Hening baru saja selesai makan dan perutnya pun terasa kenyang. Tidak dapat dia pungkiri bahwa dia mulai menikmati situasinya, mensyukuri keadaannya. Dia mulai menyukai kesunyian dan kesendirian, dan dia masih bisa menghubungi keluarganya, bahkan bisa bercanda dengan kedua adiknya.
Baru saja Hening menyalakan televisi hendak menyaksikan film action kesukaan, dia mendengar pintu kamarnya diketuk dari luar, merasa tidak ada suara yang memanggilnya, Hening jadi ragu membuka pintu.
Hening masih saja bertanya-tanya siapa yang mengetuk pintu kamarnya, dan dia memilih diam beberapa saat. Dia sempat berpikir bahwa mungkin saja Devan yang mengetuk pintu.
“Ning.”
Suara yang dikenal memanggil Hening.
Berdecak kecil, Hening turun dari tempat tidur, melangkah pelan menuju pintu kamar.
Hening terperangah melihat Devan berdiri di luar pintu, dan laki-laki itu menatapnya hangat.
“Boleh aku masuk?” tanya Devan.
Hening menatap wajah Devan ragu, karena terbayang di benak Hening akan wajah Arini. Dia hampir menutup pintu, tapi dengan cepat Devan menahan dengan satu tangan.
Hening tampak tidak berdaya, membiarkan suaminya masuk ke dalam kamar.
Saat sudah berada di dalam kamar, Devan menutup pintu kamar dan menguncinya.
Melihat gelagat Devan yang mencurigakan, Hening mundur beberapa langkah, mengambil sikap siaga.
“Sudah makan?” tanya Devan, melirik troli makanan yang sudah rapi, piring dan alat-alat makan lainnya sudah bersih dan ditata rapi Hening, sedikit makanan yang bersisa.
Hening mengangguk tanpa bersuara. Kedua tangannya memegang erat pakaian tidurnya, masih mengingat kejadian malam pertama.
Devan mendekati Hening.
“Pak—“
“Ning. Jangan takut begitu.”
Hening melangkah mundur sampai tubuhnya bersender di sisi dinding. Dia tidak menyukai kehadiran Devan di kamarnya, dan dia masih dengan perasaan takutnya.
Devan tersenyum kecil, memaklumi ketakutan Hening.
“Aku sudah mengatur perjalanan ayah dan ibumu ke Singapore, juga sudah membuat janji dengan dokter terbaik di sana,” ujar Devan memulai.
Wajah Hening sedikit berubah mendengar ucapan Devan yang menyinggung keduaorangtuanya, dan perasaannya menghangat.
“Aku sudah menyerahkan diagnosa dari dokter di sini ke rumah sakit di sana, dan mereka bilang akan memeriksakannya kembali. Ya, Semoga masih ada harapan bahwa ayahmu tidak perlu menjalani terapi pengobatan seumur hidup.”
Hening tertegun mendengar ungkapan Devan tentang keadaan ayahnya, merasa tenang dan dia pun membiarkan Devan mendekatinya.
“Enak makan malammu?” tanya Devan yang sudah berdiri di depan Hening, begitu dekat.
“Iya, Pak.”
“Arini yang masak.”
Hening terdiam, lalu mengangguk kecil.
Devan memegang kedua lengan Hening yang tergantung, mengusap-usapnya.
“Pak, saya….” Hening ingin mengungkapkan sebuah penolakan, tapi di saat dia mengangkat kepala dan memandang wajah Devan, dia terdiam, tidak sanggup berkata-kata.
“Aku hanya ingin melihat keadaanmu, juga menceritakan tentang ayahmu yang akan berangkat.”
“Pak.”
“Ya, Ning?”
“Jadi, ada harapan ayah saya sembuh total?” tanya Hening, dia merasa lebih tenang jika membicarakan tentang ayahnya.
“Harapan tentu saja ada. Ya, kita juga nggak bisa bergantung atau percaya satu diagnosa. Terkadang kita membutuhkan pemeriksaan lainnya. Menurutku ayahmu tidak separah itu. Kita berdoa yang terbaik.”
Perlahan senyum Hening mengembang mendengar ucapan Devan yang optimis, meskipun masih terlihat ekspresi khawatir dan cemas di wajahnya.
Devan memegang pipi Hening, mengelusnya.
“Pak—“ Hening hendak menolak, tapi Devan tetap dengan sikap tenangnya.
“Aku hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja. Aku juga ingin mengabarkan tentang apa yang aku tahu tentang keadaan ayahmu.” Wajah Devan semakin dekat ke wajah Hening.
“Pak, jangan.” Hening mengalihkan wajahnya dari bibir Devan yang sudah mengena pipinya.
“Apanya yang jangan, Ning? Nggak salah aku menciummu. Kamu, ‘kan istriku,” ujar Devan, menatap hangat wajah Hening. Dia lalu memeluk Hening.
Hening sedikit terperangah akan sikap Devan, mau tidak mau membiarkan tubuhnya berada di dalam dekapan Devan. Matanya terpejam saat merasakan belaian tangan Devan di kepalanya dan punggung, dan dia merasakan ketenangan.
Begitu pula dengan Devan yang tampak menikmati kedekatannya dengan Hening. Matanya terpejam saat Hening membalas pelukannya.
“Aku tenang, Ning,” ucap Devan, membuka matanya, dan mundur dari dekapan Hening. Perlahan, sambil mengamati gelagat Hening, Devan mendekatkan bibirnya di bibir Hening, tanpa ragu memagutnya.
Hening terbuai, sentuhan nikmat semalam terlintas di benaknya saat bibirnya dilumat lembut, dan dia merasakan bawah perutnya berdenyut. Tanpa bisa dia kendalikan, dia melayani permainan mulut dan lidah Devan.
Keduanya saling melumat bibir dan berlama-lama.
“Sudah, Pak. Cukup—”
“Ssst. Panggil aku Mas. Jangan Bapak.”
Bibir Hening bergetar, dadanya sesak, mendengar permintaan Devan. Dia lalu mengatup mulutnya kuat, seolah enggan mengubah panggilan ke Devan.
“Ya, aku tahu. Tapi nanti kamu akan terbiasa,” ujar Devan, berharap Hening mengubah cara menyapa.
Devan mundur dari posisi berdiri Hening, lalu melangkah cepat menuju pintu kamar. Dia sempat berbalik, mengamati Hening yang berdiri terpaku. Setelah memastikan Hening tersenyum ke arahnya, barulah dia ke luar dari kamar dan menutup pintu.
Hening menghela napas lega, berjalan cepat menuju tempat tidur, dan rebah di atasnya. Dia lalu mematikan televisi dan langsung memejamkan matanya.
***
Devan menghela napas pendek saat sudah berada di luar kamar Hening, menutup pintu kamar rapat-rapat. Tersenyum kecil mengingat sikap Hening yang takut-takut, tapi pada akhirnya pasrah di dalam pelukannya. Dia memang pandai meluluhkan hati wanita, dan tahu apa yang membuat perasaan Hening lebih tenang dan sedikit gembira di dekatnya, membicarakan tentang keluarga, terutama kesehatan ayahnya.
Entahlah, Devan merasa jatuh cinta lagi, dan kali ini sangat berbeda, dan dia yakin Hening yang juga jatuh cinta kepadanya. Dibanding dua perempuan sebelumnya, Hening sangat tulus, dia lebih siap berpisah dan mampu membiarkan Devan bahagia dengan hidupnya.
Devan mendengus tersenyum, tidak menyangka perasaan ini datang begitu cepat, dan dia yakin pula dengan perasaannya, terbukti dia merasakan ketenangan yang luar biasa saat memeluk Hening barusan, dan Hening yang diam-diam membalasnya.
Hampir saja Devan ingin kembali masuk ke dalam kamar Hening lalu menghabiskan waktu mesra bersama, tapi, dia urung membuka pintu. Dia tidak mau membuat perasaan Hening terganggu, lalu diliputi ketakutan dan kekhawatiran, karena pernikahan yang bersyarat.
***
Hening tersenyum lebar melihat ayah dan ibunya yang sudah berada di bandara melalui layar di ponselnya, bersiap menuju ke Singapura, ada dua pengawal laki-laki berbadan tegap yang mendampingi mereka berdua, dan dua orang perawat.
“Hati-hati di jalan, Bu,” ujar Hening ke layar ponselnya, saat melakukan video-call dengan ibunya.
“Iya, Ning. Kamu juga hati-hati di sana. Pokoknya nurut sama bu Risma … ya? Tadi bu Tia bilang kamu semakin sehat, Ibu jadi tenang.”
“Iya, Bu. Aku tenang dan aman di sini.” Hening memegang perutnya.
“Semoga cepat, kamu jangan terlalu khawatir.”
“Iya, Bu.”
Perasaan Hening tenang setelah melihat ibunya dijaga dengan baik orang-orang yang dipercaya Risma. Mereka terlihat sigap, terutama saat mengawasi ayahnya. Hening tersenyum hangat, mengingat kembali kedatangan Devan ke kamarnya semalam, memberitahunya tentang persiapan keberangkatan keduaorangtuanya ke Singapura, dan ayahnya yang akan mendapatkan perawatan dan pengobatan yang terbaik.
Hening duduk dengan senyum lebar di wajah, membayangkan keadaan keluarganya yang kembali seperti dulu, atau mungkin lebih baik di masa mendatang, mengingat banyaknya materi yang dia terima saat menyelesaikan tugasnya dengan baik, sebagai istri kedua.
Tiba-tiba ponselnya berbunyi lagi, tapi Hening tidak mengenali pemilik nomor.
Hening memilih tidak menanggapi panggilan itu, berpikir mungkin orang iseng atau penipu online yang sekarang marak.
Tapi, nomor tersebut masih juga memanggilnya.
“Halo.”
“Ning.”
Hening terperanjat, ternyata Devan yang menghubunginya.
Bersambung