gegas Dhanti mengayunkan langkah meninggalkan Nazra. Dia hanya melambaikan tangan kepada wanita itu sembari mempercepat langkahnya.
Nazra kini duduk di kursi kebesarannya dengan setumpuk berkas yang menunggu untuk dieksekusi. Dia tidak ingin ambil pusing dengan semua rumor yang disebarkan oleh Dhanti. Toh, kemarin dia telah menyetujui perjanjian untuk menjadi pasangan kekasih dengan Liam.
Sebenarnya dia masih kesal dengan Dhanti. Namun, sepertinya Nazra harus berterima kasih kepada wanita itu atas ide cemerlangnya untuk menjadikan dirinya sebagai ‘pacar’ Liam. Memberikan kesempatan untuk mengenal Si Bos lebih dekat dan pastinya akan sering menghabiskan waktu bersama. Bukankah ini seperti gayung bersambut? Atau tidak? Entahlah. Yang jelas bahagia kini memenuhi ceruk hatinya kini.
Getaran dari ponsel di atas mejanya mengalihkan atensi Nazra. Sesaat dia memandangi benda pipih berwarna hitam itu. Wanita itu sedikit terkejut melihat notifikasi yang tertera di sana.
Anda telah diundang ke grup ‘Misi Cinta Liam’
Anda Telah bergabung dengan grup ‘Misi Cinta Liam’
Wanita itu menahan tawanya. Apa-apaan dengan nama grup itu? Dia yakin seribu persen pasti Dhanti yang membuat grup chat itu.
Pak Liam Maulana: Heh, apa-apaan nama grupnya. Ganti nggak, Dhan.
Dhanti: Santai kawan. Itu bagus tau. Tanya aja sama Nazra.
Maaf, saya nggak ikutan.
Dhanti: Nggak asik kamu, Ra. Aku Cuma mau kita bagi info dan susun strategi di sini. Jadi, nggak usah mikirin nama grupnya. Oke.
Pak Liam Maulana: oke. Strategi apa, nih?
Dhanti: Pertama, kalian harus ganti nama panggilan. Masa iya kalian manggil Pak dan Bu, anak SD aja manggil Ayah-Bunda. Kedua, kalian harus manggil pake nama kesayangan. Terserah mau panggil apa. Ketiga, jangan lupa untuk bermesraan biar Sisca cemburu. Jangan lupa juga, kalian ganti nama kontak masing-masing. Ok?
Pak Liam Maulana: ok
Dhanti: Rara? Nazra Sabira Hilya? Ok, nggak, nih?
Pak Liam Maulana: kalau gitu ... aku panggil kamu Rara juga gimana? Tapi, kalau di situasi tertentu boleh kuganti sayang, nggak?
Dhanti: Ra? Ya Allah dikacangin kita ....
Maaf, kerjaanku sangat banyak. Aku ikut saja.
Dhanti: Dasar gila kerja! Pantas saja sampai umur setua itu kamu masih jomlo.
Wah, jangan bawa-bawa umur, dong. Tua itu pasti, tetapi jomblo itu pilihan.
Dhanti: Maksudnya, meski wajahmu nggak cantik-cantik amat, tetapi banyak pria yang mengejarmu?
Ehm, bukan ingin sombong. Namun, kenyataannya memang seperti itu.
Dhanti: Wah, luar biasa. Lalu, siapa yang kau pilih?
Tentu saja pekerjaanku.
Dhanti: Sudah kuduga ;)
Nazra kembali berkutat dengan laporan yang sudah menunggu. Melanjutkan aktivitas yang sempat terhenti. Dia tidak punya banyak waktu luang untuk meladeni Dhanti. Wanita dengan rambut sebahu itu memang hiperaktif dan lumayan bawel menurut Nazra.
Ketukan di pintu membuat wanita itu memalingkan pandangan pada sumber suara dan menurunkan sedikit kacamata dari batang hidungnya. Di sana tampak Liam sedang berdiri di ambang pintu dengan rahang yang tertarik membentuk sebuah senyuman yang menawan.
“Serius amat, Ra,” ucap Liam sekilas sebelum melangkahkan kaki ke arah ‘kekasihnya’. “makan siang bareng, yuk.” Ajaknya kemudian.
“Maaf, Pak. Saya–“
Belum sempat Nazra menyelesaikan kalimatnya, jari telunjuk Liam sudah mendarat di bibirnya.
“Jangan ada skinship di antara kita. Ingat itu. Jika terpaksa pun usahakan sentuhan seminimal mungkin.” Nazra menampik jari telunjuk Liam yang menempel di bibirnya. Dia menatap pria itu dengan tatapan tajam.
“Oh, ayolah, Ra, itu hanya sentuhan kecil.”
“Asal Pak Liam tahu seluruh tubuh saya ini masih perawan.” Nazra menimpali dengan angkuhnya.
“Oke, maaf. Pasti akan kuulangi. Sekarang ayo kita makan, hm.”
Nazra memutar bola matanya jengah. “Maaf, Pak–“
“No-no-no ... bukan Pak tapi Liam. Ayo coba bilang, Li–am.”
“Maaf, Liam. Saya sa–“
“Aku bukan saya. Ayo, dong, kamu biasakan bicara yang santai ke aku, hm?” Wanita itu hanya mengangguk paham.
“Maaf, Liam. Aku sibuk banget. Kamu liat sendiri kerjaanku numpuk begini,” ucap Nazra menunjuk setumpuk berkas dengan dagunya kemudian memijat pangkal hidungnya. Namun, pria itu hanya memandanginya.
“Yuk! Mau makan di mana?” Ucapnya kemudian karena risih dipandangi oleh Liam. Nazra kemudian melepas kacamata dan cepolan rambutnya. Sekilas kemudian meraih ponsel dan tas miliknya.
Mendengar hal itu Liam menampilkan senyum pepsodentnya. Siang ini dia akan memulai perannya sebagai ‘kekasih’ Nazra. Pria itu jelas sangat menggebu-gebu ingin membuat Sisca segera melihat aksinya dan menerima pinangannya.
Jika misinya telah berhasil untuk menikahi Wanita idamannya itu, maka itulah akhir dari kontraknya dengan Nazra. Semoga saja secepatnya, begitu harapan Liam.
“Kamu nggak usah bawa tas, Ra. Pacarmu ini akan mentraktirmu makanan enak,” ucap Liam menepuk-nepuk dadanya dan mengangkat dagunya dengan bangganya.
“Heh, mau traktir di kantin aja lagaknya sok begitu.” Nazra mengejek dengan nada yang jelas merendahkan.
Mereka melangkahkan kaki berdampingan menuju kantin kantor. Bukannya Liam tidak mampu mentraktir wanita itu di kafe atau restoran, melainkan dia ingin memamerkan kemesraannya dengan Nazra. Berharap Sisca melihat betapa manis dirinya jika dijadikan kekasih, hingga membuat wanita itu ingin menjadi istrinya.
Ketika baru saja memasuki kantin, Liam meraih tangan Nazra dan menautkan jemari mereka. Sontak wanita itu terkejut hendak menarik tangannya. Namun, lelaki itu menahannya lalu mendekatkan tubuh mereka sembari menampilkan senyuman manis.
Liam membelai rambut Nazra lembut, mendekatkan wajah mereka dan membisikkan sesuatu di telinga kekasihnya.
Bersambung ...