Karen sudah berada di depan setir mobilnya, masih mengingat wajah bingung Devan saat hampir mencumbunya. Tidak pernah selama ini Devan menolak bercinta dengannya, pria itu selalu menyambutnya dengan semangat dan biasanya lebih dulu memulai, sambil mengeluhkan istrinya yang tidak bisa menyenangkannya.
Karen memukul setir dengan perasaan kesal, menyesal kenapa dia membiarkan pernikahan Devan terjadi. Bisa saja dia mencegah dan mengancam Devan, karena tahu Devan hanya tunduk kepadanya. Apa boleh buat, kini sudah terlambat, dia yang terlalu naif dan termakan bujukan Devan yang berhasil meluluhkan hatinya, dan sekarang dia merasa sangat bodoh.
“Nggak mungkin … nggak mungkin Devan jatuh cinta kepada gadis itu,” gumam Karen sambil menggeleng kuat. Dia sudah melihat foto wajah Hening yang dia dapatkan dari seorang informan, seorang gadis muda berwajah biasa dan berkulit gelap tak terawat. Devan tidak mungkin menyukai gadis itu, tidak mungkin pula memiliki hasrat kepadanya. Tapi apa yang membuat Devan tidak berdaya? Apa yang sebenarnya terjadi semalam? Apa Devan berhasil melalui malam pertamanya dengan gadis itu atau sebaliknya?
Kali ini Karen malah mengutuk dirinya yang terlampau cepat emosi. Dia meraih ponsel dan menghubungi Devan.
“Halo, Karen.” Terdengar suara Devan yang sudah lebih tenang.
“Devan—“
“Aku minta maaf soal tadi. Aku—“
“Nggak apa-apa, Dev. Aku ngerti, kamu baru saja menikah dan pasti sedang bingung bagaimana menghadapi mamamu yang semaunya.”
“Ya, begitulah. Kamu di mana?”
“Aku … aku masih di mobil, hm … memikirkan kamu.”
Terdengar tawa kecil di telinga Karen dan Karen senang mendengarnya.
“Aku lupa menanyakan tentang malam pertamamu semalam,” ujar Karen dengan senyum kecut.
Devan masih dengan tawa kecilnya, seolah enggan menanggapi ucapan Karen.
“Jadi bagaimana? Apa dia … hot?”
“Karen, tentu saja dia tidak se hot kamu. Dia tidak berpengalaman dan kamu tahu seleraku yang bagaimana.”
“Seleramu hanya aku tentunya, tidak pasif seperti Arini,” ujar Karen dengan penuh percaya diri, mengingat momen-momen panasnya bersama Devan, dan dia sudah merasakan seluruh gaya dan suasana yang sangat seru selama ini.
“Jadi kamu nggak perlu khawatir. Soal tadi, ck … aku harap kamu mengerti.”
“Ya, aku tahu. Kamu baru saja menikah. Hm … aku akan terbiasa dengan ini. Lagi pula, nggak ada sentuhan lanjutan, ‘kan?”
Devan terkekeh di ujung sana, membuat perasaan Karen berubah damai dan tenang.
“Baik, Devan. Aku … pulang dulu. Aku liat banyak dokumen yang bertumpuk di atas mejamu. Kamu pasti sangat sibuk.”
“Karen, kamu luar biasa,” puji Devan.
Karen lalu menyalakan mesin mobilnya, dan pamit pulang dengan tidak lupa meninggalkan kata-kata penuh cinta ke Devan.
***
Devan pulang lebih awal hari ini dan dia disambut senyum hangat Arini. Seperti biasa, Arini menanyakan pekerjaannya dan berbasa basi. Sikap Arini membuat Devan tenang dan tidak gusar, nyaris melupakan pertengkaran kecilnya dengan Karen di kantor. Arini menyadari bahwa dirinya tidak bisa sepenuhnya memuaskan suaminya, mengeluh sakit saat berhubungan intim. Terutama sejak dinyatakan tidak bisa mengandung, emosi Arini yang selalu tidak terkendali, pasrah dengan keadaan. Lebih-lebih saat tahu Devan berselingkuh, dia berubah apatis dan tidak mau menuntut lebih.
