Devan diam beberapa saat, tatapannya tertuju ke wajah cantik dan mulus Karen, mengangguk seraya berucap. “Memang begitu di dalam perjanjian, tapi jika dia belum mengandung, aku … harus mengulang berhubungan badan dengannya.”
Karen menggeleng tertawa. “Masih ada orang tua dengan pikiran seperti itu, membuat peraturan seenaknya, bermain-main dengan pernikahan.”
“Aku setuju denganmu. Menikah ya menikah saja, tanpa ada perjanjian seperti itu.”
Karen menepuk pipi Devan. “Itu memang maumu, bisa celap celup sana sini.”
“Aku seorang suami, nggak ada yang salah menurutku, justru mamaku yang salah, membatasi gerakku.”
Karen memandang wajah Devan kesal. “Kalo begitu aku berpihak ke mamamu.”
Devan tertawa kecil, senang memancing sewot Karen.
Karen bersiap-siap pergi karena Devan telah mengirimnya uang. Dia berdiri dan berjalan menuju pintu, sedangkan Devan masih duduk santai di sofa sambil memperhatikan kepergian Karen.
Karen menoleh ke belakang, menatap Devan heran.
“Ada apa, Karen?” tanya Devan dengan sikap santainya.
“Hm … nggak ada ciuman perpisahan?” Karen balik bertanya, biasanya Devan mengantarnya sampai ke pintu saat dia pergi dari ruang kerjanya, tapi pagi ini Devan seolah membiarkannya.
Devan bangkit dari duduknya, dengan malas melangkah mendekati Karen yang manja. Memeluk erat Karen dan mengecup lembut pipinya.
“Entahlah, Devan. Aku merasa kamu berubah setelah menikah,” ujar Karen khawatir.
“Hanya perasaanmu. Aku nggak berubah, tetap Devan yang kamu cinta.”
Wajah Karen langsung berubah, dan perasaannya menghangat mendengar kata-kata Devan, dia akhirnya bisa pergi dengan perasaan tenang.
Devan menutup pintu ruang kerjanya dengan perasaan lega. Entah kenapa dia senang dengan kepergian Karen kali ini, merasa bisa bergerak lebih bebas.
Devan kembali duduk di kursi kerjanya, membuka laci dan meraih ponsel rahasianya, mengirim pesan pendek ke istri keduanya.
Hening : baik, Mas. Saya akan mengingat jadwal minum obat
Devan menghela napas lega, Hening cukup cepat membalas pesannya, mengingatkan Hening untuk menelan vitamin tepat waktu setiap hari.
***
Hening tersenyum lega karena perjalanan ayah dan ibunya ke Singapura lancar dan tidak ada kendala. Yang mengejutkan, tidak ada keluhan berarti dari ayahnya, mengaku sehat dan baik-baik saja. Hening mengerti karena ayahnya yang terlalu senang karena baru pertama kali melakukan perjalanan ke luar negeri, sehingga tidak menyadari bahwa dia sedang sakit. Hening sendiri saja belum pernah ke luar negeri, juga tidak pernah naik pesawat, dan dia ikut senang mendengar celoteh ayah dan ibunya di sana.
Hening memegang perutnya, berharap pengorbanannya tidak sia-sia.
Setelah baru saja dia menerima panggilan dari ayah dan ibunya yang sudah tiba di kota tujuan, Hening mendengar pintu kamar diketuk dan dia mendengar suara wanita memanggilnya.
“Bu.”
“Hening? Boleh Ibu masuk?”
“Iya, Bu. Tentu saja.” Hening mempersilakan Risma masuk ke dalam kamar. Sedikit merasa canggung karena Risma bertanya sebelum masuk, padahal ini adalah rumahnya. Tapi Hening menyadari bahwa Risma adalah wanita penuh sopan santun, meskipun keras kemauan dan agak pemaksa. Sekilas, persis anaknya.
Risma duduk di atas sofa, dan dia menyuruh Hening duduk rebah di tempat tidur yang tentu lebih nyaman.
“Kamu sudah mendapat kabar dari ayah dan ibumu?” tanya Risma dengan senyum hangatnya.
“Sudah, Bu. Baru saja. Ayah dan ibu sedang menuju ke rumah sakit.”
Risma mengangguk tersenyum. “Semoga operasi transplantasi ginjal di sana berjalan dengan baik, dan ayahmu bisa sembuh,” gumam Risma penuh harap.
Hening mendekati Risma, memeluk kedua kakinya.
“Hening. Hei, nggak perlu begini.” Risma mengangkat kedua bahu Hening.
“Terima kasih, Bu. Terima kasih.”
Risma tertawa kecil. “Hening. Ini baru saja dimulai.”
Hening duduk bersimpuh di depan Risma. “Saya tahu ini baru dimulai, tapi bagi saya Ibu … baik sekali.” Hening sampai bingung harus berucap.
Risma menatap Hening hangat, dia tahu gadis itu tahu diri dan tahu balas budi. Dia melirik ke vitamin yang ada di atas meja, serta makanan yang dia sediakan untuk Hening. Benar apa yang dia pikirkan tentang Hening, gadis itu sangat penurut dan mau mengikuti peraturannya. Sayang sekali Arini tidak seperti Hening, dia keras kepala dan terkadang memberontak. Seandainya Arini sejak dulu mengikuti peraturannya, tidak akan ada drama pernikahan kedua ini.
“Ibu sudah menjadwalkan konsultasi dengan dokter kandungan. Kita mulai minggu depan,” ujar Risma.
Hening mengangguk tersenyum. Entah kenapa dia merasa sangat tenang dengan kehadiran Risma di kamarnya, sama yang dia rasakan saat Devan datang mengunjunginya semalam.
Risma menghela napas panjang melihat wajah polos Hening. “Maafkan Ibu, Hening. Kamu hidup seperti ini dan pasti terasa membosankan.”
Hening tertawa menggeleng. “Saya nggak apa-apa, Bu.”
Risma tampak puas dengan sikap Hening, dia beranjak dari duduknya dan pamit ke luar. Cukup puas dengan keadaan Hening yang terlihat sehat, fisik dan mentalnya.
Risma sudah berada di luar kamar, berdiri menatap pintu kamar Hening yang tertutup. Menghela napas berat, ingin segera keadaan ini berlalu dengan lancar. Dia mengingat wajah Arini yang murung beberapa hari ini, yakin karena pernikahan kedua Devan dengan Hening. Wanita mana yang sanggup hidup seperti Arini, hidup satu rumah dengan perempuan yang menikah dengan suaminya. Meskipun hanya sebuah pernikahan dengan perjanjian, juga satu kali hubungan dan tidak ada cinta, tetap saja keadaan ini sangat memberatkan Arini. Namun, apa boleh buat, menurut Risma satu-satunya jalan mengacaukan pikiran Devan dan Karen, adalah dengan menghadirkan orang keempat di antara mereka. Terlebih, dia yang sudah menginginkan kehadiran seorang cucu.
Risma memegang dadanya, sangat berharap semua berjalan sesuai dengan apa yang dia inginkan. Tapi, dia tetap memikirkan hal-hal yang di luar kendalinya, seperti Devan yang terkadang sikapnya tidak terduga. Dan dia yang harus siap dengan berbagai kemungkinan yang terjadi, sekalipun tidak sesuai dengan harapan dan rencana.
***
Hari-hari berikutnya dijalani Hening dengan tenang, Devan tidak lagi datang menghampirinya di kamar secara tiba-tiba, hanya mengirim pesan, itu pun sangat jarang dan berupa basa basi, mengingatkannya untuk tidak lupa makan tepat waktu.
Akhirnya Hening bisa pergi ke luar dari kamar setelah dua minggu, karena akan pergi memeriksakan diri ke dokter kandungan bersama Risma dan Arini.
Selama dalam perjalanan, Arini tampak tegang, dan dia berkali-kali melirik Hening dan menilai bahwa perempuan muda itu sangat beruntung sekiranya dinyatakan hamil. Namun, pada saat yang sama dia juga diuntungkan dengan keadaan ini. Sudah satu minggu ini Devan mulai menunjukkan perubahan sikap, tidak terlalu obsesi dengan ponsel dan dia yang tidak pernah mendengar Devan menerima panggilan dari Karen. Satu malam, dia pernah mendengar Devan memarahi Karen melalui telepon, dan dia tidak tahu apa yang mereka pertengkarkan. Dan baru malam itu dia mendengar keduanya bertengkar dan Devan yang sampai membentak.
“Hasilnya positif ya, Bu,” ujar dokter saat menerima test pack dari seorang perawat.
Hening tidak bisa menahan keterkejutannya, juga Risma dan Arini.
Risma menoleh ke Hening dan dia tersenyum puas.
Setelahnya, Hening rebah di atas ranjang untuk diperiksa lebih detail, dan dokter menjelaskan. “Ini sudah hampir tiga minggu.”
Risma masih menatap Hening dan hatinya benar-benar bahagia, merasa tidak salah pilih dan Hening yang sedang masa subur saat menikah.
Bersambung