Fatamorgana

1107 Kata
Hari ini pun sama seperti yang sudah-sudah belakangan ini. Liam seperti makin menjauh. Tenggelam dalam aktivitas kelas pematangannya di ekskul musik klasik. Sebenarnya Kenna sempat berpikir untuk bergabung ke ekskul yang sama. Demi terus memepeti cowok misterius yang pintar itu. Tapi… musik klasik akan menjadi hal terakhir yang ia pikirkan. Apabila hari kiamat terpampang di depan matanya sekalipun. Chopin? Itu nama orang? Mazurka? Marzuki kali! Minuet? Wait a minute… Piece? Makan tuh pisang! Ballade? Balet kali, ya… Concerto? Sodaranya C*mpina, ya? Sonata? Sonetwo kali! Ya Lord… aku itu pelajaran musik biasa aja udah ngantuk banget. Ini boro-boro mempelajari musik pengantar bobo gitu. Liam sama Ishana kok kuat, sih. Aaakh, jadi harus pulang sendiri, deh. Semoga some miracle happen dan Liam nggak perlu ikut lomba selanjutnya. Kan Kenna bakal kesepian ditinggal jauh-jauh. Seraya berjalan ke luar gerbang. Pandangan mata Kenna tertambat pada gedung Asrama Biru: asrama bagi para siswa dan siswi SMA N. I. S. yang rumahnya jauh. Ia ingat dulu sebelum pindah ke kota ini. Orang tuanya sempat menawari untuk tinggal di asrama. Timbang bolak balik pulang juga di rumah jarang ada siapa-siapa. Di asrama sudah fasilitas kamar dan lingkungannya seperti hotel. Makan terjamin hasil masakan koki bintang tiga pula. Tapi, setelah memeriksa peraturan hidup asrama yang cukup ketat. Ia memutuskan untuk menolak tawaran orang tuanya. “Aku kan akan jadi orang baru di kota itu. Rasanya lebih enak kalau punya kebebasan untuk mengeksplorasi dunia luar,” alasannya. “Sekarang aku udah cukup tau soal kota ini. Apa sebaiknya ngajak Shania pindah ke asrama, ya? Anak segaul dia pasti lebih seneng sama temen-temen terus juga, sih,” pikirnya. Langsung diketik ajakan untuk ide yang terdengar asyik itu. “Shan, habis UAS nanti pindah ke Asrama Biru, yok.” Baru dua detik centang dua. Warna abu-abu langsung menjadi biru. “GOOD IDEA! Atur aja gimana asiknya,” balas Shania. Kenna tersenyum kecil. Shania memang gadis yang menyenangkan. Walau sikapnya sehari-hari. Membuat orang meragukan alasan ia berhasil lolos ujian masuk. “Jangan-jangan nyogok?” “Korupsi Kolusi Nepotisme? Ibunya kan penjabat kementrian pendidikan.” “Atau… Ishana cuma mau masuk sini kalau Shania keterima juga?” “Sungguh suatu konstipasi… maksudku konspirasi…” “Kenapa bergumam sendiri?” tanya seorang pemuda di dekatnya. “T-Tara!” respon Kenna terkejud maksi. “Iya. Kayaknya aku belum minta maaf secara resmi soal kejadian kemarin itu. Aku masih nggak enak baik sama kamu maupun Liam,” ucap Tara. “Aahh, oke,” balas Kenna datar. Untungnya keadaan Liam cepat kembali normal. Kalau tidak… rasanya ia siap mengubah genre novel ini jadi thriller. “Punya waktu nggak habis ini? Aku mau traktir,” ajak Tara. “Punya, kok. Aku rasa juga ada beberapa hal yang perlu kita bicarakan, Tara,” jawab Kenna. “Aku bersyukur kalau begitu.” * Di suatu kafe kelas atas. Tara tersenyum kecil melihat Kenna yang berusaha menutupi identitas seragam yang ia kenakan dengan serapat mungkin. Kenna kenapa, sih? Gitu amat dah perasaan, batinnya berusaha sembunyikan tawa dalam d**a. Menyadari pandangan penasaran Tara. Kenna berkata, “Mending kamu pakai jaket juga!” “Memang kenapa?” tanya Tara. “Aku habis mengalami pengalaman traumatis kemarin,” jawab Kenna hiperbola. “Oke, aku mengerti, kok. Apa yang pengen kamu bicarakan sama aku?” tanya Tara. “Kenapa kamu… menyakiti Liam?” tanya Kenna. “Mungkin Liam udah nggak memikirkannya karena disibukkan sama persiapan lomba. But, he means the world to me. I can’t just tree stand here.” Tara tersenyum kecil. “Ahh, aku iri banget sama dia. Seandainya ada juga cewek yang bilang begitu di belakangku. Aku akan sangat bahagia.” “Aku yakin banyak,” respon Kenna. Tara menghela nafasnya cukup dalam. “Malam itu… saat melihatnya dalam balutan seragam pelayan pesta. Yang kupikirkan hanya… it is time to get even. Aku merasa bisa mengalahkannya dalam mendapatkanmu. Dengan semua yang aku miliki. “Kekayaan orang tuaku hanya menyelamatkanku dari rasa lapar dan kedinginan saat malam tiba, Kenna. Tapi, tidak dengan yang benar-benar aku butuhkan di dalam sini,” ucapnya seraya menyentuh d**a. “Itu akan sedikit mengecewakan. Untuk orang yang berpikir bahwa harta adalah segalanya.” Tara memberikan senyumannya lagi. “I hope wealth can buy your love, Kenna. But, it’s just pie in the sky.” Kenna tertunduk dalam. Menyadari betapa miripnya ia dan Tara. Berpikir bisa mendapatkan cinta seseorang lewat harta. Bahkan ketika tubuh Liam berada di sisinya. Hatinya terasa jauh bak fatamorgana. Air matanya tiba-tiba menetes. “Kenna?! Kamu kenapa? Apa ada yang salah dari ucapanku? Aku mohon maaf kalau begitu,” tanya Tara lembut seraya memberikan sapu tangannya. Untuk mengusap air mata gadis jelita itu. Gadis itu menggeleng pelan. “Bukan karena kamu. Aku hanya sedih dan teringat sesuatu.” Tara pun memasukkan kepala Kenna ke dalam pelukannya. Memberinya ruang untuk meluapkan seluruh perasaan. Ini pasti karena Liam. Sekalipun menyakitkan. “Hiks… huks… heeks…” “Tenang aja, Kenna. Aku akan tetap ada di samping kamu. Apa pun yang terjadi. Sekalipun dunia yang kamu inginkan meninggalkanmu. “We have to face it together.” Makanan datang. Kenna menghapus air mata di wajahnya. Tara menghapus air mata di batinnya. “Mari bicarakan hal yang lebih menyenangkan. Tara, kudengar kamu ini jago bermain musik, ya?” tanya Kenna. Wajah Tara sedikit tersipu. “A-ha-ha, benar. Tau dari mana?” tanyanya. “Aku sempat lihat penampilanmu di rekaman pensi saat kelas sepuluh. Sangat memukau,” jawab Kenna. “Sebenarnya aku hanya bermain musik karena ikut-ikutan Ishana,” aku Tara. “Ishana?” konfirmasi Kenna. “Iya. Kami bertemu di pesta. We’ve been together ever since,” cerita Tara. “Oh, jadi Tara dan Ishana itu teman masa kecil, ya,” takjub Kenna. Dengan begini bertambah sudah sumber informasinya soal tipe orang yang Liam suka Ishana. “Sampai sekarang juga masih berteman, kok.” “Instrumen apa?” tanya Kenna. “Instrumen yang sekarang dimainkan Liam,” jawab Tara. “Piano…” “Liam Parama. Siapa anak itu sebenarnya. Bisa mengambil begitu banyak hal dari hidupku. Dalam waktu singkat. Sedikit ironis, ‘kan?” tanya Tara. “Ya, kamu benar,” jawab Kenna. Dari waktu yang hanya sepersekian detik itu. Saat kedua mata mereka saling “bertatapan” di pameran. Sudah mengubah hidupnya sampai hari ini. * “Sampai nanti,” salam Tara dari atas motor yang ia kendarai. “Sampai nanti juga,” balas Kenna sambil melambaikan satu tangan. “Kelihatannya Liam masih sibuk. Gimana kalau besok…” Tara menggaruk salah satu pipi yang tak gatal. Ingin alihkan pandangan. “Kalau begitu lebih baik kita lihat aja besok, ya,” jawab Kenna. Sudah bisa menebak akan ke arah mana ucapan Tara.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN