Bab 5. Tenang Hening

1069 Kata
Hening bangun dari tidurnya dan mendapatkan kakinya yang masih tak bercelana. Mengingat kejadian semalam yang begitu cepat dan dia tertunduk lesu, mulai hari ini dan seterusnya hari-harinya akan berubah. Pintu kamar terbuka dan ternyata seorang pelayan masuk sambil membawa troli makan untuk Hening. “Bu Tia?” delik Hening, mengenali wanita yang membawa troli berisi makanan lengkap. Tia tersenyum hangat melihat sekujur tubuh Hening dan rambutnya yang acak-acakan, dan Hening tentu saja refleks memperbaiki rambutnya, dan melap-lap wajahnya seadanya. “Makan yang banyak ya. Ingat, kamu nggak boleh pergi ke mana-mana dulu,” ujar Tia seraya menata makanan dan minuman di atas meja kecil di samping tempat tidur. Hening mengangguk pasrah. “Baik, Bu.” “Ibumu pesan ke saya untuk memperhatikan kamu. Jadi, kalo kamu perlu apa-apa, tinggal bilang ke saya.” “Iya, Bu.” “Bagaimana semalam?” tanya Tia yang tidak sengaja melihat noda merah di atas alas kasur. Hening terkejut mendengar pertanyaan Tia. “Ya … begitulah.” Tia masih dengan senyum hangatnya. “Semoga segera isi,” ucapnya, dan berlalu. “Bu Tia,” cegah Hening tiba-tiba. Tia berbalik. “Bu, saya mau tanya … berapa hari … saya akan dinyatakan hamil?” tanya Hening gugup. “Oh, satu sampai dua minggu lagi akan diperiksa. Jadi, kamu di sini saja. Hm … kamu baik-baik saja, ‘kan?” Tia mengamati Hening yang gugup, sedikit merasa iba dengan nasibnya. “Iya, Bu. Saya baik-baik saja,” jawab Hening. Tangannya kontan memeluk diri, berharap dia segera hamil, sehingga tidak ada hubungan suami istri lagi dengan Devan. Tia tersenyum manis melihat Hening. “Saya yakin ayahmu pasti sembuh total dan bisa bekerja lagi. Bu Risma adalah orang yang bisa dipegang kata-katanya. Pokoknya kamu tenang saja. Hm … perjuangan dan pengorbanan kamu tidak akan sia-sia, dan hidup keluargamu akan berubah lebih baik,” bujuknya. Kata-kata Tia cukup menenangkan perasaan Hening. “Baik, Bu.” Tia mengangguk sedikit ke arah Hening, memberi isyarat bahwa dia akan ke luar kamar. Hening membalasnya dengan anggukkan. Hening menghela napas panjang, matanya mengedar ke seluruh ruangan yang cukup luas, dengan fasilitas yang sangat lengkap, dari lemari baju yang sudah diisi pakaian khusus untuknya, televisi layar datar yang besar, bahkan ada dapur mini. Hening yakin hari-harinya tidak akan membosankan. Hanya saja, dia tidak diperkenankan bertemu adik-adiknya, tapi masih bisa menjalin komunikasi dengan mereka lewat ponsel. Tiba-tiba ponsel Hening berbunyi. “Halo, Bu.” “Hening, sudah bangun dari tadi atau baru bangun?” “Aku … aku baru bangun.” “Oh, kamu … kamu baik-baik saja? Apa Pak Devan kasar semalam?” “Ha?” delik Hening, heran mendengar pertanyaan ibunya. “Nggak, Bu. Pak Devan nggak kasar sama aku.” “Oh, syukurlah.” “Ke … kenapa, Bu?” “Ibu baru tahu dari bu Tia, Pak Devan itu kalo di atas tempat tidur agak kasar.” “Ha?” Hening menggerutu dalam hati. Padahal dia sudah melupakan momen semalam, tapi sekarang ibunya malah mengingatkannya. Dan Devan yang sama sekali tidak kasar. “Ya sudah kalo pak Devannya baik-baik saja. Kamu yang tenang ya. Ibu dan ayah lusa berangkat. Harum dan Hanna sudah ada yang jaga.” Hening senang mendengar suara renyah dan ceria ibunya, senang juga bahwa keluarganya dijamin Risma. Tapi, beberapa saat kemudian, suara ibunya justru berubah. “Nduk—“ “Ya, Bu?” “Kamu … Nduk, Ibu minta maaf.” “Bu, nggak usah begitu. Aku nggak nyesel, aku benar-benar ingin bantu.” “Ibu jadi ngerasa bersalah … mikirin masa depan kamu nanti gimana.” “Bu, ini kesempatan, lagi pula nggak ada yang bisa jamin masa depanku kalo aku nggak ambil keputusan ini.” Terdengar helaan napas berat di ujung sana. “Ning. Ibu … makasih ya, Nduk.” “Haha, masa makasih sih, Bu.” Hening menyusuri air matanya yang menggenang di pelupuk matanya. “Ibu doakan kamu hidup bahagia….” Lastri sepertinya tidak sanggup lagi melanjutkan ucapannya, seolah tidak yakin. “Aku sudah bahagia, Bu. Bahagia menjadi anak Ibu, dan aku bisa berkesempatan melakukan yang terbaik.” Bagaimana Hening tenang dan tidak mempermasalahkan keadaan, pernikahannya dengan Devan berlangsung lancar dan dia sudah melewati sentuhan pertama semalam. Ternyata tidak semenakutkan yang dia bayangkan. Hanya satu kali sentuhan dan dia akan menjalani kehidupannya seperti biasa. Hening tersenyum mengingat semalam, dia mengakui bahwa Devan adalah sosok yang tampan dengan tubuh tinggi proporsional. Mengingat teman-teman kuliahnya yang mengidolakan artis-artis papan atas, menurutnya Devan justru lebih dari yang mereka idolakan. Hening tersenyum kecut, dia tidak menyangka jalan hidupnya akan begini. Dia memiliki cita-cita tinggi menjadi chef di tempat dengan fasilitas terbaik, bukan menikah bersyarat seperti ini. Satu hal, dia sangat berharap ayahnya bisa sembuh, dan baginya kesembuhan ayahnya adalah segala-galanya. *** Risma diam-diam memperhatikan gelagat Devan saat sarapan. Tersenyum dalam hati karena Devan makan cukup banyak pagi itu. Yakin semalam Devan dan Hening bertempur dengan baik. “Bagaimana proyek kerjasama dengan perusahaan garmen di Bekasi?” tanya Risma, enggan membahas pernikahan Devan dengan Hening. “Sudah selesai, Ma. Tapi nggak berlanjut. Mereka sedang mengalami penurunan, ada phk besar-besaran juga di sana.” “Oh.” “Aku sengaja menyelesaikannya dengan cepat, aku sudah tahu isu kerugian perusahaan itu tahun lalu.” “Jadi, kita mengalami kerugian?” “Nggak besar, Ma. Masih bisa aku atasi.” Risma mengangguk puas, mengakui ketelitian Devan dalam mengelola perusahaan. Tak lama kemudian, Arini muncul dan bergabung dengan mereka di meja makan. Wajahnya masih terlihat sembab, meskipun sudah dia tutupi dengan make up tipis. Risma diam saja dan tidak mau bertanya, dia tidak ingin suasana sarapan pagi ini terganggu. Percakapan berlanjut, dan masih tentang perusahaan. Walaupun Arini banyak tinggal di rumah, tapi dia cukup tahu tentang seluk beluk perusahaan yang dikelola suaminya. Terlebih, keluarganya juga mengelola beberapa butik di mall mewah di Jakarta dan Bandung. Terkadang dilibatkan dalam kerjasama dengan perusahaan keluarga Devan. Arini tetap mengantar Devan sampai mobil. “Jangan menangis lagi,” ucap Devan sebelum masuk ke dalam mobil. Dia mengira Arini masih menangisi pernikahannya dengan Hening. Arini mengangguk lemah, lalu mencium punggung tangan Devan dengan penuh hormat. Devan masuk ke dalam mobil yang sudah siap mengantarnya ke kantor. Saat mobil sudah berada di luar pagar, Devan yang duduk di bagian penumpang, menoleh ke lantai tiga rumahnya. Dia tersenyum dalam hati, mengenang kegiatannya semalam. Masih mengingat wajah polos Hening saat dia cumbu dan masuki, juga suara desah Hening. Tanpa sadar, celananya terasa sesak, dan Devan cepat-cepat menenangkan diri. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN