Bab 12. Keraguan Arini

1043 Kata
Devan masih merasa kesal dengan Karen yang menghubunginya dari Tokyo beberapa malam yang lalu, memintanya untuk mengirimkan sejumlah uang. Karen mengaku kekurangan dana untuk biaya keseharian Adele, anaknya yang dia titipkan di rumah ibunya. Adu mulutpun tidak terhindar lagi, bahkan Devan tidak ragu mengancam memutuskan hubungan gelap mereka, jika Karen tetap bersikeras memaksa. Namun, perasaan kesal Devan berubah tenang saat menerima panggilan dari mamanya, bahwa Hening yang ternyata telah mengandung anaknya beberapa minggu. Hari itu Devan mendadak semangat bekerja, memimpin rapat dan dengan mudah menerima ide-ide dari bawahan, serta bersikap ramah dan penuh senyum kepada orang-orang yang menyapanya. Tentu saja orang-orang di kantor terheran-heran dengan perubahan sikap Devan, dan mereka ikut senang, meskipun tidak tahu apa yang menyebabkan atasan mereka gembira hari ini. Setelah rapat dan target pekerjaan sudah dicapai, Devan langsung menghubungi pihak yang menangani perawatan dan pengobatan ayah Hening di Singapura, memastikan ayah hening mendapat pelayanan terbaik, bahkan secara langsung menghubungi pihak rumah sakit di sana. Devan yang masih dengan perasaan senangnya, menghubungi Hening. “Halo, Ning.” “Iya, Mas.” Suara Hening yang menanggapi sapaannya membuat Devan tenang, meskipun terdengar lemah dan jengah. Dia memaklumi Hening yang masih kurang nyaman dengan pernikahan ini. “Tadi Mama menghubungiku, kamu hamil tiga minggu.” “Iya.” “Sudah kamu hubungi ibumu di Sigapore?” Ada jeda diam di ujung sana. “Ibu saya yang menelepon, dia juga tahu dari bu Risma.” Devan memejamkan matanya sebentar, memahami kekakuan Hening tentang hubungannya dengan Risma, yang tidak lain adalah mertuanya. “Oh, syukurlah. Hm … apa kata dokter?” “Saya harus jaga makanan dan nggak boleh terlalu lelah.” “Ok. Aku senang dengan kabar ini, hm … malam ini aku ke kamarmu.” “Mas—“ “Aku becanda.” Devan dengan cepat menyadari bahwa perasaan Hening sebaiknya tidak diganggu, karena dia yang baru saja hamil beberapa minggu. “Oiya, kamu baru saja pulang dari rumah sakit. Hm … istirahatlah.” “Iya, Mas.” Devan menghela napas lega, lalu pamit menyudahi panggilan. Dia tersenyum penuh makna setelah mendengar suara lembut Hening di telinganya, terdengar sangat lembut meskipun dia tahu Hening yang merasa jengah di setiap kali menerima panggilan darinya. Suara Hening bak opium, dan Devan yang ingin mendengarnya lagi. Devan mengetuk-ngetuk jari-jari di atas meja kerjanya, sambil memikirkan cara mendekati Hening lebih bebas, dan dia tahu tidak mudah. *** Melihat kepatuhan Hening selama menjalankan hari-harinya, Arini yakin Hening mampu menjalankan tugasnya dengan baik. Dia juga yakin bahwa Hening yang tidak akan macam-macam atau berniat melenceng dari perjanjian dan kesepakatan dalam pernikahan, juga tidak akan memanfaatkan kehamilannya. Apalagi akhir-akhir ini Devan selalu pulang ke rumah tepat waktu, dan tidak lagi terlihat menghubungi Karen. Suaminya itu pulang ke rumah, beristirahat sejenak dan membersihkan diri, juga makan malam bersamanya. Awalnya Arini berpikir bahwa perubahan sikap suaminya ini mungkin saja dikarenakan Hening yang sedang mengandung, dan dia yang benar-benar ingin menjaga keadaan. Tapi Arini telah mendapat kabar dari seseorang bahwa Karen sudah tidak lagi datang ke kantor Devan lebih kurang dua minggu ini. Arini jadi agak khawatir seandainya pernikahan Devan dan Hening tidak merubah keadaan, terutama saat Karen pulang dari Tokyo lalu mereka tetap memadu kasih, dan Devan yang tidak peduli dengan kehamilan Hening. Arini tahu bahwa cinta keduanya sangat kuat, karena sudah terjalin sejak lama. Bagaimanapun, Arini tetap berusaha berpikir positif dan menjalankan perannya dengan sebaik-baiknya, terutama terhadap mertuanya yang sangat sayang kepadanya. “Jadi Karen pergi ke Tokyo?” tanya Risma setelah Arini melapor bahwa Karen sedang melakukan perjalanan bisnis ke Tokyo. Arini juga mengungkapkan kekhawatirannya tentang Devan dan Karen yang mungkin saja semakin dekat dan tidak peduli kehamilan Hening. “Iya, Ma. Aku juga dengar dari Rere. Katanya dua minggu di sana.” “Jadi pulang lusa ini.” “Mungkin, Ma.” Risma berdecak kesal mendengar informasi terbaru dari Karen. “Ya, kita tunggu saja bagaimana selanjutnya hubungan mereka berdua. Entahlah, Mama merasa Devan sudah mulai berubah dan menjauh dari Karen. Hm … bukankah kamu sebelumnya mendengar Devan berkata kasar ke Karen di telepon?” “Iya, Ma. Tapi … entahlah.” Risma menghela napas panjang. “Ya, sudah. Kita memang harus bersabar, Rin. Yang penting satu langkah sudah terlewati, menikah dengan Hening dan Hening yang sudah mengandung.” Arini mengangguk pelan. Rasanya tidak sabar anak yang dikandung Hening lahir dan Devan yang berubah, dan mungkin saja tidak akan peduli dengan Karen. Dia sangat berharap Karen mundur dan tidak lagi mengganggu keluarganya. Tapi, ada saja yang mengganggu pikirannya dan membuatnya tidak yakin harapannya akan terwujud. “Ma, aku terkadang nggak yakin kalo Devan berubah. Aku khawatir dia semakin menjadi-jadi, masih bersama Karen meskipun sudah punya anak,” keluh Arini khawatir. Risma menggenggam erat tangan Arini, memberi dukungan penuh. “Cepat atau lambat mereka berdua akan sadar, Rin. Mereka berdua saja sudah mulai berselisih paham dan berjauhan.” Arini mengangguk lagi, membenarkan pendapat Risma. Sejak menikah dengan Hening, Devan tampak jengah saat menerima telepon dari Karen, dan kata-katanya sangat kasar terhadap Karen. Padahal selama ini dia tidak pernah mendengar Devan beradu argumen dengan Karen melalui telepon, juga tidak pernah mengumpat. “Iya, Ma,” desahnya pendek. *** Hening mulai merasa bosan berada di dalam kamar, dia mengeluh ingin ke luar, sekadar menghirup udara bebas dan segar. Sebenarnya dia bisa menikmati udara segar di balkon luar kamarnya yang berada di lantai teratas, tapi ternyata sangat membosankan. Keinginan Hening ini langsung disampaikan Tia ke Risma, Hening yang akhirnya diizinkan ke luar rumah, jalan-jalan di halaman belakang, asalkan Tia yang menemani. “Ah, senangnya operasi ayahmu berjalan lancar, Ning.” “Iya, Bu Tia. Aku senang sekali dengan kabar ini.” “Tapi masih harus pemulihan berminggu-minggu ya, Ning.” “Iya, Bu. Nggak apa-apa. Yang penting ayahku sudah sembuh. Tapi ya … ibu katanya sudah bosan di sana dan mau pulang.” “Haha, sama kayak kamu yang bosan di dalam kamar terus.” “Iya, Bu.” Hening tidak menyadari bahwa Arini memperhatikan dirinya dari balik kaca besar rumah, wajahnya tampak murung dan serius. Tanpa sengaja Tia menoleh ke belakang dan sempat melihat Arini berdiri mengamati mereka beberapa saat, lalu menjauh. Tia tidak menceritakannya ke Hening, tetap melanjutkan perjalanan berkeliling di halaman belakang. Tia menoleh ke Hening beberapa detik, berpikir bahwa sebaiknya Hening tidak tinggal satu rumah dengan Arini. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN