Bab 12

1349 Kata
Tidak pernah terbayangkan olehku sebelumnya, jika aku akan menjalani kehidupan rumah tangga poligami. Aku tak pernah menyangka jalan hidupku akan serumit ini. Selain harus mampu menekan ego untuk menyelamatkan banyak hati, terutama Mama Saras-Mama mertuaku. Aku pun harus menekan rasa pedih yang tak bisa kucegah mulai menjalari segumpal daging bernama hati. Aku memang belum mencintai Dipta. Ah, bukan, aku masih belajar mencintai pria itu. Saat pria itu akhirnya mengatakan akan menikahi Melani, aku yakin aku tak akan merasa cemburu pada Melani nantinya. Tetapi yang kurasakan sekarang sungguh di luar kendaliku. Aku baru saja selesai melakukan pertemuan dengan klien di sebuah kantor di Selatan kota, lantas aku memutuskan untuk mampir ke sebuah restoran untuk makan siang yang sudah sangat terlambat. Tak kusangka, di tempat ini justru kusaksikan Dipta dan Melani juga tengah menikmati makanan di restoran ini. Mereka saling memandang dan tertawa. Sesekali, Melani juga menyuapi Dipta. Mereka tampak romantis sekali. Makanan yang sudah kupesan akhirnya kuputuskan untuk kubungkus saja. Aku tidak ingin melihat kemesraan antara Dipta dan Melani lebih lama lagi. Bersyukur sekali, hingga aku keluar dari restoran tersebut, baik Dipta maupun Melani tidak ada yang melihat kehadiranku di sana. Malam harinya, aku memutuskan mengurung diri di kamar. Semua aktivitas kukerjakan di dalam kamar, termasuk makan dan minum. Aku tidak ingin bertemu dengan Dipta, seandainya pria itu pulang. Aku masih kesal dengan kejadian seminggu lalu saat kuutarakan perihal mobil. Ditambah kejadian tadi yang membuatku merasakan kecemburuan yang tidak semestinya. Beruntungnya, hingga pagi harinya aku berangkat ke butik, tak kutemukan sosok Dipta di dalam unit apartemen ini. Sehingga aku tak perlu repot-repot untuk berbasa-basi atau apa pun itu. Siang harinya, saat aku tengah sibuk-sibuknya memasang Swarovski pada gaun pengantin, dengan dibantu tiga orang stafku, sekuriti butik mengabari jika ada kiriman mobil dari sebuah dealer yang ditujukan padaku. Aku segera menghentikan segala aktivitasku dan tergesa ke halaman butik, untuk memastikannya. Dan benar saja, sebuah Civic hitam sedang diturunkan dari truk towing di halaman butik. Mobil seharga lebih dari setengah miliar tersebut dihias dengan pita yang begitu cantik di bagian atap mobil. Seorang pria penanggung jawab pengiriman mobil menghampiriku dan memintaku untuk menandatangani beberapa dokumen. Setelah mendengar penjelasan tentang siapa pengirim mobil tersebut dan hal lainnya, orang-orang dari dealer mobil tersebut akhirnya meninggalkan butik. Dan aku pun kembali masuk ke dalam butik menuju ruangan kerjaku. Kuraih ponsel untuk menghubungi Dipta untuk mengucapkan terima kasih padanya. Meski sejujurnya aku masih merasa kesal dengan pria itu, akan tetapi dengan keseriusannya membelikanku kendaraan yang sesuai keinginanku, rasa kesalku sedikit berkurang. Sayangnya, dua panggilanku tidak dijawab oleh pria itu. Mungkin Dipta memang sedang benar-benar sibuk. Aku pun memutuskan untuk melanjutkan pekerjaanku lagi. Akan kusampaikan raa terima kasihku ketika di apartemen nanti. ... Kesibukan yang luar biasa pada siang hari ini membuatku lupa waktu. Hingga tak terasa hari sudah malam dan aku akhirnya memutuskan untuk pulang. Sepanjang perjalanan pulang, hatiku berbunga-bunga. Senyumku merekah sempurna mengendarai mobil pemberian Dipta ini. Aku benar-benar terkesan dengan kecanggihan dan kecepatan mobil mewah ini. Begitu tiba di basement dapat kulihat kendaraan milik Dipta sudah terparkir di sana, yang itu berarti pria itu sudah pulang. Namun ada satu hal yang menarik dari pemandangan di samping kendaraan mobil milik Dipta itu. Aku melihat ada Civic hitam yang sepertinya juga baru seperti milikku, terparkir tepat di samping kendaraan milik Dipta. Rasa penasaran yang menyelimutiku membuatku melangkahkan kaki mendekati mobil tersebut. Dan betapa terkejutnya aku, ketika kusaksikan plat nomor Civic tersebut bertuliskan nama M3L4N1. Seketika perasaan bahagia dan antusiasku mendapat hadiah mobil baru lenyap. Kini justru perasaan kecewa yang menjerat dadaku, hingga rasanya aku sulit sekali untuk bernapas dengan normal. Rupanya, Dipta tidak hanya membelikan mobil untukku, tetapi Melani juga dibelikan. Kalau begini, mobil milikku bukan lagi sebuah kompensasi atas kesediaanku bertahan di rumah tangga ini. Itu sebatas hadiah dari suami yang membelikan kedua istrinya mobil baru. Kakiku terasa sangat berat ketika kulangkahkan menuju unit yang kutinggali bersama Dipta. Rasa kecewaku pada pria itu entah mengapa begitu dalam. Tidak seharusnya memang aku merasakan sekecewa ini pada Dipta. Namun menurutku ini benar-benar tidak adil. Aku yang meminta mobil sebagai sebuah kompensasi, tapi ternyata Dipta juga membelikan Melani mobil yang sama seperti yang kupinta. Bersyukur, begitu tiba di apartemen tidak kutemukan sosok Dipta. Dadaku yang saat ini terbakar oleh api amarah harus kupadamkan lebih dulu, atau aku akan sangat murka pada pria itu. Aku memutuskan untuk mandi lebih dulu. Dibawah guyuran shower aku berpikir banyak hal. Aku berencana mengembalikan mobil yang dihadiahkan untukku. Aku tidak sudi menerimanya. Dan secepatnya aku akan membelinya sendiri dengan uang tabunganku. Aku masih sangat mampu membeli Civic dengan uang pribadiku sendiri. Hanya saja, selama ini aku terlalu sayang untuk mengeluarkan uang hanya untuk membeli sebuah kendaraan. Karena kupikir mobil lamaku masih berfungsi dengan sangat baik. Keluar dari kamar mandi, kutatap pantulan wajahku di cermin. Parasku mungkin tidak semenarik paras Melani yang memiliki darah campuran Indo-Belanda. Namun menurut orang-orang, aku memiliki paras yang cantik khas Indonesia. Dan aku tidak akan merasa insecure jika harus bersaing dengan Melani. "Jangan mempermainkanku, Dipta!" gumamku. Tercetus sebuah ide di kepalaku. Mulai saat ini, saat di hadapan Dipta kuputuskan tidak akan kukenakan hijabku lagi. Aku juga akan memakai pakaian tidurku di hadapannya. Aku akan memanas-manasi pria itu dengan penampilanku, tapi tentu saja aku tidak sudi disentuh olehnya. Dia pernah mengatakan tidak nyaman melihatku tanpa hijab bukan? Dan aku akan membuatnya selalu tidak nyaman ketika berada di dekatku, mulai hari ini. ... Misi dimulai. Pukul sebelas malam kudengar Dipta pulang. Kuenyahkan rasa kantukku untuk menemui pria itu. Tentu saja, kali ini aku tidak mengenakan pakaian serba panjang dan hijab. Aku sengaja mengenakan pakaian tidurku berupa daster berbahan sutra berlengan pendek dan memiliki panjang sebatas lutut. Pertama-tama, aku berpura-pura menuju dapur ketika Dipta berada di kamarnya. Aku akan mengisi teko air yang biasanya menghuni kamarku. Lalu kuputuskan untuk memakan buah sembari menunggu Dipta keluar dari kamarnya. Aku sudah membawa kunci Civic pemberiaannya, dan malam ini juga akan kukembalikan pada pria itu. Sepotong apel hijau sudah hampir habis kumakan, ketika kudengar langkah kaki memasuki area dapur. "Sekar?" suara Dipta nampak terkejut. Selang beberapa detik, pria itu kini sudah berdiri di sampingku. "Kamu, tumben sekali pakai pakaian seperti ini?" tanyanya, yang memindai penampilanku dari ujung rambut hingga ujung kaki. "Gerah," sahutku asal. "Memangnya AC di kamarmu rusak?" "Tidak, bukan AC, tapi ada hal lain yang rusak." "Apa itu?" Sengaja kugerakkan rambut panjangku ke salah satu bahu, untuk memarmerkan leher jenjangku. Dan seketika bisa kulihat ekspresi Dipta yang terkejut dan menatap penuh minat pada sepanjang leherku. "Sebelumnya aku akan mengucapkan terima kasih padamu, Pradipta Bhumika. Tetapi, aku berencana mengembalikan mobil itu," kataku menatap tanpa ekspresi padanya. "Apa maksudmu?" Kali ini Dipta bertanya dengan nada dingin padaku. "Aku tidak sudi menerima hadiah yang sama dengan Melani," kataku tajam. "Dia juga istriku, jadi wajar saja aku membelikan mobil yang sama denganmu, Sekar. Ayolah, jangan kekanakkan. Ini hanya masalah sepele. Jangan diperbesar seperti ini." "Sepele katamu?" tanyaku marah. "Aku meminta mobil itu sebagai kompensasi karena aku sudah bersedia di-MADU. Sedangkan Melani, atas dasar apa kamu membelikannya mobil untuknya? Hanya karena dia istrimu? Hanya itu?" Tak mampu lagi aku membendung amarah yang sejak tadi sudah kucoba meredamnya. "Dia sedang hamil, Sekar. Dia juga ingin mobil yang sama denganmu, lalu apa masalahnya? Lagi pula aku tidak membeda-bedakan kalian." Aku tertawa sumbang dengan kata-kata terakhirnya. "Tidak membedakan katamu? Lalu apa alasanmu kemarin sore yang mengajak Melani makan bersama, tapi kamu sama sekali tidak pernah mengajakku?" "Ya ampun, Sekar. Jadi hanya soal makan di restoran kamu menjadi semarah ini?" Dipta tertawa kecil yang justru membuatku semakin murka. "Ini bukan soal makan di restoran, Dipta! Ini soal mobil!" Pria ini benar-benar membuatku kesal. "Aku keberatan kamu juga memberikan mobil untuk Melani. Karena seharusnya kamu hanya memberikan untukku saja." "Tidak, aku tetap harus membelikan untuk Melani juga," sahut Dipta dengan keras kepala. "Baik kalau begitu." Aku mengangguk dengan kedongkolan yang semakin menjadi. Lantas kuserahkan kunci Civic padanya. "Aku tidak sudi menerima mobil ini. Dan aku akan menunggu kondisi Mama Saras sehat, maka kupastikan pernikahan kita selesai." Aku berdiri dari duduk dan bersiap untuk kembali ke kamar. "Sekar, jangan begini tolong." "Lepas!" Kuhentakkan tangannya yang mencengkeram lenganku. "Kita sudah tidak ada urusan lagi." Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN