Hari Selasa pun Tara belum bisa kembali ke sekolah. Ia harus mengurus banyak hal dengan keluarga besarnya. Karena sudah membuat PT. Sentana menandatangani suatu perjanjian. Yang berpontensi membuat mereka merugi bandar. Tara harus turut mempertanggung jawabkan tindakannya. Ia tak diizinkan untuk hanya menjadi benalu dalam keluarga Sentana.
“Kastara,” panggil ayahnya. Cara memanggil nama yang hanya orang tuanya lakukan. Saat sangat marah.
“Iya, Ayah,” respon Tara ciut. Ia benar-benar tak menyangka. Efek dari tindakan “kecilnya”. Akan berbuntut begini panjang.
“Saya berikan kamu sepuluh juta rupiah. Buat itu jadi satu milyar rupiah dalam satu minggu,” pinta ayahnya, kepala keluarga Sentana yang terkenal jaya.
“Kalau saya gagal?” tanya Tara. Mengantisipasi situasi.
“Kamu tidak akan mau tau akibatnya, Kastara. Lakukan saja yang saya minta. Jangan sampai gagal,” pesan ayahnya. Menutup pertemuan mereka saat itu.
Ж
SMA Nevanov Independent Strategic adalah sekolah berstandar internasional yang cukup mahal. Menggunakan kurikulum Cambridge untuk kelas 1 SMA. Dan kurikulum International Baccalaureate Diploma untuk kelas 2 dan 3 SMA. Selain karena sarana dan prasarananya yang lengkap. Tenaga pendidik dan kualitas lulusannya pun nyaris semua memuaskan. Seperti jaminan mutu bagi setiap orang tua untuk memasukkan anaknya ke sana.
Walau tetap saja… di mana pun juga kebodohan bisa nyangsang tak pandang bulu.
“Eh, kalian tau gak, sih?” tanya Shania semangat ke teman-temannya. “Sejak masuk kemarin. Tuan Muda Tara yang mukanya tampan rupawan bak pahatan khayangan itu jadi sedikit suram gitu, ya. Kayak lagi mikirin masalah utang negara aja dia.”
Teman-teman Shania merespon nyaris seragam, “Iya, iya. Kasihan, ya. Semua kan gara-gara… Gara-gara si dia… Sayang sekali… Padahal dia juga lumayan… Tapi…”
“Iya, ‘kan?” sahut Shania semangat. “Tara pasti jadi nggak enak hati sama teman-temannya gara-gara Liam. Sumpah, ya. Andai gak buat masalah. Liam itu sebenarnya perfeque banget,” ucap Shania menyilangkan kedua tangannya di d**a. Geleng-geleng kepala.
“HEH!!!” teriak seorang siswa di belakang tubuh Shania kasar. Langsung dipelototi teman-teman Shania yang asyik menyimak segala gunjingannya.
Shania reflek menoleh ke belakang. “Apa, sih?!!” balas pekiknya.
“Apa???!!!” balas siswa itu lebih nyolot. Dimintanya semua teman Shania di sana angkat kaki. Kalau tak mau kehilangan kaki.
“Shiiyaapp, Baaang!”
Langsung dijewer telinga Shania tinggi-tinggi. “Sudah berapa kali diingati? Jangan suka ngomongin orang di depanku. Apalagi orangnya Liam,” peringat siswa itu.
Shania berusaha membela diri, “Kan barusan aku ngomonginnya di belakang Abang.”
“Maksudku di depan orang lain! Kalau mau ngomongin orang depan tembok aja sana!” pintanya memojokkan tubuh Shania ke dinding gudang sekolah dengan kabe don.
“Iiiiiikkkhhh! Abang nih pengawalnya Liam apa? Kenapa belain dia terus, sih? Aku juga tuh nggak ada masalah sama Liam, Bang. Aku cuma bermasalah sama tindakannya yang udah menyakiti Tuan Muda Tara yang hensem tiada tara. Kenna walau berlagak ceria juga sebenarnya merasa khawatir tau. Abang sekali-kali lihat masalah dari sudut pandangku, dong!” pinta Shania.
“Bisa gantung diri orang tua kita sampai aku juga jadi kayak kamu,” balas siswa itu kesal. CTIK. Disentil “manja” dahi sempit Shania.
