Sejak Hening hamil, Risma dan Arini semakin sering berbincang berdua. Hal ini tentu saja membuat Tia kesulitan untuk menyampaikan pendapatnya tentang Hening yang sebaiknya tidak tinggal di rumah mereka. Tapi sepertinya sore ini adalah waktu yang tepat, setelah memastikan Risma duduk sendirian di ruang tengah, Tia tanpa ragu mendekati majikannya itu.
“Bu, boleh minta waktu untuk bicara sebentar?” tanya Tia hati-hati.
“Ada apa, Tia?” Risma balik bertanya, heran dengan wajah serius Tia.
Tia duduk di bangku kecil di samping Risma. “Saya hanya ingin menyampaikan pendapat saya tentang Hening yang sedang hamil, Bu. Menurut saya sebaiknya Hening tidak tinggal di sini. Waktu saya dan Hening jalan-jalan di halaman belakang beberapa hari lalu, saya liat bu Arini seperti kecewa … sedih … begitu, Bu,” tutur Tia hati-hati.
Risma tercenung mendengar ungkapan Tia. Sama seperti Lastri, Tia sudah lama bekerja di rumahnya, juga ibu Tia yang loyal kepada keluarga besarnya. Orang-orang yang loyal seperti Tia dan Lastri pasti akan patuh dan ingin kehidupan keluarga majikan selalu dalam keadaan aman dan nyaman.
“Maaf, Bu. Bukan saya menggurui, tapi kita sebagai sesama wanita, ya … gimana ya. Sebaik apapun bu Arini, sesempurna apapun dia, pasti merasa sedih, suaminya memiliki cinta yang lain, lalu menikah, meskipun bukan menikah dengan wanita yang dia benci. Bagi saya bu Arini adalah pihak yang paling tersakiti. Untuk mengurangi rasa sakit itu, ada baiknya Hening pindah, Bu.”
Risma menghela napas panjang setelah mendengar penjelasan Tia, dan dia setuju. “Kamu benar, Tia. Hm … aku akan memikirkannya.”
“Kalo boleh saya usul, Bu. Bagaimana kalo Hening tinggal di rumah bu Widyawati, sepupu Ibu yang rumahnya di Bekasi. Beliau, ‘kan tinggal sendiri di sana dan rumahnya dekat dengan rumah Lastri,” usul Tia tanpa ragu.
Risma terdiam beberapa saat, lalu mengangguk setuju. Dia cukup dekat dengan sepupunya itu. Widyawati sudah lama ditinggal suami, lalu kedua anaknya masing-masing tinggal di Magelang dan Solo. Rumahnya akan menjadi pilihan yang tepat, besar dan memiliki halaman luas di belakang, juga jauh dari keramaian. Yakin Hening pasti akan betah di sana.
***
Devan terkejut dengan kedatangan Karen ke kantornya secara tiba-tiba pagi ini. Berbeda sikap saat menghubunginya lewat telepon, Karen menunjukkan sikap lemah lembut di depan Devan. Dia langsung mengucapkan kata maaf karena memaksa Devan mengirimkan uang untuk keperluan anaknya saat masih berada di Tokyo.
“Sebaiknya kamu tidak datang ke kantorku lagi, Karen,” ujar Devan tiba-tiba.
“Devan?” Gantian Karen yang terkejut sekarang. Devan yang tiba-tiba tidak ingin ditemuinya lagi.
“Aku … nggak bisa denganmu lagi,” ujar Devan tegas.
“Devan. Kamu kejam. Aku baru saja pulang dan capek. Lalu kamu bilang begini kepadaku?”
“Seharusnya kamu sudah siap dengan keputusanku. Aku sudah bilang berkali-kali kepadamu bahwa aku nggak mau berhubungan denganmu lagi. Aku sungguh-sungguh mengatakannya waktu kita bertengkar lewat telepon malam itu.”
Karen menatap wajah Devan tidak percaya. Hubungan cintanya dengan Devan memang sedari dulu putus nyambung, terutama saat bersekolah, bertengkar lalu baikan, entah berapa kali berulang. “Baiklah jika maumu begitu,” ujarnya kesal, tapi dia yakin Devan akan kembali kepadanya suatu saat. Lalu Karen pergi begitu saja dari ruang kerja Devan.
Devan menghela napas lega, telah berhasil membuat Karen pergi dari kantornya, bila perlu dari hidupnya. Sejak Hening hamil, gairah Devan bertemu Karen menurun, dan pikirannya berubah haluan ke Hening. Meskipun malam pertama pernikahannya dengan Hening berjalan biasa dan tidak begitu semangat, tapi entah kenapa Devan tidak bisa melupakannya. Setiap kali mengingatnya, membuat perasaan Devan tenang. Apalagi suara Hening yang menyapanya yang selalu terngiang-ngiang di telinga, begitu merdu dan candu.
Devan gelisah saat mengingat Hening, mengingat suara Hening yang memanggilnya Mas Devan. Dia memperbaiki posisi duduknya karena miliknya berdenyut dan berontak, hingga tangannya menyentuh s**********n. Tanpa ragu dia melepas ikat pinggang, dan tangan kirinya menyelip ke balik celana dan mulai mengurut miliknya yang perlahan menegang.
“Hening,” desah Devan, lalu berdesis nikmat membayangkan peraduan indah dan nikmat dengan istri keduanya itu.
“Oooh.” Devan dengan cepat meraih berlembar-lembar tisu dan menutup miliknya yang berkedut hebat, lalu menggeram kecewa, pernikahannya dengan Hening sungguh menyiksa batinnya, yang ingin sekali menyentuh Hening lebih dalam. Sebenarnya dia bisa saja mengingkari perjanjian dalam pernikahan itu, tapi dia tidak kuasa memaksa Hening.
***
Devan tidak sengaja mendengar pembicaraan Arini dan mamanya di ruang tengah, yang menyinggung perpindahan Hening dari rumahnya besok pagi. Tentu saja dia merasa kecewa karena tidak diajak bicara.
Dengan langkah santai Devan mendekati mereka berdua yang berbincang cukup serius, Risma masih membahas tentang kebutuhan Hening dan Arini yang mendengar dengan baik.
“Hening mau pindah ke mana, Ma?” tanya Devan yang berdiri di belakang mereka berdua.
Risma dan Arini terkejut dan saling pandang. Risma dengan cepat memberi isyarat ke Arini untuk tenang.
Devan duduk di depan istri dan mamanya, menunggu jawaban mamanya.
“Devan, ck … sebenarnya ini bukan urusan kamu. Tapi ya … kamu memang harus tahu. Hening akan kita pindahkan ke rumah tante Widyamu di Bekasi. Mama kasihan sama dia yang pasti butuh hiburan, lagi pula dia juga bisa berkumpul dengan keluarganya di sana. Nggak lama lagi Lastri dan Budi pulang.” Risma terlihat agak gelisah menjelaskan alasan kepindahan Hening ke Bekasi.
Devan melirik sebentar ke Arini yang tertunduk. “Ok, baiklah kalo begitu,” ucapnya dan beranjak pergi. Dia cukup puas mendengar jawaban mamanya, setidaknya dia tahu di mana Hening akan tinggal.
Risma memegang tangan Arini, “Mama akan melakukan yang terbaik untuk kamu,” desahnya.
Arini mengangguk lemah.
***
Hening tentu saja menyambut baik rencana kepindahannya. Dia akan tinggal di rumah saudara sepupu Risma yang berada di Bekasi dan tidak begitu jauh dari rumahnya. Senang membayangkan kedua adiknya yang bisa sesekali mengunjunginya, dan Risma pun membolehkan mereka saling bertemu.
Malam ini Hening sedang mengepak seluruh pakaiannya di dalam koper. Dia tampak bersemangat dan wajah yang penuh senyum, membayangkan masa-masa kehamilannya yang pasti sangat menyenangkan. Apalagi dia baru saja mendapat kabar dari ibunya bahwa terapi ayahnya berjalan lancar, dan bulan depan bisa kembali pulang ke rumah. Hening senang membayangkan bisa berkumpul bersama keluarga.
Hening senang karena hari-harinya yang sangat tenang, tanpa gangguan dari suaminya yang sudah sangat jarang menghubunginya. Namun, hampir setiap pagi dia melihat Devan yang selalu tidak lupa melambaikan tangan ke arahnya yang sedang menikmati udara segar di balkon luar kamar.
Baru saja selesai mengepak, Hening mendengar pintu kamarnya diketuk dari luar. Tanpa curiga sedikitpun, dia berjalan menuju pintu dan membukanya.
“Mas Devan?” kaget Hening.
“Aku nggak akan lama,” balas Devan cepat, menyadari kekhawatiran Hening.
Hening berdecak kecil, dan membiarkan Devan masuk ke dalam kamarnya.
Bersambung