Out/Not/Fit

1283 Kata
Sepulang sekolah. Kenna mengajak Shania hangout ke salah satu mall kelas atas di kota. Mereka hanya pergi berdua saja tanpa para teman yang lain. Kenna kelihatan galau sejak pagi. Maka Shania mengikuti saja apa yang temannya satu itu inginkan. “Hari ini apa kita mau nonton? Atau makan? Atau shopping? Meni pedi? Atau sekedar ngecengin para cogan aja?” tanya Shania menyerbu. “Cowok ganteng di hatiku hanyalah Liam seorang. Para cowok muka ombre kayak mereka sama sekali nggak akan bisa buat aku terpana atau palingkan muka,” jawab Kenna dengan intonasi datar. “Heeeehh… Okelah, terserah kamu. Terus kalau gitu sekarang kita mau ngapain ini?” tanya Shania lagi sambil melihat ke ekeliling. “Ke tangga darurat, yuk. Kita ngobrol di sana aja,” jawab Kenna. “Are you kidding… me?” tanya Shania dengan raut tidak percaya. Sudahlah mereka jauh jauh pergi ke mall mewah malah mainnya ke tangga darurat. Tidak jelas sekali temannya satu ini kali ini. “YOW YOW YOW! Kebetulan banget kita ketemu sama dua siswi dengan seragam SMA Nevanov Independent Strategic. Apa kabar kalian hari ini?” tanya seorang pemuda berpakaian kasual pada mereka berdua. Di tangannya memegang mik. Tak jauh dari sana ada pemuda lain yang menyorot dengan handycam Canon VIXIA HF R800. Shania yang memang berwajah ceria langsung membalas senyuman ke arah kamera. “Baik, kok.” Kenna hanya tersenyum kecil. “Tentu saja.” “Perkenalkan gue Fado dari channel Youtube Fador Gafrin konten BERAPA SIH HARGA OUTFIT LO. Boleh nggak nih kita minta waktunya sebentar aja buat cek harga outfit anak SMA Nevanov Independent Strategic?” tanya pemuda dengan kulit kuning langsat itu. “Boleh kok boleh,” sahut Shania ramah. Kenna hanya tersenyum. Dalam hatinya be like, ahh, s****n. Ganggu aja sih ini orang. “Oke, dari kamu dulu, ya. Boleh perkenalkan namanya siapa?” tanya pemuda itu. “Shania,” jawab Shania. Ganti disodorkan miknya ke Kenna. “Kalau kamu?” “Kinem,” jawab Kenna datar dengan mata malas. “O-O-OOOKKKEEE, baiklah. Lanjut aja, ya. Oke, Shania. Bisa nggak kamu ceritain sama kita dan semua temen di Youtube. Berapa aja sih harga outfit yang kamu pakai ke sekolah. Pertama-tama… kalung. Ini kalung Bvlgari, ya. Berapa sih harganya?” tanya yutuber itu. “Kalau ini sih sekitar enam puluh jutaan. Beli di Italia langsung,” jawab Shania enteng. “WOW, udah enam puluh juta aja kita baru mulai. Kalau jam tangan ini harganya berapa?” tanya sang yutuber. “Kalau ini Rolex. Sekitar… tiga ratus sembilan puluh…” jawab Shania. “GILA. Tiga ratus sembilan puluh juta?” tanya dan respon si yutuber berlebihan. Shania mengangguk membenarkan, “Iya.” “Baru dua item udah empat ratus lima puluh juta. Cekidot lanjut ke… coba tunjukin ranselnya. Berapa nih harganya?” tanya si yutuber semangat dapatkan konten bagus. Wajah Shania tampak malu-malu. “Ini ransel Louis Vuitton New Age Traveler. Harganya tujuh ratus enam puluh lima juta,” jawabnya enteng. “Wah, SMA Nevanov Independent Strategic emang bukan kaleng-kaleng, guys. Langsung ke sepatu. Berapa nih harganya?” tanya sang yutuber makin semangat. “Kalau sepatu Salvatore Ferragamo… dua puluh lima juga,” jawab Shania. “Berarti kalau ditotal harga outfit printilan Shania ke sekolah di luar seragam itu udah senilai… SATU KOMA DUA RATUS EMPAT PULUH MILYAR, GUYS! Jiwa qismeen kita langsung meronta-ronta semua, ya. Sekarang kita cek harga outfit printilannya Ki… siapa tadi?” “Kenna,” jawab Kenna. “Oke, Kenna. Dimulai dari… “Berapa harga outfit lo?” * Kenna tau kalau Shania itu anak kaum hypebeast yang serba bling bling dan super gaul. Ia yang belum ada setahun mengenalnya pun sudah tau betul gaya hidup Shania. Seglamor apa tempat nongkinya. Semahal apa semua barangnya. Seberkelas apa teman-teman jalannya. Tapi, ia pun masih tak habis pikir mengingat harga outfit yang sohibnya kenakan sehari-hari. Hiks hiks hiks, harga outfitku cuma separuhnya. Kalau sampai video tadi ditonton Kakak. Aku pasti dimarahin, batin Kenna menangis dalam hati. Padahal lagi gak minat shopping. Kalau belum dapetin hati Babang Liam… “Hadehh, nggak nggak lagi deh ketemu sama youtuber gituan,” omel Shania seraya membenahi tatanan rambutnya. Ia dan Kenna tengah melangkah menuju salah satu kafe gahoel di mall itu. “Kenapa? Bukannya anak hypebeast seneng ya kalau diekspos kayak barusan,” tanya Kenna. Langsung Shania ayunkan telapak tangan. Menjawab, “No no no. Kalau barang mahal branded yang kita pakai beli sendiri atau minimal dibeliin orang tua. Bisa aja aku bangga. Atau seenggaknya nggak napak bumi sedikit gitu.” “Emang siapa yang udah beliin kamu?” tanya Kenna. “Ya abangku lah, siapa lagi,” jawab Shania. Tidak sebanding dengan pendapatan. Kedua orang tuanya dan Ishana lebih memilih menjalani gaya hidup yang terbilang sangat sederhana. “Maksud kamu Ishana??!” takjub Kenna. “Iya lah. Siapa lagi abangku?” tanya Shania balik. Mendadak ingin dipreteli seluruh barang mewah di tubuhnya. Sebelum harga dirinya yang dipreteli. “Bicara soal Ishana…” * Di kafe gahoel. “Apa sih alasan dia hidup se-economical itu?” tanya Kenna. Penasaran pada orang macam apa yang mau Liam jadikan teman. Dari yang ia dengar saat baru pindah ke SMA Nevanov Independent Strategic. Liam adalah tipikal anak elit yang selektif memilih lingkar pergaulannya. Singkat kata dia cupu. “Hmm, susah juga sih mau dijelasin. Ishana itu anak yang rumit. Cocok banget temenan sama manusia yang sama rumitnya kayak Liam,” jawab Shania. “Sorry to say. Ishana bilang dia nggak boleh bawa uang ke sekolah. Itu maksudnya apa, ya?” tanya Kenna berusaha sehati-hati mungkin. Khawatir dianggap terlalu mencampuri urusan orang lain. “Bukan, kok. Bukan gitu,” sahut Shania. Tampak kebingungan harus menjelaskan apa. Ia tak mau sampai orang tuanya dianggap kejam atau KDRT pada anak yang sangat membanggakan seperti abangnya. “Terus gimana?” tanya Kenna. Shania memandang ke luar kafe. “Ada beberapa, ‘kan? Kasus para anak yang jadi sedikit hilang kendali karena menganggap dirinya udah nggak butuh orang tua. Nah, kedua orang tua kami khawatir sampai hal seperti itu terjadi sama Bang Ishana. Bang Ishana itu… gimana ya bilangnya? Udah berdiri di luar jangkauan yang bisa orang tua kami beri toleransi. Dia sangat pintar. Sangat berbakat. Kemampuannya bahkan melebihi papaku. Yang bisa dapat jabatan seprestisius itu di usia terbilang muda. “Sebagai orang tua yang berasal dari negara yang menjunjung tinggi norma, adat, dan agama. Keberadaan Ishana sebenarnya mengkhawatirkan mereka.” “Maksudmu semacam takut dilangkahi?” tanya Kenna. Shania menjawab, “Karena itulah mereka berusaha menciptakan barikade dengan kewenangan mereka sebagai orang tua Ishana. Beberapa batasan yang buat Ishana tetap sadar pada kodratnya sebagai anak. Salah satunya dengan membatasi jumlah uang yang bisa dia gunakan setiap hari. Ditambah dia memang bukan anak yang banyak mengeluarkan pengeluaran kecil. “Dia benar-benar anak yang down to earth. Nggak kayak aku.” “Dia down to earth dan terkesan economical. Tapi, beliin kamu barang-barang seharga milyaran? Alasannya apa?” tanya Kenna. “Kalau itu sih… aku juga gak tau kenapa," sahut Shania. * Shania sampai di rumah saat langit sudah gelap. Ia lihat Ishana tengah sibuk berlatih di ruang musik yang ada di antara kamarnya dan kamar Shania. “Ngapain kamu liat-liat?” tanya Ishana ketus. “Aku harap Abang selalu bahagia,” doa Shania. “Cih, doain aja dirimu sendiri,” balas Ishana sinis. Shania tersenyum memamerkan deretan giginya. “Doain orang lain kan sama aja doain diri kita sendiri, Bang. Heehee.” “SHANIA!” teriak Bi Warkinah, pembantu senior di rumahnya, “Dasar anak bandel. Jangan ganggu abangmu lagi belajar, dong! Nanti saya laporin orang tuamu, lho,” ancamnya. Shania pun menutup pintu ruangan musik Ishana. Kembali memisahkan dunia mereka yang sejak awal memang tak sama.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN