Alin kembali menyisir rambutnya untuk yang beberapa kali. Beberapa kali juga ia mencoba mencepol rambutnya tapi berujung kembali di lepas. Ia bingung harus menata rambutnya dengan gaya apa. Padahal waktu sudah menunjukkan pukul setengah delapan, yang artinya sebentar lagi Rivaldo menjemputnya.
"Udahlah nggak usah di apa-apain." Alhasil ia hanya menggerai rambutnya dan keluar dari kamar.
Di ruang tengah, Alin sempat melihat Arsan dan Nawang tengah menonton televisi bersama.
"Mbaaakk..... Tungguin aku!" Suara cempreng itu terdengar. Alin menoleh ke belakang dan melihat adik bungsunya tengah berlari menghampirinya dengan tubuh yang sudah berbalut gaun cantik.
Alin mengernyit heran melihat Citra yang nampak sumringah. "Kamu mau kemana?" Tanyanya setelah Citra sudah tiba di sebelahnya. Ia pandangi Citra dari atas sampai bawah lalu beralih menatap kedua orangtuanya untuk meminta klarifikasi.
"Aku kan mau ikut ke kondangan." Jawab Citra seraya memutar tubuh gemuknya, membuat gaun cantik yang dikenakannya mengembang bak princess.
"Apa? Ikut kondangan?" Wajah Alin mulai tidak santai. "Ma, ini maksudnya gimana sih? Kok dia ikut kondangan?" Adunya pada Nawang.
"Adik kamu maunya ikut kondangan sama kamu." Hanya itu yang keluar dari mulut Nawang.
Lantas Alin mencoba meminta penjelasan pada Arsan. "Yah, kok Ayah biarin Citra ikut sih!?"
"Jadi aku nggak boleh ikut?" Sela Citra. Wajah gadis itu yang semula sumringah menjadi muram.
"Nggak lah! Kamu ikutnya nanti lusa, sama Mama sama Ayah." Sahut Alin tak bisa berucap sedikit saja lebih pelan karena sudah terlanjur tertimbun emosi.
Bukan anak Nawang Wulan kalau dia tidak membantah. "Tapi aku maunya sekarang!"
"Ya nggak bisa lah!"
"Nggak mau tau! Pokoknya ikut!!" Wajah Citra yang sebulat bola pingpong mulai memerah dan sebentar lagi pasti menangis.
Arsan menghela napas. "Citra, kamu kan sudah besar, jangan apa-apa serba nangis dong. Lagipula disana nggak ada anak kecil. Semuanya orang dewasa," Tuturnya pada si bungsu.
Air mata mulai mengalir di pipi Citra. Dan Alin sungguh puas dengan pembelaan sang Ayah.
"Udah ah, aku mau berangkat dulu." Pamitnya dan segera pergi sebelum suara tangis Citra terdengar.
"Kamu berangkat sama siapa?" Tanya Arsan.
Alin membuka layar ponsel kala ponselnya bergetar. Itu pesan dari Rivaldo yang memberitahu bahwa pria itu sudah menunggu di depan rumah. Setelah itu ia tatap sang Ayah. "Sama driver taksi, hehehe." Lantas segera keluar dari rumah.
Dan suara tangis pun terdengar. Tak tanggung-tanggung, Citra bahkan ngosek didepan Arsan dan Nawang.
Nawang yang tak tega segera membawa Citra duduk di pangkuannya dan berusaha menenangkan Citra. "Kan lusa kita juga mau ke kondangan. Udah dong jangan nangis, cup-cup-cup."
Citra tak henti menangis. Membuat Arsan sekali lagi harus turun tangan untuk menenangkan. "Udah gede kok nangis terus, malu dong sama temen-temennya," Katanya sembari mengambil alih Citra dari pangkuan istrinya. "Ya ampunnnnn beratnya... Udah jadi anak SMP kok masih doyan nangis."
Citra sama sekali tak menggubris nyinyiran sang Ayah. Ia terus menangis tersedu-sedu.
"Udah dong Dek, jangan nangis terus, ah! Katanya mau punya adik."
"Bohong! Kata Mbak Alin, Mama nggak bisa punya anak lagi!" Ucap Citra.
Arsan melirik Nawang dan Nawang hanya mengangkat bahu.
"Mbak kamu yang bohong. Kamu mau punya adik berapa? Sepuluh? Tinggal bilang sama Mama mau punya adik sepuluh." Kata Arsan membuat Nawang otomatis menjewer telinga suaminya yang asal bicara itu.
Alin membuka pintu mobil dan duduk di sebelah kemudi. Ini adalah kali pertamanya bertemu lagi dengan Rivaldo setelah kejadian ciuman tempo hari. Aaahh.. rasanya Alin sangat malu jika mengingat kembali posisinya saat itu. Bisa-bisanya ia duduk di pangkuan pria yang bukan siapa-siapanya itu.
"Jalan Pak, kita udah terlambat nih." Ujar Alin tanpa melirik sedikitpun pada Rivaldo.
Rivaldo tak henti-hentinya mengumbar senyum. Malam ini Alin terlihat sangat cantik mengenakan dress malam berwarna putih tulang dan rambut wanita itu yang untungnya di gerai, tidak di Cepol. Awas saja kalau di cepol, Rivaldo tidak akan membiarkan lelaki lain melihat leher jenjang wanitanya.
Astagaaaa ... Posesif sekali bukan?
Tanpa menunggu waktu lama lagi, Rivaldo melajukan Ferrari kesayangannya menuju gedung pesta pernikahan Nisa dan suami.
Selama perjalanan, Alin tak henti-hentinya menyumpah serapahi tingkah Rivaldo. Pria itu berkali-kali meliriknya dengan senyuman menggoda dan itu tentu saja bahaya untuk kesehatan jantungnya.
"Kenapa sih? Nggak usah lirak-lirik deh! Risih tau!" Ketusnya. Lebih baik ia utarakan daripada jadi beban pikiran.
Rivaldo justru tersenyum melihat kekesalan Alin. "Kamu sangat cantik malam ini."
"Udah tau kok."
Dibalas kekehan oleh Rivaldo.
Kedua alis Alin tertaut kala Rivaldo tiba-tiba menghentikan laju mobilnya. Ia menatap pria yang kini sudah duduk menghadapnya. "Kok berhenti disini?" Tanyanya.
"Saya sudah tidak tahan lagi." Jawab Rivaldo.
Alin yang menangkap maksud lain sontak melirik kanan kiri. Ini jalanan dan tidak ada toilet umum terdekat. "Tapi disini nggak ada toilet."
"Memangnya harus di toilet?"
"Maksud Bapak?" Alin semakin dibuat bingung.
Tubuh Rivaldo semakin maju membuat Alin otomatis mundur ke sudut pintu mobil. Semakin menyudut dan membuatnya sudah tak memiliki ruang lagi.
"Saya sudah tidak tahan lagi dengan bibir kamu." Ucap pria itu kemudian segera mendaratkan bibirnya di bibir merah Alin.
Ciuman yang sudah tak asing lagi menurut Alin, membuat wanita itu lantas membalasnya. Entah kenapa jika sudah disuguhkan dengan bibir Rivaldo dirinya tak bisa berkutik. Apalagi menolak.
Alin mulai mengalungkan tangannya di leher Rivaldo, sesekali jari nakalnya meremas rambut kepala Rivaldo. Keduanya saling berbagi saliva tanpa ada yang mau memutusnya.
Suara desah Alin mulai terdengar, membuat Rivaldo harus melepas pagutan itu dan menatap Alin. Tapi perempuan itu justru menerjang bibirnya secara tiba-tiba. Rivaldo tersenyum bangga disela ciuman selanjutnya.
Tak mau membuang kesempatan malam ini, Rivaldo melepas ciuman dan beralih ke leher Alin. Memberi dua tanda kepemilikan disana.
Setelah berhasil berkarya di leher Alin, Rivaldo merapikan penampilan Alin. "Harusnya kita ke hotel saja," ujarnya enteng seolah mengajak Alin ke hotel adalah hal biasa dan seakan-akan Alin mau saja.
Hotel gundulmu!
Andai jantung Alin saat ini sedang normal, mungkin ia sudah membalas perkataan ngawur Rivaldo dengan kalimat sarkas. Bukan hanya itu, mungkin juga ia akan menampar pipi dan menarik bibir seksi Rivaldo yang hobi nyosor itu. Sayangnya jantung seorang Alin Kartika Putri sedang tidak sehat dan butuh berdiam beberapa saat, jadi lebih baik ia diam dan menetralkan tubuhnya yang sempat bergetar itu.
Setelah penampilan Alin kembali rapi, Rivaldo lanjut mengendarai mobilnya.
Tapi, lagi-lagi pria berjas hitam ini kembali menghentikan mobil. Kali ini di minimarket. Pria itu turun begitu saja setelah meminta Alin agar tunggu sebentar. Tak sampai lima menit Rivaldo kembali masuk dengan tangan membawa plester.
"Leher kamu terlalu menantang." Ujar Rivaldo sembari memasangkan dua plester di leher Alin yang terlihat bercak merahnya.
Tiba di gedung pesta pernikahan, Rivaldo masih tak henti-hentinya melirik Alin. Hanya saja kali ini Alin tak banyak bicara, setelah ciuman panas keduanya di mobil.
Pria itu memberikan lengannya untuk Alin gandeng dan dengan senang hati bahkan tanpa protes tangan Alin melingkar di lengan Rivaldo. Ini ajaib!
Semua pasang mata tampak menatapnya. Alin berusaha tenang dan tidak terlihat grogi.
Semakin masuk ke ballroom, justru semakin membuat Alin grogi. Apalagi saat matanya tak sengaja melihat rombongan satu timnya di kantor bahkan melihatnya dan melambaikan tangan padanya. Belum lagi ada beberapa teman satu kantor beda divisi yang Nisa undang. Dan jangan lupakan para karyawan di restoran Ayahnya yang Mas Fahmi undang juga. Mereka pasti sangat mengenali wajah anak bosnya. Sialan!
Rivaldo melambaikan tangan pada Hardi dan mengajak Alin untuk menghampiri rombongan itu.
"Jadi, udah go publik nih ceritanya?" Tanya Husni sambil melirik Alin sambil cengengesan.
"Ya begitulah." Balas Rivaldo tanpa malu yang dibalas dengan pelototan mata oleh Alin.
"Waaah... Selamat bos! Semoga langgeng sampai naik pelampinan deh." Hardi mulai memanas-manasi emosi Alin dengan memberi ucapan selamat sambil menyalami Rivaldo juga Alin.
Yang lain juga ikut serta memberi ucapan selamat pada Alin dan Rivaldo. Oh tidak! Apa jadinya jika semua orang kantor mengetahui hal ini? Bisa gila Alin.
Brengsek Rivaldo, pria itu selalu membuatnya dalam kesulitan. Go publik? Maksudnya apa coba, membenarkan pertanyaan Husni? Kemudian Manajernya yang biasanya enggan ikut campur, kenapa sekarang jadi membuatnya dalam masalah sih?! Dasar! Sekali b******k tetaplah b******k.
Disela keasyikan Rivaldo berbincang dengan Mas Hardi dan yang lainnya sibuk ngobrol, Husni mencolek lengan Alin dan berbisik. "Tumben Lo nggak ngebacot?"
Alin mendekatkan wajahnya di telinga Husni. "Gue lagi jadi Putri malu."
"Tangan Lo nggak kebas pegangan mulu sama Big Boss?"
Alin berdehem lalu menjawab. "Lo mau nggak gantiin posisi gue, Mas?"
Sebelum Husni berhasil menjawab, Rivaldo pamit pada karyawannya untuk menuju panggung pelaminan. Menarik wanita yang malam ini menjadi pasangannya di pesta pernikahan salah satu karyawan tauladan.
Alin menundukkan kepala sedalam mungkin saat berjalan menuju panggung pelaminan. Ia tau, tau sekali bahwa saat ini Nisa tengah menatapnya tajam bahkan tanpa berkedip.
Tiba di panggung, Rivaldo lebih dulu memberi ucapan selamat pada Fahmi kemudian beralih ke Nisa. "Selamat ya Nisa atas pernikahan kamu. Saya tau kamu nggak mengundang saya, tapi berkat Alin akhirnya saya bisa menghadiri pernikahan karyawan saya."
Hah? Jadi?
Posisi Alin yang tengah bersalaman dengan Fahmi dan hendak memberi ucapan selamat dan doa-doa terbaik kontan terjeda. Ia melototkan mata menatap Nisa yang juga menatapnya. Lantas beralih menatap Rivaldo yang justru tersenyum tanpa dosa.
"Ada apa?" Suara Fahmi menginterupsi Alin dan Nisa.
"Eh, enggak kok, nggak ada apa-apa. Ohiya, selamat ya Mas-ku, akhirnya engkau melepas masa lajangnya. Hehehe. Semoga langgeng selalu dan cepat dikasih keturunan." Ucap Alin pada Fahmi.
Fahmi terkekeh geli. "Iya adikku, amin... Terimakasih ya sudah datang."
Lantas tangan Alin beralih menyalami Nisa. Ia tersenyum sok manis. "Selamat ya Mbak."
"Makasih Nyet!" Sahut Nisa ngasal karena kesal dengan kedatangan Alin yang tidak ada angin tidak ada hujan tiba-tiba kondangan bareng Big Bos.
"Iih! Pengantin nggak boleh marahan tau."
"Pokoknya aku butuh klarifikasi langsung dari kamu! Secepatnya!" Tuntut Nisa.
"Iya-iya."
Setelah bersalaman dengan kedua mempelai, Alin mengajak Rivaldo untuk makan. Karena jujur, untuk berpenampilan se-aduhay malam ini, sedari siang ia belum menyantap apapun. Seharian sibuk mencari model make-up yang pas dengan gaunnya. Entah untuk apa ia dandan separipurna itu jika pada akhirnya pergi ke kondangan Nisa bersama Rivaldo. Pria paling menyebalkan bagi Alin.
"Bapak beneran nggak mau makan? Gratis lhoh." Tawar Alin sambil melahap puding setelah tadi ia berhasil menghabiskan nasi dan lauk pauknya, "oh iya, orang penting kan biasanya nggak makan sembarang makanan ya," lanjutnya.
Rivaldo hanya terkekeh. Pria yang kini duduk saling berhadapan dengan Alin itu lantas menjawab. "Nggak gitu juga. Kebetulan tadi saya sudah makan sebelum berangkat."
Alin hanya mengangguk saja.
"Sepertinya saya harus menambahkan dua kissmark lagi di leher kamu." Ucap Rivaldo tiba-tiba. Pria itu berucap serius sambil matanya tak henti menatap para tamu undangan yang berlalu lalang dan menatap Alin penuh minat.
Hampir saja Alin mengeluarkan kembali puding di mulutnya. Untung saja tangannya yang tanggap dengan sigap membekap. "A-apa?" Tentu saja dia berekspresi syok.
"Lupakan. Lain kali kalau mau ke acara seperti ini jangan dandan terlalu mencolok. Yang sedang-sedang saja."
Gila! Rivaldo sepertinya sudah positif gila. Siapa pria itu sampai-sampai berani mengatur Alin? Mata Alin melotot nyalang. "Tolong ya Pak, kalau ngomong sadar posisi dulu. Jangan asal nyablak." Balas Alin.
"Ada masalah? Apa kamu lupa kalau kita sudah berci—"
Alin langsung menyuapkan puding ke mulut Rivaldo sebelum pria itu berhasil menyelesaikan kalimatnya. "Berisik!"
"Kamu malu?" Tanya Rivaldo dengan mulut mengunyah puding pemberian Alin.
Tak menjawab pertanyaan bodoh Rivaldo, Alin justru beranjak untuk mengambil beberapa makanan ringan dan kembali duduk. Kali ini ia menyantap kue.
"Saya ke toilet sebentar, mau angkat telepon. Jangan coba-coba kabur." Pamit pria itu diakhiri ancaman.
"Iya!" Ketus Alin. Lagipula kalau ia kabur, memangnya akan pulang pakai apa? Taksi? Tidak, Alin lebih sayang uang untuk saat ini.
Sambil menikmati kue, mata Alin menjelajahi area ballroom untuk memantau aktivitas. Sejak awal masuk, ia belum melihat sosok Ilham. Apa pria itu tidak datang? Alin sangat penasaran.
"Jadi dia driver yang kamu maksud?"
Pertanyaan dari suara yang tak asing bagi telinganya tiba-tiba terdengar namun tak memiliki wujud. Alin menoleh kebelakang dan mendapati Ilham sudah berdiri membungkuk.
"Mas Ilham? Kok, kok Mas Ilham disini?"
Ilham berdiri dan duduk di kursi yang sempat Rivaldo duduki. "Kenapa? Saya dapat undangan dari Nisa," Jawabnya dengan mata menyipit saat melihat sesuatu di ceruk leher Alin. Alin terluka?
Sebagai perempuan peka, Alin menarik rambutnya kedepan untuk menutupi ulah Rivaldo. "Mas Ilham kesini sama siapa? Mbak Sania mana?"
"Sendiri. Dia ada shift malam."
BRENGSEK!
Rivaldo b******n! Sialan! Andai pria itu tidak memaksanya berangkat ke pesta bersama, pasti ia bisa berangkat berdua dengan Ilham. Ahhh..
Ia kembali gagal memamerkan Ilham pada rekan kerja dan karyawan restoran Ayahnya.
"Yaudah nanti aku pulangnya nebeng sekalian ya?" Tak bisa berangkat bersama, pulang bersama pun tidak apa-apa asal bisa berduaan dengan Mas Ilham, begitulah kira-kira isi otak Alin.
Ilham hanya mengangguk.
"Ohiya, kok Mas Ilham tahu aku berangkat sama driver?"
Ilham memalingkan pandangannya sejenak lantas kembali menatap Alin, "Saya tau semuanya tentang kamu, Alin."
Mau tahu ekspresi Alin saat ini? Tersenyum malu-malu dengan kedua pipi merah merona. Sangat menjijikan, bukan?
"Jangan sok tau tentang wanita saya. Ayo sayang, kita pulang."
Anjing! Suara siapa itu tadi?
Belum lagi Alin menjawab, Rivaldo sudah menggenggam tangannya dan menyeretnya meninggalkan Ilham.
"Bapak apa-apaan sih?! Lepas nggak? Lepas..." Alin terus meronta tapi tak sedikitpun Rivaldo melonggarkan cekalannya.
Karena Rivaldo enggan mendengarnya, maka cara satu-satunya adalah meminta pertolongan pada Ilham. Melirik Ilham, Alin justru dibuat syok berat karena mendapati pria pujaannya hanya diam berdiri sambil meyaksikan atraksi seorang Rivaldo menyeret Alin Kartika Putri. Sialan!
Rasanya Alin ingin berteriak sekencang-kencangnya pada langit agar mau menurunkan kepekaan pada Ilham.
"Mas Ilham tolongin aku, tanganku sakit. Aww..." Mencoba peruntungan dengan memasang wajah memelas dan rintihan kesakitan.
Tapi tetap saja Ilham masih diam. Alin jadi penasaran sekarang, apakah jika suatu saat nanti saat ia meninggalkan dunia, Ilham mau melayad untuknya? Astagaaaa! Kenapa harus memikirkan itu disaat tangannya masih di seret bak karung goni oleh Rivaldo, sih!
Baiklah, sudah saatnya Alin menyerah. Ia pasrah dan membiarkan saja Rivaldo menyeretnya.
Setelah berhasil membawa masuk Alin ke dalam mobil, Rivaldo segera melajukan kereta besi kesayangannya keluar dari area gedung pernikahan Nisa. Pria itu tak sedikitpun berbicara pada Alin. Entah maksudnya apa. Sedang mode marah mungkin?
Alin menatap Rivaldo penuh kemarahan, bahkan wajahnya sudah berubah bukan lagi warna merah merona tapi merah padam dan siap melayangkan kalimat sarkas pada Rivaldo.
"Bapak kenapa sih? Ingat ya Pak, kita tuh nggak ada hubungan apa-apa, jadi tolong jangan seenaknya!"
Rivaldo diam saja.
"Mentang-mentang pemilik perusahaan dan saya karyawan rendahan, Bapak bisa seenaknya ngatur saya. Sekarang, turunin saya! Stop Pak! Stop! Saya bilang stop ya stop!"
Rivaldo menuruti perintah Alin. Pria ini menghentikan laju mobilnya dan mengunci pintu mobil. Ia tatap wanita yang entah sejak kapan sudah mengeluarkan air matanya.
"Saya nggak suka kamu berhubungan lagi sama dia!" Katanya.
"Memangnya anda siapa larang-larang saya berhubungan dengan orang lain? Pacar? Sodara? Bapak tuh cuma atasan saya!"
"Karena kamu sekarang milik saya."