Saking paniknya, Hening tidak sengaja menekan tombol merah di layar ponselnya.
“Astaga, ada apa denganku.” Hening tidak mengerti dengan keadaannya, dan tangannya yang tiba-tiba gemetar.
Ponselnya berbunyi lagi. Dengan hati-hati Hening menyambut panggilan Devan.
“Halo, Ning.”
“I … iya, Pak Devan.”
“Sudah sarapan pagi?”
“I … iya, Pak. Saya sudah.”
Terdengar helaan napas berat di ujung sana.
“Aku sudah bilang, jangan panggil aku “Pak”.”
Hening menarik napas dalam-dalam sembari memejamkan matanya, mengatur detak jantungnya yang cepat agar kembali normal. “Iya, Mas Devan.”
“Nah, gitu dong. Hm … kamu simpan nomor ini. Pakai nama yang lain—“
“Pak, saya nggak suka begini.”
“Hening!”
Hening terdiam mendengar suara berat dan tegas Devan, hingga tanpa sadar tangannya menggenggam alas kasur kuat-kuat.
“Kamu simpan nomor ini dengan nama lain, selain Devan,” tegas Devan.
“Pak … Mas, saya nggak mau merusak perjanjian.”
“Menerima telepon dari aku bukan bagian dari perjanjian dan nggak ada larangan.”
Hening menelan ludahnya kelu. “Ok, saya simpan nomor ini,” ujarnya. “Tapi—“
“Ya?”
“Pak, Mas … saya … saya nggak mau terlibat dalam kesulitan. ‘Kan … saya … kita … kita nggak bisa bertemu seperti semalam. Itu sudah merusak perjanjian, Mas.” Hening akhirnya memberanikan diri untuk menolak, meskipun dia dilanda gugup.
“Kamu adalah tanggung jawabku.”
Suara Devan sangat berat dan tegas di telinga, dan Hening tidak mengerti kenapa dia yang pada akhirnya luluh dan menurut. “Baik, Mas.”
“Ayah dan ibumu sudah berangkat,” ujar Devan, dan nada suaranya mulai melunak.
“Ya, tadi ibu barusan menelepon dan dia sudah di bandara.”
“Ok, Hening. Baru saja saya mendapat kabar bahwa sudah ada yang bersedia mendonorkan ginjal untuk ayahmu. Semoga ada kecocokan.”
“Iya, Mas.”
Panggilan berakhir saat Devan pamit karena ada panggilan lain di kantornya.
Hening diam sambil menenangkan diri, memikirkan nasib ayahnya, berharap bisa mendapat pengobatan yang baik dan sembuh seperti sedia kala. Dia memegang perutnya, dan tersenyum tipis, membayangkan mengandung bayi lucu, hasil pernikahannya dengan Devan. Namun, senyum Hening berubah kecut, berpikir apa dia sudah siap menyerahkan anaknya ke pihak Devan. Hening menggeleng, menghilangkan keraguan dalam dirinya.
***
Devan langsung menyimpan ponsel kecilnya ke dalam laci meja kerjanya saat Karen datang ke ruang kerjanya. Karen tampak sangat cantik saat itu, dan tidak seseksi biasanya. Berpakaian rapi dengan kemeja dan celana panjang, tapi tetap menujukkan bahwa dia memiliki tubuh yang sempurna dan membuat iri para wanita.
“Maaf, aku yang hampir setiap hari datang ke kantormu. Ck, aku … ingin menjaga hatimu, Devan,” ujar Karen, duduk di atas sofa.
Devan bangkit dari duduknya, melangkah menuju sofa dan duduk di samping Karen. “Kenapa harus dijaga, sudah terbukti aku sedari dulu sampai sekarang nggak bisa lari darimu,” ucapnya merayu.
“Gombal. Kamu memang pandai merayu, Devan.”
“Karena wanita suka dirayu.”
“Nggak semua.”
“Jadi kamu nggak suka dirayuku?” tanya Devan sambil memainkan rambut Karen yang menutupi pipi kanannya.
Karen tertawa kecil. “Kamu … ck, selalu bisa membuatku memaafkan.”
“Memang aku salah apa?”
“Menikah dengan perempuan lain.”
“Aku saja sudah menikah dengan Arini, dan kamu nggak keberatan dengan statusku. Lalu kenapa kamu keberatan dengan pernikahanku yang satu ini.”
“Karena kamu dan perempuan itu yang akan memiliki anak, ada ikatan di antara kalian berdua.”
“Karen, aku … tidak memiliki perasaan apapun kepadanya.”
“Apa iya?”
“Ya.”
“Tapi akan beda jika perempuan itu hamil anakmu, Devan. Ck, kenapa bukan sama aku saja kamu menikah. Aku terbukti sudah punya anak, sementara perempuan itu? Belum tentu bisa hamil. Apa istimewanya dia? Ck, kenapa kamu sangat lemah untuk menentang mamamu.” Karen memukul-mukul d**a Devan dengan sikap manjanya.
Devan tertawa kecil, meraih kedua tangan ramping Karen dan menggenggamnya. “Hei, kamu tahu mamaku nggak menyukaimu, tapi aku tetap bertahan. Kamu bilang kamu nggak peduli mamaku, tapi hanya peduli aku.” Devan mengecup tangan Karen dalam-dalam.
Karen mendengus kesal, menatap dalam-dalam wajah Devan. “Aku mencintaimu, Devan.”
“Aku tahu.”
“Kemarin aku sangat menginginkan sentuhanmu.”
“Bagaimana kalo sekarang?” tawar Devan.
“Kamu terlambat, aku sedang datang bulan.”
“Haha.”
“Lagi pula aku takut terjadi lagi seperti kemarin, kamu yang tiba-tiba berhenti.”
“Pikiranku sedang kacau.”
“Devan—“
“Ya, Sayang?”
“Bagaimana malam pertamamu dengan perempuan itu?”
Devan tertawa renyah.
“Pasti kesulitan, karena baru pertama kali, ‘kan?”
Devan tertawa lagi.
“Kenapa tertawa? Kamu masih ingat kenakalan kita saat tamat SMA dulu, kamu yang telah mengambil keperawananku.”
“Karen.”
“Apa seperti itu? Aku yang menangis karena pecah perawan, dan kamu jadi nggak nyaman.”
“Haha, kamu ternyata masih mengingat itu.”
“Jadi kamu sudah melupakannya? Padahal itu sentuhan pertama kita.”
Devan terdiam, entah kenapa dia merasa kurang nyaman karena Karen yang telah mengingatkannya akan kejadian beberapa tahun silam. “Ya ya ... aku ingat.”
“Jadi, apa perempuan itu menangis?” tanya Karen ingin tahu.
Devan memperbaiki posisi duduknya, tidak nyaman Karen menyebut Hening dengan sebutan “perempuan itu”, padahal Hening adalah istri sahnya, meskipun dengan perjanjian dan persyaratan.
“Dia tidak menangis,” jawab Devan, malah mengingat secara detail bagaimana Hening mengerang sakit, tapi setelahnya menikmatinya.
Karen sedikit terperangah. “Masa? Bukannya kamu sangat kasar?”
“Karen, tentu saja aku membujuknya.”
Wajah Karen berubah masam, membayangkan Devan tengah membujuk mesra istri keduanya.
“Karen, aku bercerita apa adanya. Nggak ada yang aku tutup-tutupi darimu.”
Karen menghela napas panjang, masih dengan perasaan kesalnya dengan semua yang terjadi. “Devan, aku butuh uang,” ujarnya tiba-tiba.
Devan mendengus tersenyum. “Berapa?”
“Nggak banyak, seratus juta. Aku diundang ke Tokyo, ikut acara bisnis MLM,” jawab Karen. Dia memang memiliki kesibukan berdagang kosmetik dan kecantikan dengan sistem MLM, yang sudah dia geluti selama lima tahun.
Devan lalu meraih ponselnya dan menghubungi seseorang untuk mengirim dana yang dibutuhkan Karen. “Berapa lama kamu di sana?” tanyanya dengan ekspresi wajah datar.
“Dua minggu, Devan.”
Devan terkekeh pelan, meraba-raba pinggang ramping Karen. “Aku pasti merindukanmu.”
Karen memandang Devan tidak percaya. “Devan—“
“Ya?”
“Apa benar hanya terjadi hubungan badan satu kali dengan istri keduamu setelah dinyatakan hamil?”
Ah, akhirnya Karen sebut juga istri kedua, dan Devan tertegun mendengarnya.
Bersambung