“Ada apa, Mas?” tanya Arini yang melihat Devan menatap dirinya dengan tatapan yang tidak biasa.
Devan terkekeh pelan. “Nggak ada apa-apa. Kamu jauh lebih tenang sore ini dibanding tadi pagi. Biasanya kalo kamu nangis pagi-pagi, minimal dua hari kamu baru tenang,” ujar Devan, yang tentu sangat mengenal Arini.
Arini tertawa menggeleng. Setelah mencurahkan isi hatinya kepada mertuanya pagi tadi tentang kegalauannya terhadap Karen, emosinya berubah stabil. Risma memberi pendapatnya tentang Devan yang membujuk Karen melalui telepon. Menurut Risma Arini tidak perlu menangis, membuktikan bahwa Karen mulai panik karena pernikahan Devan, dan dirinya yang seharusnya tenang.
“Ya, aku tenang karena kamu pulang lebih cepat hari ini,” ujar Arini.
Devan tersenyum kecil mendengar kata-kata Arini. Dia sebenarnya menyadari bahwa Arini dan Karen memiliki watak dan kepribadian yang bertolak belakang, Arini yang tenang dan lemah lembut, dan Karen yang meledak-ledak. Dan dia yang sepertinya tidak bisa lepas dari dua wanita ini.
Mendekati Arini, Devan tersenyum dan berkata, “Kamu sangat baik, Arini,” lalu mengecup lembut pipi Arini, dan memberi kecupan hangat di bibir.
Arini mendengus tersenyum, Devan memang sangat pandai membujuk, dan dia yang tidak mengerti kenapa dirinya yang tidak bisa terlalu emosional di depan laki-laki berwajah tampan ini dengan segala pesonanya. “Awal yang baik,” gumam Arini dalam hati, melihat sikap suaminya yang lemah lembut kepadanya.
***
Makan malam yang spesial malam ini, Arini yang memasak khusus untuk Devan dan mertuanya. Risma tidak berhenti memuji masakan menantunya itu, berupa sambal kepiting dan tumis kangkung.
“Tapi jangan terlalu sering makan makanan begini. Kolesterol bisa naik,” ujar Risma yang agak kalap saat menikmati makan nasi bercampur sambal kepiting masakan Arini.
“Ya, sekali-kali, Ma. Sudah lama juga Arini nggak masak ini.” Devan pun tampak lahap menikmati makan malamnya, membuat perasaan Arini senang dan puas.
Saat asyik menikmati makan malam dan berbincang akrab, tanpa sengaja Devan menoleh ke dapur, melihat Tia yang sedang mendorong troli makanan menuju lift. Mendadak perasaannya berubah, dan pikirannya yang tidak fokus, dan selera makannya yang mendadak turun.
Tampaknya Risma menangkap perubahan di wajah Devan, lalu melirik Arini yang fokus dengan makanannya dan luput memperhatikan suaminya. Risma berharap Arini tidak menyadarinya dan tetap senang dengan pujian-pujian Devan tentang masakannya. Entahlah, Risma sedikit merasa senang dengan perubahan Devan. Juga, berharap minggu depan ada kabar baik dari Hening.
***
Setelah memastikan Arini tidur nyenyak, Devan beranjak dari tempat tidur dan ke luar kamar. Dia tidak mengerti kenapa perasaannya kurang enak malam ini, juga pikiran yang sedikit kalut. Apalagi mengingat pertengkarannya dengan Karen, lalu dia yang mendadak kurang bernafsu menghadapi Karen. Padahal selama ini dia selalu menyambut baik kedatangan Karen.
Devan sudah masuk ke dalam lift menuju lantai tiga, tanpa ragu berjalan menuju pintu kamar Hening yang tertutup rapat.
Sudah dua kali Devan mengetuk pintu kamar, tapi tidak dibuka dari dalam.
“Ning,” panggil Devan akhirnya, tidak peduli dengan kamera pengaman di dekatnya.
Pintu kamar dibuka dari dalam, dan Hening terperangah melihat Devan.
“Pak?”
Bersambung