“WADDAUWW!” pekik Shania kesakitan. Sentilan abangnya tak pernah gagal menyakiti sampai membuat malas berpikir lagi.
“Kamu nggak tau apa-apa soal Liam. Bahkan soal kejadian kemarin itu… kamu tuh nggak tau apa-apa, Shania. Kenna yang menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri aja. Nggak banyak bicara kayak kamu. Kenapa kamu terus bersikap sok tau?” tanya si siswa.
“Abang mah gitu,” amuk Shania balik. “Dari dulu selalu belain Liam. Sekali-kali belain aku, kek.”
“Shania,” panggil abangnya datar.
“Kenapa? Nyesel? Mau minta maaf? Tak ada maaf untukmu, Bang. Seluruh pintu maaf untukmu terblokir,” ucap Shania seraya menjauh dari abangnya.
“Jangan buat aku semakin menyesal. Karena harus terlahir satu rahim denganmu…”
Ж
Namaku Ishana. Ya, kalian tidak salah baca. I-S-H-A-N-A. Ishana. Dengan berat hati aku harus mengakui bahwa aku adalah s****a yang tidak sengaja terlahir ke dunia bersama Shania. Kebetulan aku keluar empat detik lebih awal. Jadi, aku adalah abangnya.
Abang!
Sayang seribu sayang. Orang tua kami kadung percaya 1000% pada hasil ramalan USG yang menyatakan aku akan terlahir sebagai perempuan. Disiapkanlah sepasang nama yang dianggap cocok dan indah diberikan pada dua bayi perempuan.
Ishana akan diberikan pada yang keluar pertama karena huruf depannya I.
Shania akan diberikan pada yang keluar selanjutnya karena huruf depannya S.
Sesederhana itu.
Respon mereka saat yang keluar pertama berbatang?
Ж
Flashback.
“Oh, tidak usah repot-repot, Ma. Kita tetap kasih nama saja Ishana. Kedengarannya bagus juga,” putus Papa.
“Artinya apa, Pa?!“ pekik Mama. “Kita bahkan tidak pernah memikirkan arti dari nama anak-anak kita.”
“Artinya pasti bagus dan jantan. Percaya sama Papa,” ucap Papa dengan senyum penuh optimisme.
“Kenapa Papa kelihatan buru-buru sekali? Aku baru lahiran, Pa.”
“Dua jam lagi Papa harus berangkat untuk meeting di Korea, Ma. Mana sempat lagi ngubah-ngubah nama anak. Sudah, pokoknya nama bujang pertama kita itu Ishana. TITIK NO SPASI!”
End of flashback.
Ж
Ruangan ekskul musik klasik SMA Nevanov Independent Strategic.
Deng deng deng. Liam sedang duduk di balik grand piano Steinway & Sons. Menekan-nekan tuts-nya dengan satu tangan. Tersenyum menyambut kedatangan sahabatnya.
“Tumben telat,” responnya.
“Aku habis membasmi hama,” jawab Ishana datar.
“Nggak ada yang perlu dibasmi dari dunia ini. Selain pikiran buruk,” ucap Liam. Kesulitan memainkan piece atau komposisi nada untuk musik klasik. Ini memang disebut dengan istilah piece karena itu bukanlah lagu yang memiliki lirik hanya dengan satu tangan.
Menyender di dinding belakang Liam. Ishana memandang punggung sahabatnya simpatik. Bagaimana bisa Tara menyakiti tangan yang merupakan aset terpenting seorang pianis?
“Andai aku kamu,” ucap Ishana, “udah aku habisi dia,” lanjutnya serius. Posisi mereka yang hidup di kalangan penuh aturan. Telah banyak menuai kesalahpahaman. Demi mempertahankan nama baik dan kedudukan.
“Aha-ha-ha. Kalau aku lakukan itu mungkin tanganku sudah dipotong sama orang tuanya. Sudahlah. Setiap kejahatan itu kan ada balasannya.”
“Lalu, bagaimana dengan lomba kita yang selanjutnya?” tanya Ishana, “Guru sudah mengatakan sesuatu padamu?”
“Tenang aja. Aku akan segera sembuh. Semua akan baik-baik saja.”
“IYA! Aku yakin kalau kamu pasti akan segera sembuh dan kembali baik-baik aja seperti sediakala,” ucap Ishana semangat seraya mengepalkan kedua telapak tangan ke udara.