Bab 14. Nyaman Hening

1013 Kata
Sebenarnya Devan cukup tersinggung saat mamanya mengatakan bahwa kepindahan Hening ke Bekasi adalah bukan urusannya. Dia menilai sikap mamanya sangat berlebihan. Bagaimanapun, Hening adalah istrinya, terlepas pernikahannya diam-diam dan dia yang sudah menyetujui segala kesepakatan. Namun, Devan tidak mau beradu argumen dengan mamanya, memilih membiarkan dan tidak mau melawan. Entah kenapa saat melirik Arini, ada kekesalan di dalam hati Devan. Dia menilai Arini dan mamanya memiliki kesamaan dalam bersikap, merasa harga dirinya diinjak-injak sebagai seorang laki-laki. Ini adalah salah satu alasan kenapa dia yang pada akhirnya berselingkuh dengan Karen. Devan kesal dengan Arini yang selalu mengadukan kelemahannya kepada mamanya, bahkan ke keluarganya, tanpa mau membicarakan kepadanya lebih dahulu. Bagaimanapun, Devan juga menyadari kesalahannya, yang telah berkhianat, dan kini Arini yang menjadi korban kekesalannya. “Apa mama yang mengusir Hening dari rumah?” tanya Devan ke Arini saat berada di dalam kamar menjelang tidur. “Aku nggak tahu persis. Mama tiba-tiba mengajakku bicara dan mengusulkan pindahnya Hening ke rumah tante Widya,” jawab Arini, memperhatikan Devan dengan seksama. Devan terdiam cukup lama. “Jangan sampai Mas berpikir mama yang mengusir Hening. Hening diperlakukan sangat baik di rumah ini. Hening mengaku bosan dan meminta bu Tia menemani jalan-jalan ke luar rumah. Mungkin mama khawatir Hening merasa kurang nyaman di sini. Lagi pula dia pindah ke rumah tante Widya dan dekat dengan keluarganya juga.” “Aku dengar dia pindah besok pagi?” “Ya.” Devan menatap wajah Arini dengan perasaan kesalnya. “Seharusnya kamu beritahu aku saat tahu tentang rencana kepindahan Hening. Jangan diam saja,” ujar Devan. Arini terdiam, tidak menyangka apa yang diucapkan Devan. “Aku … aku juga baru tahu kemarin, Mas.” “Kamu masih punya waktu untuk memberitahuku.” Arini menghela napas pendek, menyesali dirinya yang kurang peka. “Maaf, Mas.” “Nggak apa-apa. Aku hanya tersinggung. Sudahlah. Nggak usah terlalu dipikirkan.” Devan lalu ke luar kamar sambil memegang ponsel, meninggalkan Arini yang terdiam. Dia memutuskan untuk menemui Hening malam ini karena pagi-pagi besok Hening akan pergi dari rumahnya, dan tidak akan meninggalkan pesan untuknya. Devan sudah berdiri di depan pintu kamar Hening, mengetuk pelan. “Mas Devan?” Devan tersenyum dalam hati melihat wajah kaget Hening, matanya langsung tertuju ke perut Hening yang sudah terlihat membuncit. “Aku nggak akan lama.” Hening membiarkan Devan masuk ke dalam kamar dan membiarkan pintu terbuka. “Tutup dan kunci pintu kamarnya, Ning,” suruh Devan, tahu Hening dengan sengaja membiarkan pintu kamar terbuka. Hening menurut, menutup pintu kamar dan menguncinya. Devan mengamati satu koper berukuran sedang dan tas kecil yang sudah rapi di atas karpet beberapa saat, lalu duduk di tepi tempat tidur. “Duduklah di sini,” suruh Devan lagi, sambil menepuk-nepuk kasur, ingin Hening duduk di sampingnya. Hening duduk di samping Devan, sedikit berjarak. Devan menggeserkan pantatnya ke samping Hening dan mendekap pinggang Hening erat. “Sudah berapa bulan?” tanyanya lembut. “Mau tiga, Mas.” Tangan Devan yang satunya mengusap-usap perut Hening. Perasaan gusar dan kesalnya hilang begitu saja saat berdekatan dengan Hening. “Jadi besok kamu pindah?” Hening mengangguk. “Ini maumu?” “Iya, Mas.” Bibir Devan mengerut, sedih membayangkan kamar ini kosong. “Kamu yang bilang ke mama?” “Maksud, Mas Devan?” Hening balik bertanya, tidak mengerti pertanyaan Devan. Devan tersenyum hangat memandang wajah Hening yang penuh tanya, gairahnya terpancing saat melihat bibir mungil Hening yang sedikit terbuka. “Apa kamu yang mengusulkan perpindahan ini?” Hening menggeleng. “Nggak, Mas. Bu Risma datang dan memberi pendapat, dan aku setuju. Aku … aku bosan di sini.” “Bosan?” Devan meraih tangan Hening dan menggenggamnya. “Tapi kamu jauh dariku.” “Mas—“ Hening mulai jengah, hendak menghindar, tapi Devan mendekapnya lebih erat. “Iya, aku bosan. Aku … di kamar terus di sini, aku senang kalo pindah, Mas. Aku bisa dekat dengan ayah dan ibuku, bisa bertemu adik-adikku.” Devan memeluk Hening dari samping, dan Hening jadi tidak berdaya. Tidak bisa Hening pungkiri bahwa dia merasa nyaman berada di dekat suaminya. “Maafkan aku nggak mengunjungi kamu beberapa minggu ini,” ucap Devan. “Itu lebih baik. Aku nggak mau ada drama.” “Tapi aku merindukanmu.” Hening diam, dia sebenarnya juga merindukan Devan, pelukan Devan, tatapan Devan. Tapi dia tidak ingin terlalu terbuai dalam perasaan sehingga membuatnya resah dan gelisah. Dia menyadari dirinya yang sedang hamil dan harus memperhatikan kenyamanan jiwa dan raga. Dia ingin menjalankan tugasnya dengan sebaik-baiknya. Namun, Devan yang justru terbuai dalam perasaan kerinduan, dengan perlahan merebahkan tubuh Hening di atas tempat tidur, lalu menindih Hening seraya menatap wajah Hening dengan penuh kelembutan. “Kamu nggak takut lagi?” tanyanya pelan. Hening menggeleng, entah kenapa dia tidak merasa takut sedikitpun malam ini. Sebaliknya, dia merasa sangat nyaman, merasakan sentuhan dan tatapan suaminya. Devan memegang kedua tangan Hening, lalu mendekatkan wajahnya ke wajah Hening, menekan bibir Hening dengan bibirnya. Saat bibir Hening terbuka, tanpa ragu bibir keduanya berpagutan mesra. Hening membalas genggaman erat kedua tangan Devan, bersemangat melumat bibir Devan dan melayani lidahnya yang lincah di dalam rongga mulutnya. Sesekali tersedak tapi dia menikmatinya, hingga dadanya terasa sangat sesak, menginginkan sebuah sentuhan lebih dalam. Hening seolah tersadar, “Sudah, Mas. Cukup,” elaknya sambil mendorong d**a Devan agar menjauh darinya. Devan mundur, tidak ingin Hening merasa tidak nyaman. Dia duduk di samping Hening yang rebah. “Aku akan mengunjungimu di sana,” ujar Devan sambil menepuk lembut paha Hening. “Tante Widya orang yang sangat baik, dia dekat dengan mama.” Hening diam tidak menanggapi, sibuk mengatur perasaan dan pikirannya yang kacau. Devan tersenyum kecil memperhatikan istri keduanya itu. “Percayalah, aku selalu memikirkanmu,” ujarnya dengan tatapan lembutnya. Hening diam tidak menanggapi, sibuk mendekap dan memperbaiki bajunya. Devan memegang perut Hening dan mengusapnya. “Jaga anak kita, Ning.” Hening mengangguk lemah. Melihat sorot mata Hening yang mengisyaratkan kekhawatiran, Devan bangkit dari duduknya, berucap, “Baiklah, aku pergi.” Hening tertegun melihat punggung besar Devan yang menjauh darinya. “Mas!” panggil Hening tiba-tiba saat Devan sudah berdiri di depan pintu kamar. Hening berjalan cepat menuju Devan. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN