Bab 11

1035 Kata
Dan drama pernikahan antara aku, Dipta dan Melani akhirnya dimulai. Melani sudah pulang ke Jakarta dan benar saja, perempuan itu menempati unit apartemen di samping apartemen yang ditempatiku dan Dipta. Sudah dua malam pula Dipta menginap di sana begitu mereka tiba di Jakarta. Sehingga aku tak memiliki kesempatan berbicara pada Dipta perihal mobil. Pukul delapan pagi, aku masih bermalas-malasan, berbaring di atas tempat tidur. Hari pertama kedatangan tamu bulanan membuatku merasakan kram perut dan rasa malasku datang seketika. Jika tidak ada janji dengan klien siang nanti, aku akan lebih memilih untuk tetap di kamar seharian. "Sekar, are you ok? Tumben sekali kamu jam segini belum berangkat ke butik?" Dipta bertanya dari luar pintu kamarku. Dia pulang juga akhirnya. "Aku nggak apa-apa," jawabku sedikit teriak. "Oke kalau begitu," sahut Dipta, lantas tak terdengar lagi suaranya. Tiga puluh menit berlalu, akhirnya aku pun keluar dari kamar, karena merasakan haus, sedangkan stok minum di kamarku kebetulan sudah kosong. Tanpa mengenakan hijab, karena kupikir Dipta sudah pergi, aku menuju dapur. Namun betapa terkejutnya aku yang mendapati Dipta dengan pakaian rumahnya, terlihat sedang memotong-motong sesuatu di meja dapur. Sudah, tidak apa-apa, Sekar. Dipta adalah suamimu. "Hai." Dipta membalikkan tubuhnya dan menyapaku. "Kamu sedang apa?" tanyaku padanya. "Melani memintaku memasak untuknya. Jadi ya, seperti yang kamu lihat sekarang." "Oh." Hanya satu kata itu yang mampu kuucapkan, karena entah mengapa kurasakan sebuah sengatan kecil di hatiku. Tidak, Sekar! Kamu tidak boleh cemburu! "Apa yang kamu perlukan, Sekar?" "Aku mau ambil minum," jawabku, lantas bergerak maju menuju tempat penyimpanan gelas dan dispenser. Lalu kuisi gelas di tanganku dengan air pada dispenser tersebut. Aku memilih duduk di mini bar untuk memantau Dipta, sekaligus untuk membicarakan perihal imbalan mobil yang akan kuajukan, begitu Dipta selesai dengan kegiatan memasaknya. Menit berlalu, kulihat kini Dipta tengah memasukkan irisan bawang bombay ke dalam teflon. Harumnya semerbak memenuhi ruangan ini. Aku masih diam memantau, hingga Dipta memasukkan beef slice dan bumbu-bumbu lainnya. "Sekar, coba cicipi ini." Dipta berjalan ke arahku, membawa sebuah sendok yang berisi kuah dari masakannya. "Gimana rasanya?" tanyanya, setelah aku mencicipinya. "Beef teriyaki?" tanyaku, memastikan yang diangguki oleh Dipta. "Sudah enak kok. Ternyata Bapak CEO bisa masak juga ya," pujiku. "Tidak sejago kamu tentunya." Dipta mengibaskan tangannya, senyumnya tampak malu-malu saat kupuji. Hih, dasar Pradipta! "Ya sudah, selesaikan dulu masakanmu, Dip. Setelah itu aku mau bicara soal kita," pintaku padanya. "Soal kita? Memangnya kita kenapa?" "Nanti. Sudah sana selesaikan dulu masakanmu itu, lalu antarkan ke tempat Melani. Tapi jangan lama-lama di sana, aku benar-benar ingin berbicara serius denganmu." "Alright." Dipta berlalu pergi dari hadapanku setelah mengucapkan terima kasih. Tak berapa lama, masakannya telah matang lantas Dipta memindahkannya ke sebuah kotak makan. Dipta kemudian berlalu meninggalkan unit kami menuju unit milik Melani. .... Rupanya aku ketiduran dengan kepala yang kurebahkan pada permukaan kitchen island. Aku pun terbangun begitu kurasakan kepalaku diusap oleh Dipta. "Benar kamu tidak apa-apa?" Dipta kembali menanyakan kondisiku. Dia nampak khawatir, tapi entahlah, dia benar-benar khawatir padaku atau hanya pura-pura. "Aku tidak apa-apa, Dipta. Aku cuma sedang kedatangan tamu bulanan." jawabku sembari meringis menahan nyeri di perut bagian bawah. "Apa ada obat supaya perutmu nggak sakit lagi?" Kali ini Dipta sedikit membungkukan badannya menyejajari wajahku. "Ada, tapi aku tidak perlu meminumnya. Nanti juga sembuh kok, tidak apa-apa. Sudah biasa begini." "Jadi, apa yang ingin kamu sampaikan padaku?" tanya Dipta kemudian. Dipta berdiam sejenak kemudian kembali bicara. "Lebih baik kenakan dulu hijabmu. Aku tidak mau terganggu dengan kepalamu yang terbuka." Refleks kusentuh rambutku lalu menatap Dipta. "Memangnya kepalaku mengganggu kenapa?" "Sudah, jangan banyak tanya. Aku harus segera berangkat ke kantor sebentar lagi." Dipta nampak sewot. "Sekarang lebih baik kamu ke kamar dan pakai hijabmu. Aku tunggu di meja makan segera!" "Iya." Patuh, kemudian kulangkahkan kaki menuju kamar. Aku mencuci wajah lebih dulu, lantas kusapukan pelembab bibir untuk sedikit menyamarkan bibir pucatku. Aku kembali ke ruang makan beberapa menit kemudian. Dipta sudah menungguku di sana. Aku pun duduk di salah satu kursi tepat di hadapan pria itu. Setelah terdiam beberapa saat dan menghela napas, aku pun mulai berbicara. "Aku ingin meminta sesuatu sebagai imbalan karena aku sudah bersedia bertahan di pernikahan ini." "Sebutkan!" "A car." "Sebutkan!" "Civic or mini cooper." "Kenapa tiba-tiba? Bukankah waktu itu kamu hanya meminta syarat aku dan Melani tidak bermesraan di hadapanmu? Lalu kenapa tiba-tiba kamu meminta sebuah mobil mewah?" Dipta menatapku tajam. "Kamu keberatan?" Aku bertanya santai. Sama sekali tidak terpengaruh dengan tatapannya yang mengintimidasiku. "Ini bukan soal keberatan atau tidak. Tapi kenapa baru sekarang?" "Itu karena aku baru kepikiran sekarang." Dipta menganggukan kepala. "Bukan karena dipengaruhi Bibi Ivana atau dua sahabatmu itu?" tuduh Dipta. Aku menahan senyum, karena salah satu tuduhannya benar. "Tidak, memang aku sendiri yang menginginkannya. Kebetulan mobilku sudah waktunya ganti. Kamu tahu sendiri kondisi mobilku seperti apa sekarang, bukan?" Dipta menghela napas sebelum menjawab. "Baik lah kalau begitu." Meski ekspresi wajahnya sedikit terpaksa, aku tidak peduli. "Kapan kamu ingin membelinya?" "Secepatnya. Besok lebih baik," kataku mendesaknya. "Oke, besok siang kita ke showroom bersama. Tapi dengan satu syarat." Dipta mengerling nakal padaku. "Apa?" "Suatu hari nanti, jika aku meminta hakku sebagai suami, kamu harus bersedia melayaniku," kata Dipta nampak tenang sekali. "Apa-apaan? Aku tidak mau. Kenapa sekarang kamu yang membuat aturan. Di sini, aku yang menjadi korban keegoisanmu. Kalau bukan karena Mama sakit, aku juga tidak mau dimadu olehmu," ucapku tersulut emosi. Enak saja si Dipta ini! "Dengar ya, aku meminta bukan berarti aku tidak sanggup membelinya sendiri. Mobil itu adalah sebuah kompensasi karena aku sudah bersedia ...." Dipta mengangkat tangan, menginterupsiku. "Aku bercanda, Sekar." Lalu pria itu tertawa. "Aku memiliki Melani yang bisa memenuhi kebutuhan biologisku. Jadi, kamu tidak perlu mengkhawatirkan hal itu." Dipta kembali mengeluarkan tawanya yang menyebalkan. "Aku tidak menyangka kamu bisa bicara sejahat ini, Pradipta." Kugelengkan kepala karena aku merasa terhina dengan kata-katanya barusan. "Jahat!" Menahan tangis, aku memutuskan untuk menyudahi pembicaraan ini. Aku berdiri, menatap tajam Dipta sesaat, sebelum bersiap melangkah masuk kembali ke dalam kamar. "Kamu tidak seharusnya tersinggung, karena faktanya memang begini." Dipta kembali berbicara. "Aku tidak peduli, Dipta. Aku tidak peduli. Kamu mau seterusnya tinggal di unit Melani pun aku sama sekali tidak peduli." "Dengan senang hati kalau begitu," jawab Dipta yang kembali membuatku merasakan hujaman menyakitkan di dasar hatiku. Dipta benar-benar tidak memiliki hati. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN