No Reason to All Out

1124 Kata
A, Apakah jiwa anak ini bahkan sehat? Apa otaknya baik-baik saja? Apa tidak ada diagnosa kelainan jiwa yang mengerikan di balik tes IQ-nya yang pasti mendapat hasil sangat memuaskan? Apa dia semacam orang saiko atau yang semacam itu? Kenapa mengerikan sekali, sih? Duh, jangan takuti aku seperti ini, dong. Padahal sekejap saja aku sempat merasa damai dan nyaman, tapi ternyata taunya orang yang seperti itu, ya. Hmm, Liam, aku harap kamu tau dengan siapa kammu sedang bersahabat saat ini karena Ishana itu sepertinya bukan seorang anak remaja yang normal seperti kamu dan aku, hiks, batin Kenna panjang lebar sampai hampir saja kehilangan Ishana yang terus berjalan. “Ishana!” panggil Kenna pada akhirnya. Berusaha hentikan langkah anak remaja dengan potongan rambut curtain cut yang terasa cocok mewakili jiwa senimannya. “Ada apa, sih?” respon Ishana dengan raut wajah sangat terusik. Hal itu buat sebagian besar bulu kuduk Kenna meremang seketika. Mungkin jika ia bukan seorang perempuan ia sekarang pun pasti sudah dihajar atau dijadikan samsak pelepas stres untuk Ishana yang sepertinya punya kontrol cukup besar pada para penghuni gedung jurusan ini. Ia pasti punya power yang bukan main-main. Sampai semua anak lain begitu mematuhi apa yang ia perintahkan dan inginkan. “Kamu temenin aku ngobrol sebentar, yuk. Akan aku traktir makanan apa pun yang kamu mau, deh,” ajak Kenna dengan wajah berusaha tersenyum. Ia tak mau terlihat canggung saat mengatakan hal semacam itu, tapi kalau ada di depan anak seperti Ishana juga rasanya tidak mungkin deh kalau sampai tidak canggung atau salah tingkah. Habis keberadaan Ishana itu auranya kadang buat salah paham. Terkadang sangat keren dan ingin sekali dipuji. Tapi, di saat bersamaan juga terasa mengerikan sekaligus mencekam. Ia tak ubahnya seperti seseorang yang sangat sulit untuk dipahami. Walau memiliki jumlah uang yang bisa membeli kantin. Ishana masih tergiur pada kata gratisan. “Ayo.” Ж “Kamu boleh… pesan apa saja,” ucap Kenna menyodorkan daftar menu kantin sekolah mereka. Ia sudah dengar dari anggota fanclub Ishana Balakosa. Ia paling lemah pada makanan. “Pempek, batagor, somay, otak-otak, pecel campur tahu isi, tteobokki, ramyun, odeng, dwikim, sundae, hot bar, mayak kimbap, kyeran gwaja, bungeoppang, bubur bassang, grontol, wedang tahu, glorot, sayur babanci, gulo puan…” “Stop, stop, stop! Yang terakhir-terakhir itu nggak ada di kantin kita, Ishana,” peringat Kenna. Wajah semangat Ishana langsung meredup. “Bener juga. Padahal bubur bassang, grontol, wedang tahu, glorot, sayur babanci, dan gulo puan itu makanan favoritnya Liam, lho.” “EH! Apa? Liam? Liam paling suka makanan itu? Itu makanan apa? Belum pernah dengar,” respon Kenna hiperbola. Untung mereka ada di bagian kantin yang sepi. “Mulut Liam sebenarnya punya toleransi rempah yang rendah. Itu kenapa dia lebih suka makanan kecil yang manis. Sayur babanci itu satu-satunya masakan penuh rempah yang bisa mulutnya terima. Dia lebih suka makanan yang hambar. Meski begitu toleransinya sama rasa pahit dan pedas cukup tinggi. Catat, tuh!” Kenna langsung mencatat tiap ucapan Kenna di note gawainya. Selama ini ia takut mendekati Ishana karena ia terkenal kurang ramah dan mengerikan. Tapi, ternyata tidak juga. Ia bahkan sudah melakukan yang ia inginkan. Sebelum diminta. Andai dia lebih baik gak diraguin lagi dia pasti bakal jadi cowok idaman sejuta umat. Ah, Shania nggak pernah ceritain apa pun juga soal kembarannya, sih. Aku jadi merasa kurang info. “Ishana itu… dia apa benar-benar sedekat itu dengan Liam, ya?” tanya Kenna. “Seperti yang biasa kamu lihat saja, Kenna,” jawab Ishana dengan intonasi suara datar. “Kalau begitu biarkan aku ingin bicarakan beberapa hal soal Liam. Hanya kalau Ishana berkenan tentunya,” ucap Kenna tak santai. Dari kabar burung yang santer terdengar. Ishana sendiri bukan tipe remaja yang mudah untuk dihadapi. Spesifikasi yang ia miliki untuk banyak hal kadang tak terduga dan sulit diantisipasi. Jadi, sebagai orang yang biasa saja seperti ini, tidak seistimewa dirinya tentu saja, semua orang harus menyiapkan diri berdiri di bawah kaki anak remaja lelaki itu. Tidak diragukan lagi. Ishan menjawab, “Boleh aja, kok. Tapi, mari kita tunggu makanannya datang dulu, ya.” A few minutes latter… Ishana langsung melahap makanan yang tersaji di hadapannya dengan lahap. Sebenarnya dengan toleransi massa perut yang besar. Ishana sangat ingin jadi seorang mukbanger atau tukang makan dalam porsi besar di Youtube atau i********:. Tapi, kedua orang tuanya tak akan pernah beri izin ia untuk lakoni hal semacam itu. Ishana itu dituntut untuk harus selalu tampil elegan di mana pun ia muncul di muka publik. Memakan satu baskom mie instant sendiri bukanlah tindakan yang akan orang tuanya asosiasikan sebgai tindakan yang elegan dan bermartabat. Justru sangat rakus dan seperti orang kelaparan yang sudah tiga bulan tidak pernah makan. “Padahal aku jarang lihat kamu nongol di kantin. Ternyata kamu suka makan juga ya,” komentar Kenna. Ia sendiri merasa cukup dengan hanya memesan satu buah sandwhich berukuran kecil sayur, telur, dengan keju. “Yah, kalau boleh jujur sebenarnya aku dilarang oleh dua orang tuaku bawa uang ke sekolah,” beritahu Ishana. Kenna langsung mengernyitkan dahinya. “Kenapa?” Mengingat salah satu orang tua Ishana merupakan Senior Vice President Business Services di perusahaan migas Cevlane Pacific. Itu barang tentu hal yang aneh. Apalagi kehidupannya yang tampak misqueen tukang nebeng. Jangan-jangan Ishana korban KDRT karena orang tuanya nggak mau punya anak laki-laki??!! Ah, itu nggak mungkin. “Bukan urusanmu. Udah, apa yang pengen kamu tau soal Liam?” tanya Ishana. “Akhir-akhir ini… aku merasa Liam jadi sedikit menjauh. Apa karena insiden sama Tara kemarin? Aku benar-benar khawatir Liam marah sama aku,” jawab Kenna balik tanya. “Nggak, kok. Dia bukan tipe orang yang gampang marah atau dendaman. Tenang aja,” jawab Ishana. Menyelesaikan porsi kedua makanannya. “Terus kenapa dia menjauh? Aku tau ini egois. Tapi, Liam punya lebih banyak waktu buat aku sebelumnya. Dia juga sering lama balas chat-ku.” “Emang dia siapamu, sih?” tanya Ishana datar. JLEB. Aduh, kok nyakitin banget ya pertanyaannya. “Dia seseorang yang berharga buat aku,” jawab Kenna. “Karena apa yang menimpa tangan kanannya. Liam diharuskan mengikuti kelas pematangan lanjutan dari instruktur musik kami. Untuk memastikan dia seprima sebelum tangannya cidera. Itu aja, sih,” beritahu Ishana melahap somay-nya dengan hati berbunga-bunga. “Se, Seperti itu kah?” “Concours Chopin itu lebih menitikberatkan pada pemain piano-nya, lho. Aku itu malah bisa dibilang cuma tambahan aja.” Aku nggak tau apa-apa sih soal Ishana. Tapi, dari yang kudengar. Harusnya dia bukan orang yang bisa merendah. “Liam yang harus all out di concours ini, Kenna.” “Tolong jangan halangi dia,” peringat Ishana. “Meski begitu…” balas Kenna, “aku juga akan tetap all out untuk perasaanku.” Ishana memulai suapan piring ke-enam-nya. “Terserah. Asal jangan sampai menggangguku saja.” Apa ini… yang disebut ambisi?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN