Bibi Ivana menahanku, setelah Dipta lebih dulu meninggalkan rumah sakit. Wanita cantik itu meminta waktuku untuk membicarakan perihal pernikahan Dipta dan Melani. Setelah salah satu kerabat Mama Saras datang, Bibi Ivana mengajakku ke kafetaria rumah sakit, untuk berbincang di sana.
Begitu minuman dan camilan yang kami pesan datang, Bibi Ivana segera memberikan pertanyaan padaku.
“Kenapa kamu sebaik ini, Sekar?” tanya Bibi Ivana menatap lekat padaku. “Kamu mengorbankan perasaanmu, demi Mbak Saras. Kalau saya jadi kamu, tentu saya akan lebih memilih untuk bercerai dari Dipta sekarang juga.”
“Jika saya mengedepankan ego saya, saya juga lebih memilih untuk berpisah dari Dipta, Bibi. Tetapi, apa gunanya kebebasan saya, jika itu membuat Mama Saras kembali jatuh sakit. Atau bahkan kehilangan nyawanya,” ujarku dengan tenang.
“Kalian bisa berpura-pura menjadi suami istri,” saran Bibi Ivana.
Aku menggeleng, “Maaf, Bibi, tapi itu bukan ide yang bagus. Dengan berpura-pura menjadi suami istri, pasti ada suatu waktu saya dan Dipta akan bersentuhan fisik. Saya tidak mau bersentuhan fisik dengan yang bukan mahram, Bibi.”
Bukan tanpa alasan aku menolak saran dari Bibi Ivana tersebut. Karena selama ini aku memang belum pernah berpacaran, apalagi bersentuhan fisik dengan lawan jenis secara intim. Selama ini, aku selalu berusaha menjaga diri sebagai wanita muslimah. Dan terkait pernikahanku dengan Dipta, sekali lagi, secara jujur, aku pun menginginkan pernikahan kami tidak hanya untuk satu tahun lamanya.
“Kamu benar-benar gadis baik, Sekar. Tidak seharusnya kamu menikah dengan Dipta yang nakal itu.” Bibi Ivana mengembuskan napas di ujung kalimatnya.
Aku tersenyum dan menggenggam jemari Bibi Ivana. “Bibi bantu doa ya, semoga ada jalan terbaik untuk pernikahan saya dengan Dipta.”
“Tentu.” Bibi Ivana mengangguk cepat. “Saya sih sangat berharap bayi yang berada di kandungan Melani bukan darah daging Dipta, jadi mereka bisa berpisah dengan mudah.”
Aku tersenyum saja menanggapi kalimat Bibi Ivana. Karena aku pun berpikir, besar kemungkinan bayi yang dikandung Melani bukan lah anak Dipta.
….
Malam harinya, aku membuat janji dengan kedua sahabatku Nadia dan Indah. Kami bertemu disebuah restoran disebuah hotel berbintang. Aku yang tiba lebih dulu, menempati meja yang sudah kami booked sebelumnya. Kumainkan ponselku sembari menunggu kedua sahabatku.
“Hai, selamat malam,” sapa seseorang tiba-tiba.
Aku mendongakkan wajah pada sosok pria yang berdiri di sisi mejaku. Pria yang sama ketika kami bertemu di Bali saat pesta pernikahan Dipta dan Melani. Mahameru.
Kuletakkan ponsel di atas meja. “Oh, hai, selamat malam,” balasku sembari tersenyum.
“May I?” Mahameru meminta izin untuk duduk seberangku, yang kuangguki tanpa ragu. “Kita pernah bertemu di Bali, bukan?” tanya Mahameru begitu dia duduk.
“Benar sekali.”
“Dan kita memang pernah saling mengenal sebelumnya. Sekar Ayu Paramita Abdillah, famous wedding dress designer. Garuda Tunggal Senior High School, dan kita pernah satu kelas,” tebak Mahameru seraya tersenyum cerah, memamerkan deretan giginya yang putih bersih.
“Anda mengenali saya?” Dudukku semakin rileks, begitu Mahameru mengungkapkan jika pria itu mengenaliku.
“Tentu saja, aku mengenalmu, Sekar. Please, jangan terlalu formal, kita teman.”
“Baik lah, Mahameru.” Aku mengangguk setuju.
“Jadi, dengan siapa kamu kemari?”
“Dengan sahabatku, mereka masih di jalan.”
“Ah, sayang sekali. Aku ingin mengajakmu makan malam tadinya. Tapi ya sudah, lain kali bagaimana? Apa kamu tidak keberatan?” tanya Mahameru dengan sopan.
“Dengan teman-teman yang lain?” tanyaku, tidak ingin makan malam berdua saja dengan Mahameru. Karena bagaimana pun, saat ini statusku bukan lagi seorang lajang. Aku seorang istri dari Pradipta Bhumika.
“Tidak masalah. Dengan atau tanpa teman-teman yang lain aku tidak masalah. Dan bolehkah saya menyimpan kontakmu?”
Aku mengangguk, sebelum memberikan kode QR w******p padanya.
“Terima kasih, Sekar. Kalau begitu saya pamit. See you.” Mahameru beranjak dari duduknya.
“Terima kasih kembali, Mahameru,” sahutku tersenyum dan masih memandangi Mahameru hingga sosoknya tak nampak lagi.
Aku tidak begitu mengenal Mahameru. Yang kutahu saat SMA dulu, laki-laki itu adalah siswa pendiam yang berprestasi. Mahameru seorang yatim piatu, dan saat sekolah dulu, pria itu mendapat beasiswa penuh dari Yayasan Sekolah. Namun begitu kami lulus, aku tak pernah lagi mendengar kabarnya. Hingga akhirnya beberapa waktu lalu kami dipertemukan di Bali.
Dari pengamatan singkatku barusan, sepertinya Mahameru sudak cukup sukses dengan pekerjaannya. Ekspresi wajahnya saat berbincang dengan lawan bicaranya selalu terkontrol. Pria itu selalu menampilkan senyum menawannya dengan tatapannya yang tajam, namun membuat lawan bicaranya nyaman. Pria dengan tubuh tinggi dan kokoh itu juga mengenakan setelan jas bermerek dan parfum mahal.
Penasaran, aku mencoba mencari sosok Mahameru di laman sosial media. Namun tidak ada informasi yang kudapat di sana. Hingga akhirnya Nadia dan Indah datang yang seketika membuat meja ini ramai dengan celotehan mereka.
“Yang tadi itu siapanya kamu, Sekar?” todong Nadia begitu mendudukkan dirinya di sampingku. “Kamu bukan sedang berencana mau balas dendam ke Dipta kan?”
“Tapi enggak apa-apa kalau kamu berhubungan sama cowok tadi supaya Dipta cemburu. Syukur-syukur dia jadi mikir dan menceraikan Melani.” Indah mengimbuhi.
Aku menggelengkan kepala dengan segala asumsi yang dipikirkan Indah dan Nadia. Tentu saja aku tidak marah pada mereka. Karena selama ini pada mereka lah aku menumpahkan segala keluh kesahku.
“Dengar baik-baik ya, bestie-bestie aku tercinta. Namanya Mahameru, dulu kami satu alumni di SMA Garuda Tunggal. Dan waktu di Bali kami nggak sengaja ketemu, bahkan dia juga datang di pestanya Dipta dan Melani. Dan pertemuan tadi adalah pertemuan kedua kami setelah lulus sekolah, itu pun tidak sengaja. Dan poin terpentingnya adalah, aku tidak berencana menjalin hubungan apa pun itu dengan pria mana pun termasuk Mahameru, untuk membuat Dipta cemburu.”
Nadia berdecak kencang nampak sekali kecewa. “Padahal Mahameru laki-laki potensial yang paling sepadan dengan Dipta. Aku yakin, kalau kamu minimal berteman dengan si Mahameru itu, Dipta pasti cemburu.”
“Kamu juga kenal Mahameru, Nad?” tanyaku mendapat pencerahan akan rasa penasaranku.
“Tidak mengenal secara pribadi tentunya. Aku hanya tahu Mahameru karena dia adalah salah satu pasien di klinik Gigi. Dari kabar yang kudengar dia pengacara dan pebisnis sukses. Para perawat dan dokter sering menggosipkan dia, memuji dia. Orangnya ramah, murah senyum tapi sangat tertutup,” terang Nadia yang membuatku menemukan jawaban dari mana asal muasal pakaian dan parfum mahal yang dikenakan Mahameru.
“Aku dukung kalau kamu berencana menjalin hubungan dengan Mahameru untuk membuat Dipta cemburu,” ujar Indah dengan menggebu yang seketika mendapat gelengan tegas dariku.
“Tidak. Aku tidak akan memperalat Mahameru untuk membuat Dipta cemburu. Aku tidak ingin membuat semuanya bertambah rumit.”
Obrolan kami terus berlanjut seraya menikmati menu makan malam kami. Restoran ini menyajikan berbagai menu western yang menggugah selera.
“Jadi, kamu tetap akan menjadi istri Dipta entah sampai kapan, Sekar?” Indah yang bertanya kali ini, setelah kuceritakan jika Dipta memohon padaku agar aku tidak menuntut cerai, mengingat kondisi Mama Saraswati yang mengkhawatirkan.
“Mau bagaimana lagi, kondisi Mama Saras begitu sekarang. Pokoknya situasinya tidak memungkinkan aku dan Dipta berpisah.”
“Lalu kamu minta imbalan apa ke Dipta, setelah bersedia nggak bercerai?” tanya Nadia.
“Aku hanya minta Dipta nggak bermesraan dengan Melani di hadapanku.”
“Cuma itu?” tanya Nadia dan Indah bersamaan. Mereka nampak terkejut, lantas kudapati ekspresi ketidaksetujuan di wajah mereka.
“Meski aku belum mencintai Dipta, tapi aku tetap merasa kesal sewaktu lihat Dipta dan Melani bermesraan.”
“Bukan itu poinnya, Sekar. Tapi, kamu minta apa kek ke Dipta. Mobil, rumah atau apartemen atas nama kamu.” Nadia memberi masukan.
“Oh itu. Uang bulananku sudah ditambah kok.”
“Aku setuju dengan Nadia. Kamu lebih baik minta mobil atau rumah, terserah. Yang penting kamu minta imbalan ke Dipta, karena kamu sudah bersedia bertahan,” kata Indah lantas terdiam sejenak. “Mobil aja deh kalau gitu. Mobil zaman purbamu itu sudah waktunya dimuseumkan.”
Nadia menjetikkan jarinya. “Good idea! Aku setuju sekali dengan Indah. Lebih baik kamu minta mobil ke Dipta. Anggap saja itu imbalanmu karena bersedia dimadu. Civic atau Mini Cooper boleh tuh.”
“Nah, iya, antara dua itu, aku setuju.” Indah mendukung dengan semangat.
“Baik lah. Nanti kalau memang waktunya tepat, aku akan sampaikan ke Dipta.”
Aku tersenyum samar, membayangkan ekspresi Dipta yang pasti akan terkejut dengan permintaanku. Harga kedua mobil itu tidak lah murah. Tapi tentu tidak sepadan dengan pengorbananku bukan?
Aku tersenyum puas dalam hati. Kami mungkin akan terlibat perdebatan kecil, tapi tentu aku tidak akan mengalah. Aku harus mendapatkan sesuatu akan pengorbananku. Tak peduli dengan penilaian Dipta padaku nanti. Terima kasih pada kedua sahabatku yang sudah mengusulkan ide cemerlang untukku.
Lagi pula, Jazz tua milikku memang sudah waktunya dimuseumkan. Tapi aku terlalu sayang mengeluarkan uang pribadiku segitu banyaknya, hanya untuk membeli sebuah kendaraan.
Bersambung