Bab 4. Malam Pertama

1048 Kata
Devan jadi merasa iba saat melihat dahi Hening yang berkeringat deras, yakin gadis itu cemas dan ketakutan. Dia menduga bahwa Hening sepertinya tidak pernah tersentuh, bahkan mungkin tidak pernah menjalin hubungan khusus dengan laki-laki. Sejak awal diperkenalkan dengannya, sikap Hening terlihat sangat tegang dan ekspresi wajahnya yang tanpa senyum. Padahal, semua perempuan yang mengenal Devan pasti akan menunjukkan kekaguman dan justru berlomba-lomba mencari perhatian, meskipun mereka tahu pria yang memiliki wajah tegas dan tubuh sempurna itu sudah menikah. Hening sungguh berbeda dari perempuan-perempuan yang Devan kenal, ekspresi wajahnya yang datar dan tatapan matanya yang tidak fokus, menunjukkan ketidaktertarikan kepadanya. “Ning,” tegur Devan lagi, menurutnya Hening terlalu tegang, sehingga pasti sulit baginya untuk memulai. “Buka matamu.” Hening membuka matanya, “Su … sudah, Pak?” tanyanya. Devan terkekeh, menatap wajah manis Hening. Gadis ini sebenarnya cantik, batin Devan, hanya membutuhkan perawatan khusus agar lebih bercahaya. “Bagaimana aku bisa memulai, kamu ketakutan begini.” Hening mengalihkan perhatiannya ke d**a Devan yang tertutup kaus tipis, dia tidak mau menatap wajah pria yang sudah menjadi suaminya. “Ja … jadi—“ “Kamu harus relaks, nggak boleh tegang. Nanti sakit lo.” “Ha? Sakit, Pak?” Hening bertambah cemas. “Kalo kamu relaks, kamu nggak akan merasa sakit.” Mulut Hening bergetar. Suara Devan yang membujuknya lumayan membuatnya lebih tenang. Dia akhirnya mulai mengatur deru napasnya agar lebih relaks, dan matanya tetap tertuju ke d**a bidang Devan. Ada sedikit desahan keluar dari mulutnya saat miliknya disentuh, dan dia kegelian. Devan yang memperhatikan wajah Hening yang meregang nikmat, mulai tegang. “Sudah siap?” tanyanya. “Ha? Ta … tadi?” “Belum masuk.” Devan tertawa dalam hati, Dia baru saja menyentuh bagian intim Hening dengan jari-jarinya, dan dia bahkan belum melepas bawahannya. “Oh,” desah Hening, sedikit kesal karena ternyata waktu malam ini jadi lebih terasa lama, karena Devan yang seolah menunda-nunda. “Terasa nggak?” tanya Devan yang wajahnya mulai sayu. Dia sudah menurunkan bawahannya dan menempelkan anggota tubuh bawahnya yang gagah ke milik Hening. Hening mengangguk lemah, mulai merasa cemas, merasakan “benda tumpul” menekan-nekan dan bergesek di permukaan miliknya. “Oh,” desahnya pendek, dan matanya terpejam. Entah kenapa, kegelian yang dia rasakan membuat Hening ingin disentuh lebih dalam. Tanpa sadar, Hening menggerakkan pinggulnya ke atas, seolah memancing birahi Devan. Devan terkesiap, dan dia akhirnya bergerak maju. “Pak!” Hening membuka matanya lebar-lebar, menahan rasa perih di bawah, merasa ada yang robek di dalam tubuh bawahnya. Beberapa saat kemudian, rasa perih itu berubah menjadi rasa nikmat, karena Devan bergerak dengan pelan. “Relaks ya?” bujuk Devan, sedikit lega karena Hening yang cepat menurut. “I … iya, Pak.” Hening kembali memejamkan kedua matanya, sambil berulang kali membasahi bibirnya yang kering, menikmati desakan-desakan di dalam tubuhnya. Benar kata Devan, relaks adalah kunci untuk menolak rasa sakit, sebaliknya, kenikmatan menjalar di sekujur tubuh. Devan melenguh saat memompa di atas tubuh Hening, dan dia yang tidak bisa mengendalikan diri. Tubuh Hening ternyata sangat nikmat, mampu memijat senjatanya dengan sempurna. Tidak dapat Devan pungkiri bahwa sentuhan malam pertamanya dengan Hening adalah sentuhan ternikmat dalam hidupnya. Seolah tidak peduli dengan perjanjian dalam pernikahanya, bahwa dia tidak boleh b******u secara berlebihan, justru Devan semakin beringas dan memberi sentuhan romantis ke Hening. Dia melumat penuh bibir Hening dan menatap wajah Hening dengan penuh kelembutan. Begitu pula dengan Hening, yang sudah relaks dan menikmati sentuhan pertamanya. Refleks, dia memeluk Devan yang berayun di atas tubuhnya. “Aku bergerak lebih cepat, kamu yang relaks ya?” bujuk Devan sambil mengusap pipi Hening. Hening mengangguk, sedikit merasa lega karena tak lama lagi malam pertamanya akan berakhir. Devan bergerak lebih cepat sekarang, dan mereka berdua saling tatap. “Enak?” tanya Devan yang tersenyum kecil. “I … iya, Pak,” tanggap Hening yang mulai terdesak. Setelahnya, keduanya saling melenguh, bersahut-sahutan. Hening tidak menyangka bahwa berhubungan badan dengan suami bisa senikmat ini. Apalagi ternyata Devan tidak segalak yang dia pikirkan, membuatnya tenang dan yakin bisa menjalani perannya hingga selesai sempurna. Begitu pula dengan Devan, tidak menyangka bahwa Hening bisa cepat beradaptasi, menikmati sentuhan pertamanya dengan tenang. Devan melenguh berulang kali saat pelepasan, dan wajah Hening berbinar cerah karena merasa lega. Hening langsung memiringkan posisi rebahnya saat Devan menarik tubuhnya dan rebah di sampingnya. Dia tidak mau terlibat pembicaraan lebih jauh dengan Devan. Dia masih mengingat wajah tegang Arini saat melepas suaminya menikah dengannya, mengingat tujuan dari pernikahan bersyarat ini, dan dia tidak ingin Arini kecewa. Melihat sikap Hening, Devan meraih ponsel dan mengatur waktu, lalu mememejamkan matanya dan tidur. Satu jam kemudian, alarm berbunyi, Devan dengan cepat meraih ponselnya dan mematikan alarm, dia menoleh sejenak ke Hening yang tidur meringkuk, lalu beranjak dari tempat tidur dan ke luar dari kamar. “Kenapa lama?” tanya Arini yang ternyata sudah berdiri di depan pintu kamar pengantin. Wajahnya menunjukkan khawatir dan cemas, juga kecemburuan. Devan tampak tidak kaget, bersikap tenang. “Kamu pikir dia berpengalaman? Tentu saja dia cemas dan butuh waktu,” ujar Devan. Arini menatap wajah Devan gusar. “Katanya kamu sudah merelakan semua, lalu kenapa kamu mengawasiku?” tanya Devan, agak kesal dengan Arini. Dia baru saja menikmati momen malam pertama dengan “istri keduanya”, tapi sudah “diganggu”. “Ya, aku rela, Mas. Tapi ini sudah lebih dari dua jam,” keluh Arini. Devan menatap wajah Arini ogah-ogahan, kesal dan kecewa. Kemudian, keduanya berjalan menuju lift dan turun ke lantai paling bawah, menuju kamar. Arini tidak lagi berkata apapun, begitu pula dengan Devan. Setibanya di dalam kamar, Devan langsung melangkah menuju kamar mandi dan membersihkan diri di malam yang cukup larut. Arini duduk terdiam dengan kedua tangan di atas pangkuan, perasaannya bercampur aduk. Ternyata tidak mudah menjalani hidupnya, dikhianati suami dan dia yang tidak berdaya, dia yang sudah terlalu cinta kepada Devan dan tidak mau kehilangan. Mengingat kembali pertengkaran hebat tahun lalu, dia mengeluhkan Devan yang ternyata diam-diam menjalin hubungan khusus dengan Karen, mantan kekasihnya. Betapa sakit hati Arini ketika membaca pesan-pesan mesra keduanya di ponsel Devan. Dengan berat hati dia menerima kenyataan itu, dan Devan mengaku masih mencintai Karen yang baru saja bercerai. Arini hampir saja diceraikan, tapi dia keberatan dan mertuanya turun tangan. Sampai pada akhirnya Arini memutuskan untuk tetap bersama Devan dan membiarkan Devan berbuat sesuka hati. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN