A, Apakah jiwa anak ini bahkan sehat? Apa otaknya baik-baik saja? Apa tidak ada diagnosa kelainan jiwa yang mengerikan di balik tes IQ-nya yang pasti mendapat hasil sangat memuaskan? Apa dia semacam orang saiko atau yang semacam itu? Kenapa mengerikan sekali, sih? Duh, jangan takuti aku seperti ini, dong. Padahal sekejap saja aku sempat merasa damai dan nyaman, tapi ternyata taunya orang yang seperti itu, ya. Hmm, Liam, aku harap kamu tau dengan siapa kammu sedang bersahabat saat ini karena Ishana itu sepertinya bukan seorang anak remaja yang normal seperti kamu dan aku, hiks, batin Kenna panjang lebar sampai hampir saja kehilangan Ishana yang terus berjalan.
“Ishana!”
panggil Kenna pada akhirnya. Berusaha hentikan langkah anak remaja dengan
potongan rambut curtain cut yang terasa cocok mewakili jiwa senimannya.
“Ada apa, sih?” respon Ishana dengan raut
wajah sangat terusik. Hal itu buat sebagian besar bulu kuduk Kenna meremang
seketika. Mungkin jika ia bukan seorang perempuan ia sekarang pun pasti sudah
dihajar atau dijadikan samsak pelepas stres untuk Ishana yang sepertinya punya
kontrol cukup besar pada para penghuni gedung jurusan ini. Ia pasti punya power
yang bukan main-main. Sampai semua anak lain begitu mematuhi apa yang ia
perintahkan dan inginkan.
“Kamu temenin aku ngobrol sebentar, yuk.
Akan aku traktir makanan apa pun yang kamu mau, deh,” ajak Kenna dengan wajah
berusaha tersenyum. Ia tak mau terlihat canggung saat mengatakan hal semacam
itu, tapi kalau ada di depan anak seperti Ishana juga rasanya tidak mungkin deh
kalau sampai tidak canggung atau salah tingkah. Habis keberadaan Ishana itu
auranya kadang buat salah paham. Terkadang sangat keren dan ingin sekali
dipuji. Tapi, di saat bersamaan juga terasa mengerikan sekaligus mencekam. Ia
tak ubahnya seperti seseorang yang sangat sulit untuk dipahami.
Walau memiliki jumlah uang yang bisa
membeli kantin. Ishana masih tergiur pada kata gratisan. “Ayo.”
Ж
“Kamu boleh… pesan apa saja,” ucap Kenna
menyodorkan daftar menu kantin sekolah mereka. Ia sudah dengar dari anggota
fanclub Ishana Balakosa. Ia paling lemah pada makanan.
“Pempek, batagor, somay, otak-otak, pecel
campur tahu isi, tteobokki, ramyun, odeng, dwikim, sundae, hot bar, mayak
kimbap, kyeran gwaja, bungeoppang, bubur
bassang, grontol, wedang tahu, glorot, sayur babanci, gulo puan…”
“Stop,
stop, stop! Yang terakhir-terakhir itu nggak ada di kantin kita, Ishana,”
peringat Kenna.
Wajah
semangat Ishana langsung meredup. “Bener juga. Padahal bubur bassang, grontol,
wedang tahu, glorot, sayur babanci, dan gulo puan itu makanan favoritnya Liam,
lho.”
“EH!
Apa? Liam? Liam paling suka makanan itu? Itu makanan apa? Belum pernah dengar,”
respon Kenna hiperbola. Untung mereka ada di bagian kantin yang
sepi.
“Mulut Liam sebenarnya punya toleransi
rempah yang rendah. Itu kenapa dia lebih suka makanan kecil yang manis. Sayur
babanci itu satu-satunya masakan penuh rempah yang bisa mulutnya terima. Dia
lebih suka makanan yang hambar. Meski begitu toleransinya sama rasa pahit dan
pedas cukup tinggi. Catat, tuh!”
Kenna langsung mencatat tiap ucapan Kenna
di note gawainya. Selama ini ia takut mendekati Ishana karena ia terkenal
kurang ramah dan mengerikan. Tapi, ternyata tidak juga. Ia bahkan sudah
melakukan yang ia inginkan. Sebelum diminta.
Andai
dia lebih baik gak diraguin lagi dia pasti bakal jadi cowok idaman sejuta umat.
Ah, Shania nggak pernah ceritain apa pun
juga soal kembarannya, sih. Aku jadi merasa kurang
info.
“Ishana itu… dia apa benar-benar sedekat
itu dengan Liam, ya?” tanya Kenna.
“Seperti yang biasa kamu lihat saja,
Kenna,” jawab Ishana dengan intonasi suara datar.
“Kalau begitu biarkan aku ingin bicarakan
beberapa hal soal Liam. Hanya kalau Ishana berkenan tentunya,” ucap Kenna tak
santai. Dari kabar burung yang santer terdengar. Ishana sendiri bukan tipe
remaja yang mudah untuk dihadapi. Spesifikasi yang ia miliki untuk banyak hal
kadang tak terduga dan sulit diantisipasi. Jadi, sebagai orang yang biasa saja
seperti ini, tidak seistimewa dirinya tentu saja, semua orang harus menyiapkan
diri berdiri di bawah kaki anak remaja lelaki itu. Tidak diragukan lagi.
Ishan menjawab, “Boleh aja, kok. Tapi, mari
kita tunggu makanannya datang dulu, ya.”
A few minutes latter…
Ishana
langsung melahap makanan yang tersaji di hadapannya dengan lahap. Sebenarnya
dengan toleransi massa perut yang besar. Ishana sangat ingin jadi seorang
mukbanger atau tukang makan dalam porsi besar di Youtube atau i********:. Tapi,
kedua orang tuanya tak akan pernah beri izin ia untuk lakoni hal semacam itu.
Ishana itu dituntut untuk harus selalu tampil elegan di mana pun ia muncul di
muka publik. Memakan satu baskom mie instant sendiri
bukanlah tindakan yang akan orang tuanya asosiasikan sebgai tindakan yang
elegan dan bermartabat. Justru sangat rakus dan seperti orang kelaparan yang sudah
tiga bulan tidak pernah makan.
“Padahal aku jarang lihat kamu nongol di
kantin. Ternyata kamu suka makan juga ya,” komentar Kenna. Ia sendiri merasa
cukup dengan hanya memesan satu buah sandwhich berukuran kecil sayur, telur,
dengan keju.
“Yah, kalau boleh jujur sebenarnya aku
dilarang oleh dua orang tuaku bawa uang ke sekolah,” beritahu Ishana.
Kenna langsung mengernyitkan dahinya.
“Kenapa?” Mengingat
salah satu orang tua Ishana merupakan Senior Vice President Business Services
di perusahaan migas Cevlane Pacific. Itu barang tentu hal yang aneh. Apalagi
kehidupannya yang tampak misqueen tukang nebeng.
Jangan-jangan Ishana korban KDRT karena
orang tuanya nggak mau punya anak laki-laki??!!
Ah, itu nggak mungkin.
“Bukan
urusanmu. Udah, apa yang pengen kamu tau soal Liam?” tanya Ishana.
“Akhir-akhir
ini… aku merasa Liam jadi sedikit menjauh. Apa
karena insiden sama Tara kemarin? Aku benar-benar khawatir Liam marah sama
aku,” jawab Kenna balik tanya.
“Nggak, kok. Dia bukan tipe orang yang
gampang marah atau dendaman. Tenang aja,” jawab Ishana. Menyelesaikan porsi
kedua makanannya.
“Terus kenapa dia menjauh? Aku tau ini
egois. Tapi, Liam punya lebih banyak waktu buat aku sebelumnya. Dia juga sering lama
balas chat-ku.”
“Emang
dia siapamu, sih?” tanya Ishana datar.
JLEB.
Aduh, kok nyakitin banget ya pertanyaannya. “Dia
seseorang yang berharga buat aku,” jawab Kenna.
“Karena apa yang menimpa tangan kanannya.
Liam diharuskan mengikuti kelas pematangan lanjutan dari instruktur musik kami.
Untuk memastikan dia seprima sebelum tangannya cidera. Itu aja, sih,” beritahu
Ishana melahap somay-nya dengan hati berbunga-bunga.
“Se,
Seperti itu kah?”
“Concours
Chopin itu lebih menitikberatkan pada pemain piano-nya, lho. Aku itu malah bisa
dibilang cuma tambahan aja.”
Aku nggak tau apa-apa sih soal Ishana. Tapi, dari yang kudengar. Harusnya dia bukan orang yang bisa merendah.
“Liam
yang harus all out di concours ini,
Kenna.”
“Tolong
jangan halangi dia,” peringat Ishana.
“Meski
begitu…” balas Kenna, “aku juga akan tetap all
out untuk perasaanku.”
Ishana
memulai suapan piring ke-enam-nya. “Terserah. Asal jangan
sampai menggangguku saja.”
Apa ini… yang disebut ambisi?