Justice is Not Existed

1264 Kata
Apa yang sebenarnya sudah terjadi di antara mereka? Sampai timbulkan begitu banyak perdebatan, melahirkan asumsi tak bertuan, kesalahpahaman, bahkan sesuatu yang layak dipanggil sebagai ketidakadilan. Inilah kehidupan. Ж Acara yang digelar malam itu hampir usai. Selama dibawa ke sana kemari oleh Tara untuk memperkuat eksistensinya sebagai anggota dari kalangan kelas atas. Kedua mata Kenna tetap senantiasa mengamati di mana pun Liam berada. Saat itu ia sendiri sedang sibuk bekerja. Menawari makanan. Masuk ke dapur. Berinteraksi dengan pegawai lain. Bahkan saat ia diminta menghadap pada sang empunya acara: pemilik Laborc Kartal Hall, Legawa Pangestu. Seorang pria Jawa keturunan generasi keempat Rusia. Mereka tampak mengobrol cukup intim walau statusnya hanya pelayan dan tuan. Kenna hanya jadi makin tak bisa memalingkan mata. Saat melihat sesekali Liam dan Legawa tertawa bersama. Yang ia pikirkan hanya… “Pak Legawa itu orangnya legawa sekali.” Sampailah di penghujung acara. Setelah Legawa mengucapkan terima kasih atas kehadiran para tamu undangan. Dan segala macam t***k bengek memohon doa untuk kelancaran usaha di tempat itu selanjutnya. Pesta pun benar-benar usai. Namun, Kenna tak mengikuti langkah Tara untuk kembali ke mobilnya. Kenna malah sibuk mencari Liam karena lebih ingin pulang bersama dengan anak berpenampilan sangat sederhana itu. Naik motor berboncengan berdua seperti yang lumrah ada di film romansa dengan latar kehidupan remaja. “Kenna,” panggil Tara sedikit menaikkan oktaf suara. “Apaan, sih?” balas Kenna tidak terima. “Tolong gunakan akal sehatmu! Di sini ada banyak media yang meliput. Apa yang akan mereka katakan kalau melihat gadis yang datang bersamaku. Malah pulang sama pelayan part time?” tanya Tara menurunkan oktaf suara. Inilah yang paling aku benci dari sosialisasi kaum kelas atas seperti ini, batin Kenna emosi. “Aku mengerti sama apa yang kamu khawatirkan, Tara. Tapi, aku benar-benar nggak mau kembali sama kamu. Aku akan menemui Liam. Entah bagaimana caranya. Aku akan kembali sama dia. Sori, Tara,” putus Kenna membulatkan keputusan. Seluruh akal sehatnya seperti melebur bersama perasaan pada Liam. Liam. Liam. Dan ya, hanya Liam. Walau di luar Tara tampak tetap tenang dan tampan. Dalam hati sebenarnya ia telah dibakar oleh betapa menggeloranya perasaan marah. Ia seperti tak bisa berpikir dengan akal sehat lagi. Sama seperti Kenna. Kenapa pula gadis cantik imut cerdas yang begitu ia suka. Dan sederajat dengannya. Malah jatuh cinta pada pelayan yang tidak ada apa-apanya seperti Liam. Kenapa? Kenapa? Kenapa harus seperti itu? Kenapa bisa jadi begitu? “KENAPA??!!!” pekik Tara di dapur kotor pelayan. Para pelayan maupun pekerja lain yang menyaksikan tak ada yang berani menghentikan. Pemuda yeng bertindak sewenang-wenang itu. Tampak berasal dari keluarga yang punya kedudukan. Orang-orang yang ada di kasta kroco seperti mereka. Memangnya bisa apa? “Saya ingat muka kalian semua…” ucap Tara dengan tatapan harimau kelaparan, “Sampai berita ini bocor ke khalayak luas. Kalian akan sangat menyesal,” peringatnya. “Kamu juga, Liam,” tatapnya ke Liam yang kesadarannya hanya tinggal sedikit. Rupa Liam begitu menyedihkan. Terkapar di lantai dengan ceceran cairan merah kehidupan di mana-mana. Ia ingat betul bagaimana Tara mulai mencari perkara dengannya. Ia hanya pegawai paruh waktu. Tak ingin meninggalkan kesan buruk di benak pemberi kerjanya. Ia biarkan saja bagaimana Tara memulai keegoisannya. Tapi, kok lama-lama semakin menggila? Bukan hanya jotosan dan tendangan yang ia terima. Namun, juga pukulan dari teplon yang sukses menggeser tulangnya. Juga menciderai kakinya. Dunia ini sangat tidak adil. Hanya pikiran itu yang tersisa dalam kesadarannya yang kian menipis. Ia… yang bukan siapa-siapa… bisa apa melawan seorang tuan muda seperti Tara? Hukum pun tak akan pernah memihaknya. Dunia hanya memihak mereka yang punya kuasa. Itu kenapa… ia sangatlah membenci orang-orang kaya. Bahkan semua orang kaya yang ada di dunia. “Maaf, ada apa ini?” tanya sebuah suara yang berat nan bersahaja di belakang Tara. Suara Pak Legawa sang empunya acara. Sedikit terkejut mendengar apa yang terjadi di belakang dapurnya. Tara langsung panik. Ditatapnya bengis orang-orang di luar pintu. “Ini benar-benar kesalahpahaman, Pak. I-Ini sama sekali tidak seperti yang Anda bayangkan.” Legawa menoleh ke arah orang yang bertanggung jawab untuk acara hari itu. “Tolong segera kamu selamatkan pekerja itu. Saya tidak mau ada berita soal orang mati di hari peresmian pertama gedung ini. Mengerti?” “Mengerti, Pak,” respon pria paruh baya berkacamata frameless itu. Meminta anak buahnya menggotong tubuh Liam ke ruang kesehatan. Saat itulah Kenna tanpa sengaja melihat keadaan sang pujaan hati. Tadi Tara izin ingin ke kamar mandi sebelum kembali. Kenapa jadi begini? Kini Legawa memandang Tara dengan wajah dipenuhi tanda tanya. Berkata, “Ikut saya!” pintanya. Ж Di ruangan manajer operasi gedung. “Bisa kamu jelaskan apa yang baru saja kamu lakukan pada pekerja saya?” tanya Legawa tenang. Ia bisa saja langsung memperkarakan pemuda di hadapannya. Tapi, tak akan semudah itu mengingat siapa orang tuanya. Maka ia akan mencari celah. Di mana setiap kesalahan bisa dimanfaatkan. “Sa, Saya tidak bersalah, Pak. Dia yang memulai semuanya,” ucap Tara. Membela diri tentunya. “Ada banyak kamera pengawas di gedung ini, Tara. Di bagian mana dia memulainya? Akan kami usut semua BUKTINYA dengan bijaksana,” tanya Legawa. “I, I, Itu…” Pak Legawa melanjutkan, “BAHKAN di tempat saya memergoki kalian pun…” Tara masih enggan untuk bicara. Tak ia sangka semua akan berbalik menyudutkannya. “Seharusnya kamu kooperatif. Saya bisa mengurusi ini sendiri karena sedang senggang. Bagaimana kalau saya serahkan ke orang lain? Mereka mungkin tidak akan selembut saya,” ancam Legawa. “A, Apa yang Anda inginkan sebenarnya?” tanya Tara. Mulai menangkap inti segala perkara. Legawa tersenyum. Menyilangkan satu kakinya di atas kaki yang lain. “Saya suka kamu mulai cepat tanggap.” Ж Rumah Sakit Wolf’s State kamar VIP III. “Hallo, boy. Bagaimana keadaan kamu?” tanya Legawa dengan tampang lebih ceria. Memasuki kamar tempat Liam dirawat tanpa salam pembuka. “Kenapa saya harus menempati kamar semewah ini? Gaji saya harus dipotong berapa bulan?” tanya Liam datar. Legawa tersenyum dan duduk santai di atas sofa. “Kamu harus ditempatkan di kamar VIP, dong. Kalau tidak bagaimana saya mau menjenguk kamu?” tanya Legawa balik. Liam langsung membalas, “Ah, benar juga.” “Kelihatannya kamu sudah baikan. Masih ada yang sakit?” tanya Legawa dari tempat duduknya. “Sudah tidak apa-apa,” jawab Liam. “Ini sudah malam, sih. Kamu mau makan sesuatu?” tanya Legawa sembari mengecek gawainya. “Terima kasih banyak, Pak Legawa. Tidak perlu,” jawab Liam. Sejujurnya ia hanya ingin cepat tidur. “Oke kalau begitu. Saya sedang ingin makan pizza. Jangan minta, ya,” goda Pak Legawa. “Tidak akan,” jawab Liam emosi. Ingin ditinggal tidur tidak enak. Dibiarkan juga sangat mengganggu. Dasar… “Saya nyalakan televisi, ya. Sebentar lagi jam tayang drama Korea favorit saya. Kamu tidur saja sana!” pinta Legawa seenaknya. Liam melirik jam dinding di atas televisi. Sudah menunjukkan waktu cukup malam menjelang pagi. Kenapa pria satu ini bisa masih ada di sini? “Sebagai hadiah karena sudah membuat peresmian gedung saya jadi begitu membawa berkah. Saya akan temani kamu malam ini. Selamat ya, Liam. Saya juga akan meminta agar kamu mendapat bonus dari pihak kami. Bersyukurlah dan cepat sembuh agar Senin sudah bisa masuk sekolah.” “Bagaimana dengan kejahatan Tara?” tanya Liam. “Apa yang kamu harapkan memangnya? Berkat ini saya mendapat kesempatan untuk proyek yang cukup besar. Jangan buat masalah lagi dengannya. Atau kamu akan bermasalah dengan saya nantinya,” peringat Legawa. “…” “Bagaimana?” tanya Legawa. Dihembuskan nafasnya berat. Menjawab, “Oke, Pak Legawa.” Keadilan tak ada di dunia ini. Keadilan hanya ada di langit. Ж Itulah yang sebenarnya terjadi. Mengapa kita seperti ini?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN