Hening merasa sedikit lega dengan kehamilannya, artinya dia terlepas dari satu beban dan tidak perlu berhubungan intim lagi dengan suami sirinya. Dia hanya menjalankan kesehariannya dengan tenang dan melakukan tugas dengan baik sampai semuanya selesai, berharap kehidupannya kembali normal, ayahnya yang sembuh total dan dia yang akan kembali kuliah, tidak masalah jika harus mengulang dari awal, tetap dengan cita-citanya menjadi koki profesional.
Di sepanjang perjalanan menuju pulang, Hening sekilas memperhatikan sikap Risma dan Arini yang bertolak belakang, Risma yang sangat puas dan Arini yang banyak diam, hanya tersenyum mengangguk saat menanggapi ocehan Risma. Hening memaklumi sikap Arini, yang pasti cemburu, meskipun pernikahan yang dia jalani hanya sementara dan akan berujung perceraian. Apalagi sekarang Devan sudah menunjukkan sikap penuh perhatian kepada Hening, membuat Hening khawatir Devan salah langkah, lalu dia terlibat dalam masalah besar. Tidak tahu kenapa Hening merasa dirinya yang sukar menolak keinginan Devan, terutama mengingat wajah memelas Devan yang memohon kepadanya. Apalagi jika Devan sudah menyinggung keadaan ayahnya, hati Hening yang dengan mudahnya menjadi luluh. Bagaimanapun, Hening berharap Devan tidak menemuinya lagi.
Setiba di rumah, Risma yang masih dengan perasaan gembiranya, menemani Hening ke kamar, lalu memastikan Hening nyaman dan mengingatkannya untuk menjaga kesehatan.
“Bu,” desah Hening saat Risma pamit ke luar dari kamar, seolah ingin menyampaikan sesuatu.
Risma berbalik dan menatap Hening dengan senyum manisnya.
“Terima kasih,” ucap Hening, yang sepertinya urung mengungkapkan sesuatu yang mengganjal pikirannya.
“Hening, bilang saja. Ada apa?” tanya Risma lembut.
“Nggak apa-apa, Bu. Saya … saya nggak enak sama bu Arini.”
Risma tertawa kecil, memaklumi kekhawatiran Hening, apalagi Hening sedang mengandung, tentunya perasaannya berubah lebih sensitif. “Nggak usah terlalu dipikirkan, namanya juga ini baru awal. Nanti lama-lama akan terbiasa. Ya?”
Hening mengangguk.
“Pokoknya kamu fokus merawat diri dan pikirkan tugas kamu. Masalah ayahmu jangan khawatir, semua sudah ditangani dengan baik. Ayahmu sudah mendapat jadwal operasi.”
“Baik, Bu.” Hening mulai menunjukkan senyum senangnya.
“Doakan saja semua berjalan lancar, ayahmu sehat, kamu dan bayi ini juga sehat,” ujar Risma membujuk, ingin Hening merasa tenang.
“Iya, Bu.” Hening mengangguk patuh.
Risma pamit ke luar setelah memastikan Hening yang tampak sudah nyaman.
Saat sudah berada di luar pintu kamar Hening, Risma menghela napas panjang. Tidak tahu kenapa dia memikirkan Hening, dan perasaannya agak kacau. Terutama mengingat kekhawatiran Hening terhadap Arini, dan dia memaklumi. Dia seolah baru menyadari bahwa ide pernikahan ini ternyata tidaklah mudah, terutama bagi Arini, sebagai pihak yang dirugikan. Tapi apa boleh buat, dia tidak suka kehadiran Karen, begitu pula dengan Arini. Risma pikir satu-satunya jalan untuk membuat Karen mundur adalah menghadirkan orang keempat dalam hubungan perkawinan Devan dan Arini, dengan sedikit memaksa dan mengancam.
Cukup lama Risma menatap pintu kamar Hening, memikirkan Hening. Entahlah, dia sepertinya mulai menyukai Hening dan dia merasa nyaman. Namun di sisi lain, dia juga merasa iba kepada Arini, juga pengorbanan Arini selama ini. Risma menggeleng, berusaha menepis perasaan-perasaan yang membuatnya ragu untuk maju, dan tetap dengan apa yang dia sudah dia rancang.
***
Hening tidak langsung melaporkan perihal kehamilannya ke ibunya, memilih menenangkan diri terlebih dahulu. Lagi pula, dia juga khawatir kabar ini akan mengganggu pikiran ibunya yang sedang fokus mengurus ayahnya. Mengingat kembali raut wajah Arini saat tahu dia sudah mengandung, Hening pun merasa kurang nyaman.
“Halo, Bu.”
Tak diduga, Hening mendapatkan panggilan dari ibunya.
“Ning. Tadi barusan bu Risma menelepon Ibu, katanya kamu hamil?”
Suara ibunya terdengar cemas di telinga Hening.
“Iya, Bu. Sudah tiga minggu, ayah bagaimana, Bu?” Hening balik bertanya. Dia berusaha menguatkan dirinya di tengah perasaan yang kurang nyaman, dia tidak ingin ibunya mencemaskan dirinya.
“Oh, syukurlah. Jadi … kamu nggak apa-apa?”
“Iya, Bu. Aku nggak apa-apa. Ayah?”
“Iya, barusan selesai urusan administrasi. Pak Devan langsung yang menghubungi dokter di sini, Ning. Doakan lancar ya?”
“Iya, Bu.”
Panggilan pun berakhir karena ibunya dipanggil seseorang terkait dengan jadwal operasi ayahnya.
Telepon dari ibunya malah membuat Hening merasa gamang. Apalagi ibunya yang lagi-lagi menyinggung Devan yang telah mengatur pengobatan dan perawatan ayahnya di sana, membuat Hening tertegun, dan hatinya tersentuh membayangkan Devan yang menurutnya begitu baik dan perhatian kepada keluarganya.
Baru saja selesai dihubungi ibunya, terdengar ketukan pintu dari luar kamar, dan terdengar suara Tia yang meminta izin masuk.
Senyum Tia lebar saat masuk ke dalam kamar dengan troli makanan.
“Wah, selamat ya, Ning. Akhirnya kamu hamil. Saya senang mendengar kabar bahagia ini,” ucap Tia dengan wajah binarnya.
“Baru tiga minggu, Bu.”
“Iya. Tadi saya dengar bu Risma bilang kamu hamil tiga minggu. Eh, dia langsung heboh di bawah.”
“Oh.” Bukannya tenang, perasaan Hening justru agak terganggu mendengar kata-kata Tia tentang Risma yang senang dengan kehamilannya. “Bu Arini bagaimana, Bu?” tanyanya, memikirkan perasaan Arini.
Tia baru saja selesai menata makanan di atas nakas. Dia tersenyum kecil mendengar pertanyaan Hening tentang Risma. “Jangan khawatir soal bu Arini. Dia pasti ikut kata-kata mertuanya. Eh, ibu mertua kamu juga, ya, Ning.”
Hening tersenyum kecut, enggan dengan status Risma sebagai mertuanya, mengingat pernikahannya yang bersyarat dan berujung perpisahan. Lagi pula dia cukup tahu diri, mana mau Risma mengakui dirinya sebagai menantunya, Risma hanya menginginkan anak yang dikandungnya.
Tia mengamati wajah Hening dan tahu apa yang sedang Hening pikirkan, dan dia menyadari ucapannya. “Saya tahu posisi kamu, Ning. Ck … sebenarnya saya kurang setuju dengan pernikahan bersyarat yang diatur bu Risma ini. Menurut saya ini sudah melanggar ketentuan pernikahan itu sendiri, apalagi harus ada perceraian dan anak yang kamu kandung ini akan menjadi miliknya.”
“Bu—“
“Maaf, Hening. Saya tahu kamu sedang hamil, dan saya yang nggak seharusnya mengatakan ini. Hm … ya, saya tahu kamu ingin melakukan yang terbaik, apalagi ini menyangkut soal nyawa. Ck, jangan pikirkan kata-kata saya, Hening.”
Hening tersenyum kecil. “Iya, Bu.”
“Maaf, Hening,” ucap Tia sekali lagi, menyesali ucapannya.
“Ibu nggak perlu minta maaf begitu. Saya setuju dengan pendapat Ibu kok, tapi … saya belum sanggup kehilangan ayah saya.”
Tia duduk di samping Hening yang duduk selonjor di atas tempat tidur. Dia mendekap bahu Hening dan mengecup kepala Hening dalam-dalam. “Kamu memang anak yang baik hati, Ning. Beruntung sekali ibumu.”
Hening tersenyum kecil, justru dia merasa beruntung memiliki seorang Ibu yang berjuang demi keluarga sejak dulu.
“Saya masih ingat kamu kecil dulu, punya senyum manis dan tatapan mata yang indah. Haha, saya kok malah berpikiran kalo pak Devan nanti yang malah jatuh cinta sama kamu,” ujar Tia dengan nada canda.
Hening menggeleng, berpikir itu hal yang mustahil, bahwa tidak mungkin seorang Devan yang kaya raya bisa jatuh cinta kepadanya yang hanya perempuan biasa. Meskipun Devan beberapa kali menunjukkan sikap perhatian penuh kepadanya, itu bukan berarti Devan mencintainya. Sekalipun Devan mendekatinya, itu karena Devan laki-laki biasa yang pandai merayu, bukan cinta yang sesungguhnya. Ah, Hening tidak pernah menjalin kasih dengan laki-laki, juga tidak pernah merasakan jatuh cinta. Tapi sekarang dia sudah berani memikirkannya.
Tia pergi dari kamar Hening setelah berbasa basi sebentar, membahas tentang keadaan ayah dan ibunya di Singapura.
Baru saja pintu kamar tertutup, ponsel Hening berbunyi, ada nama Mas Abi menghubunginya.
Hening berdecak sebal, itu nama yang diusulkan Devan untuk menamakan nama kontaknya di ponsel Hening, mengambil sebagian nama belakangnya, Abisukma.
“Halo, Ning.”
Bersambung