Hari ini sepulang sekolah. Ishana langsung mendatangi kelas Liam di gedung MIPA. Sejak pertemuannya dengan Kenna kemarin. Entah kenapa. Membuatnya paranoid. Bagaimana sampai Liam termakan bucin Kenna dan keluar dari idealisme sebagai pemusik? Bagaimana sampai Liam… yang terburuk… meninggalkannya?
Oohh… Ishana saja tak ingin membayangkan. Apa yang akan ia lakukan pada Liam. Sampai itu terjadi.
“LIAM!” teriak Ishana di ambang pintu kelas Liam yang sudah mulai sepi karena mayoritas anak sudah pada keluar dari sana sejak tadi awal pertama bel berbunyi.
Liam yang masih sedikit sibuk karena membereskan buku auto menolehkan wajah ke arah pintu. “I… ya, ada apa, ya, bro?” Segera ia hampiri anak remaja yang baru saja memanggilnya itu.
"..." Ishana malah diam saja tak ucapkan sepatah kata pun juga.
“Aaaakkh… senang sekali aku pulang sekolah bisa dijemput sama pangeran tampan sempurna dengan kuda putih,” celetuk Liam niat bercanda. Walau wajah anak remaja di hadapannya sama sekali tak mengisyaratkan hal yang sama. Ada apa ini gerangan?
“Apa Kenna ke sini?” tanya Ishana serius.
“Iya sih tadi. Tapi, dia aku minta pulang sendiri karena hari ini aku ada kelas pematangan untuk suatu pelajaran. Kenapa? Jangan-jangan kamu juga naksir sama Kenna, ya? Jangan, dong!” jawab Liam sambil meninju salah satu lengan Ishana.
Ishana langsung menghembuskan nafas lega. “Untung saja ternyata kamu masih punya akal sehat.”
“Masih waras, dong. Enak aja. Nanti sore Pangeran Ishana udah janji bakal beliin sweets buat Liam, ‘kan?” tanya Liam lagi-lagi berusaha menggoda tampang serius menggelikan Ishana yang sudah seperti minta dicoel manja itu.
Masih dengan tampang super serius tertambat di wajahnya Ishana menjawab, “Iya, tentu saja! Mau makan manisan sampai satu kontainer juga bakal aku sediakan. Asal…”
“Asal apa?” tanya Liam dengan raut wajah sok manis.
Ishana melanjutkan kalimatnya dengan, “Asal jangan pernah ning… AKH, lupain aja!” Tiba-tiba terputus karena ia merasa sangat memalukan untuk seorang dirinya harus mengatakan hal seperti itu. Cih, apa juga sih yang baru saja dia pikirkan? Apakah dia masih sehat? Kenapa juga jadi seperti ini situasinya?
*
Tak lama kemudian sampailah kedua anak remaja laki-laki itu di ruangan musik. Miss Raicheal sudah minta izin akan datang sedikit tidak tepat waktu karena harus pergi ke rapat dengan para anggota dewan guru dulu.
“Ngomong-ngomong... Miss Raicheal itu baik sekali, ya,” komentar Liam yang sedang duduk di bangku depan piano. Menekan-nekan beberapa tutsnya asal hingga timbulkan nada yang cukup sumbang.
“Pertama kali aku dengar kamu memuji perempuan kecuali si Kenna. Ada angin apa ini?” tanya Ishana seraya menyetel biolanya.
“Bukannya seperti itu. Maksudku Miss Raicheal itu memandang semua muridnya dalam posisi yang setara sama dia. Dia meminta maaf. Meminta pendapat kita. Menghormati pandangan kita,” sahut Liam masih dengan tatapan penuh kekaguman. Memang, sih. Walau bagaimanapun juga Miss Raicheal akan selalu jadi sosok wanita yang mengagumkan untuknya.
“Sayang sekali ya karena guru seperti dia nggak masuk ke kelas buat sekalian ngajar para rakyat jelata,” balas komentar Ishana sedikit tidak terduga. Yah, dia memang sudah cukup biasa menggunakan kalimat bernada sarkas. Tapi, yang kali ini lumayan juga sarkasnya.
“Kenapa sih kamu nggak pernah pergi ke kantin? Kalau istirahat pasti akan selalu ke gedung olahraga. Atau perpustakaan. Atau lab bahasa. Atau lab musik,” tanya Liam berusaha mengalihkan topik karena sudah tak lagi berminat untuk melanjutkan bahasan mengenai percakapan ini.
“Untuk apa juga kamu bertanya hal seperti itu?” tanya Ishana balik tak begitu peduli pada mengapa sang sahabat tiba-tiba mengubah topik bahasan. Masih menyetel biola Stradivarius-nya dengan serius. Biola yang sedang ia pegang itu biola berharga yang harganya sangat mahal. Tidak boleh diperlakukan dengan semena-mena.
“Nggak ada alasan apa pun kok di balik pertanyaan iseng itu. Ishana itu kan orang yang sangat sosialis dan punya banyak teman di sekolah. Tapi, malah jarang mau diajaki nongkrong di kantin. Penasaran aja gitu,” jawab Liam santai saja. Ia tau kalau Ishana bukan orang yang akan tergerak oleh perasaan. Ia tak ubahnya seorang patung batu dalam wujud manusia yang punya nyawa dan bisa bergerak leluasa. Kadang betapa jenius dan berbakatnya ia jadi hal yang cukup mengerikan untuk orang di sekitarnya bahkan untuk Liam sendiri. Hal itu tak perlu dipungkiri lagi. Sangat nyata sekali.
“Kamu pasti habis ditanyai Kenna, ya?” tanya Ishana curiga.
“Kenapa Yayank Kenna jadi dibawa ke percakapan kita, dah?” tanya Liam balik dengan raut wajah aneh. Sobatnya ini kadang-kadang juga.
“Nggak apa-apa,” jawab Ishana tetap stay cool and calm. Ia melanjutkan, “Aku itu rutin menjalankan puasa Daud sejak lulus SD,” beritahunya.
“Apa itu?” tanya Liam yang memang tak begitu familiar dengan beragam istilah keagamaan di agaman lain.
“Puasa untuk satu hari iya dan satu lahir tidak,” jawab Ishana. Mudahnya, puasa selang seling.
“Wew, tampaknya itu terdengar cukup berat, ya. Untuk apa kamu sampai melakukan hal semacam itu?” tanya Liam tak paham.
“Selain untuk kesehatan. Aku melakukannya untuk mendapat uang. Aku melakukan semua hal yang bisa membuatku kaya yang ada dalam kitab suci agamaku,” jawab Ishana serius.
“Dan apakah hal itu berhasil?” tanya Liam.
“Kalau tidak berhasil aku pasti sudah jadi atheis sejak lama,” jawab Ishana lagi-lagi dengan intonasi datar tak bersahabat.
“Padahal kedua orang tuamu setahuku sudah berada sejak dulu. Maksud kaya yang seperti apa, nih?” tanya Liam lagi memperjelas.
“Yaa… kekayaan yang bisa aku klaim sebagai milikku sendiri. Kekayaan yang bahkan orang tuaku tak punya hak untuk ikut campur di dalamnya,” jawab Ishana datar.
Kedua mata Liam auto berbinar. Tak salah memang ia dekati dan menjalin hubungan baik dengan orang idealis yang sangat inspiratif seperti Ishana. “Omae wa hontou ni kakoii naa. Keren lu, ndro!”
“Ah, makasih,” respon Ishana lebih lembut dengan tatapan rendah hati. Berusaha merendahkan pandangan agar tak terlihat sombong.
“SELAMAT SIAAAANG, SEMUA MURIDKU YANG TERSAYANG!” salam seorang wanita dengan hijab yang baru memasuki ruang ekskul musik klasik di mana Liam dan Ishana berada.
Mereka berdua langsung menolehkan wajah ingin sembunyikan semburat tak berjejak.