Tiga Puluh Dua

1325 Kata
"Kamu mau ke pesta pernikahannya Nisa kan? Saya juga mau kesana, kenapa nggak bareng saja?" Alin membuang pandangan kearah lain. Pagi-pagi sudah dibuat emosi oleh Rivaldo. Bagaimana mungkin ia pergi ke pesta pernikahannya Nisa bersama Rivaldo? Apa kata teman-teman kantornya nanti, coba? Lagi pula yang ingin Alin ajak untuk berangkat bersama ke pesta pernikahan Nisa adalah Ilham, bukan Rivaldo yang sudah jelas bukan siapa-siapanya. Hal itu sudah Alin rencanakan dari jauh-jauh hari. Bahkan sempat membayangkan bagaimana jika ia benar-benar bisa berangkat ke pesta pernikahan Nisa bersama Ilham. Tentunya akan menggemparkan para tamu undangan yang kebanyakan anak kantor Kembang Publisher dan para karyawan restoran Ayahnya disana. "Maaf Pak, tapi saya mau berangkat sama Mas Ilham." Jawab Alin. "Ilham? Bukannya dia akan berangkat bersama tunangannya?" "Sok tau!" "Berhenti mengganggu hubungan mereka, Alin. Saya nggak mau kamu terlalu sakit hati. Sudah waktunya kamu menyembuhkan luka, bukan malah memperparah." Mendengar penuturan Rivaldo yang seolah sangat paham tentang kisah cintanya, Alin menolehkan kepala menatap pria yang duduk tepat di sebelahnya ini. "Bapak nggak tau apa-apa tentang saya, jadi nggak usah ikut campur!" "Saya tau, Alin. Saya tau sekali kalau kamu sangat menginginkan Programmer itu. Tapi dia sudah memiliki pasangan dan kamu tidak akan bisa mendapatkan dia." Sorot mata Alin meredup kemudian menunduk. Rasanya ia ingin menangis sekencang-kencangnya dan menolak semua fakta yang baru saja Rivaldo ucapkan. Yang bisa Alin lakukan sekarang adalah diam dan berusaha menahan air mata agar tidak jatuh dihadapan Rivaldo. Tidak. Ia tidak mau pria ini melihatnya meratapi nasib. "Lihat saya Alin." Pinta Rivaldo. Alin menurut, ia mengangkat kepala dan kembali menatap Rivaldo. "Saya akan memberi cuti asal kamu mau berangkat ke pesta pernikahan itu bersama saya." Baiklah, daripada ia tidak menghadiri acara pernikahan orang terdekatnya, lebih baik iya-kan saja apa yang Rivaldo atur. Akhirnya ia mengangguk pasrah. "Tapi dengan satu syarat." Kata Alin. Rivaldo nampak curiga dengan syarat yang akan Alin minta. "Apa?" "Kembalikan saya ke kantor. Hari ini juga!" Karena sejujurnya ia sudah tidak betah tinggal lama-lama di rumah Rivaldo. "Baiklah, tapi kamu harus menuruti satu permintaan saya." Selain pandai berbisnis, Rivaldo juga sangat cerdik. Giliran Alin yang dibuat curiga dengan permintaan Rivaldo. "Kok gitu?" "Kamu punya syarat, saya juga punya permintaan. Bagaimana? Atau kamu masih mau kerja disini sampai seminggu kedepan?" "Nggak mau! Yaudah, mau apa?" Rivaldo memperbaiki letak duduknya agar terfokus hanya kepada Alin. Kini keduanya saling bertatap mata dan terdiam. Mata Alin melebar saat tiba-tiba saja Rivaldo menciumnya. Tidak! Ini tidak boleh terjadi lagi! Alin ingin segera melepaskan bibir Rivaldo namun pria itu mulai melumat bibir Alin, membuat sang empunya tergoda untuk membalas ciuman itu. Tanpa sadar Alin menikmati ciuman itu, bahkan tangannya sudah berani melilit di leher Rivaldo agar ciuman itu semakin mendalam dan lama. Kaki kiri Alin pun tak bisa diam saja, membuat Rivaldo akhirnya mengangkut tubuh Alin menjadi duduk di pangkuannya tanpa melepas ciuman. Setelah beberapa saat Rivaldo melepas ciuman panas pagi ini. Alin nampak diam di tempat tanpa berkomentar dengan posisinya yang duduk di pangkuan Rivaldo. Wanita ini seperti belum sadar dan hanya diam menatap mata Rivaldo. Senyum Rivaldo mengembang kala melihat kepolosan wajah Alin. Membuatnya tidak bisa lagi menahan hasrat laki-lakinya. Ia kecup sekilas bibir Alin. Namun Alin tidak memberikan respon apapun. Membuat Rivaldo gemas dan akhirnya kembali mencium Alin, memberinya lumatan nikmat yang tidak bisa Alin dapatkan dari Ilham. Tentu saja. Rivaldo terpaksa kembali melepas ciuman kala suara desahan Alin terdengar, ia takut kalau-kalau jadi tidak bisa mengontrol diri. Alin yang kesadarannya mulai kembali segera menunduk malu kala Rivaldo memandangnya begitu intens. Kedua pipinya mengeluarkan rona merah. Alin semakin menunduk malu dan sekali lagi, ia baru sadar dengan posisinya saat ini. Astaga! Kenapa jadi duduk di pangkuan Rivaldo? Bukannya tadi ... Alin mulai meronta-ronta. "Lepas," Pintanya. Membuat Rivaldo semakin mengeratkan cekalannya pada pinggang Alin. "Tunggu dulu." Alin berhenti meronta setelah mendengar suara itu. Ia tatap kembali mata pria yang ciumannya selalu membuatnya tak sadarkan diri itu. "Lipstik kamu jadi berantakan, maaf." Ucap Rivaldo sambil jemarinya mencoba membersihkan noda lipstik di ujung bibir Alin. Dan terakhir, ia kecup kembali bibir candu di depannya itu. Mata Alin melotot tajam. Sialan! Kenapa Rivaldo jadi semena-mena begini? Segera Alin beranjak dari pangkuan Rivaldo, menarik tas dan segera pergi. "Hati-hati dijalan!" Hanya kalimat itu yang Alin dengar sebelum ia keluar dari rumah megah ini. Diluar, ia memainkan ponselnya untuk memesan taksi online. "Ekheem-ekheemmm, ciee yang habis cipokan!" Itu suara si Cecep. Alin melirik Cecep seolah ingin membunuh pria berkuncir itu. "Dasar tukang ngintip!" "Ya maap Mbak, namanya juga nggak sengaja. Hehehe." Sekali lagi Alin memberi tatapan menusuk pada Cecep lalu segera meninggalkan Cecep karena taksi yang di pesannya sudah menanti. Tiba di ruang kerja, Alin langsung disambut suara tak enak dari Husni. "Buseeet... Jam segini baru berangkat." Tidak menyahut nyinyiran Husni, Alin justru mempertanyakan keberadaan Nisa yang hari ini meja kerjanya kosong tanpa penghuni. "Mbak Nisa kemana?" "Lagi dipingit dia." Balas Husni. "Eh, gimana kemarin?" Tanya Husni disela kesibukannya pada pekerjaan. "Gimana apanya?" "Pak Rivaldo. Kemarin Lo kan di rumah dia." "Nggak gimana-gimana." Husni nampak tak puas dengan jawaban Alin. Pria itu memandangi Alin dengan kedua alis tertaut. "Lo kenapa sih?" Alin menoleh. "Apa sih? Ada yang salah?" "Keringet Lo banyak banget, padahal AC lagi dingin-dinginnya." "O-oh, ini, iya. Gue kayaknya lagi demam." "Siang ini kita satu tim mau makan di restoran belakang kantor. Lagi ada grand opening. Lo ikut?" Ajak Husni tiba-tiba. "Nggak deh Mas, kerjaan masih banyak." "Serius? Banyak diskon loh." "Lagi nggak doyan diskonan." Balas Alin acuh dan berusaha fokus pada pekerjaan. "Diskon 70 puluh persen loh. Masih mau nolak?" Husni masih keukuh mengharap Alin mau ikut makan siang bersama tim lain. "Sekalipun gratis gue juga bakal nolak." "Tumben." "Ya karena lagi nggak pengin." Balas Alin seadanya. Jangankan makan, untuk melanjutkan pekerjaan saja ia tidak punya selera. Dan itu semua gara-gara satu pria bernama Rivaldo. Tiba jam istirahat, semua yang ada di ruang editor segera keluar. Alin menatap kepergian para rekan kerjanya lalu menatap pintu ruangan Mas Hardi yang sejak tadi belum ada tanda-tanda terbuka. Tinggal pria itu yang belum keluar. "Lhoh? Alin nggak ikut makan sama anak-anak lain?" Suara Mas Hardi terdengar setelah suara pintu tertutup. "Eh, enggak Mas. Nanti lunch di kantin kantor aja. Hehehe." "Oh, oke. Makan ya, jangan sampai nggak. Bisa-bisa saya nanti diamuk Pak Valdo kalo kamu nggak makan." Setelah mengucapkan kalimat itu pria itu segera keluar dari ruangan. Alin melotot tak terima. Sialan Mas Hardi! Pria itu pasti sering mendengarkan ocehan Rivaldo. Sambil menahan emosi, Alin menyusul karyawan lainnya untuk makan siang. Ia memang sengaja tidak ikut makan bersama rekan satu timnya. Lebih baik ia makan di kantin dan syukur-syukur bisa satu meja dengan rombongan Ilham. Hehehe. Tepat sekali. Saat Alin sedang mencari tempat untuk makan, ia melihat Ilham dan teman-temannya duduk di meja yang biasa ia dan Nisa tempati untuk menyantap makan siang. Jodoh memang tidak kemana. "Ehmm." Alin memberi kode dengan mata tak pernah lepas menatap Ilham. Niki yang menyadari keberadaan Alin menyahut. "Eh Alin! Duduk Lin. Udah lama nggak ketemu kamu di kantin, kemana aja sih?" "Terimakasih, hehehe. Lagi banyak kerjaan Mbak, jadi jarang turun ke kantin." Alibinya. Alin tersenyum kala Ilham juga balas menatapnya. "Ooh .. jangan terlalu keras kerjanya, makan kan kebutuhan. Jadi nggak boleh lupa." Saran Niki. "Iya Mbak, hehehe." Selesai makan siang, tim Ilham bergegas kembali ke ruang kerja mereka. Tapi herannya Ilham belum mau beranjak dari duduknya. Piring pria itu memang masih penuh dengan nasi dan lauk pauk karena memang hari ini Ilham sedang tidak nafsu makan. Sedang Alin, karena Ilham belum pergi, jadi ia tidak akan pergi. "Mas Ilham!" Panggil Alin. Ilham menyahut dengan menatap wajah Alin. "Pulangnya nebeng ya?" Ilham mengangguk, "Saya tunggu di lobi," Katanya. Alin tersenyum lebar dan mengangguk cepat. Tumben sekali Ilham tidak jutek-jutek amat padanya. Sepertinya hari ini Ilham lagi kena sawan. Tadi pagi juga pria itu bersikap aneh dengan mengelus rambutnya sebelum berangkat kerja. Aahhh... Sering-sering saja Ilham bersikap seperti ini. Semoga saja ini awal yang baik untuk Alin semakin istiqomah dalam mendekati dan menggaet hati Ilham.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN