Suatu hari di waktu istirahat siang. Seorang diri sepasang kaki kecil Kenna melangkah anggun untuk menghampiri gedung jurusan ilmu pengetahuan sosial untuk menemui salah satu pemilik nama harum jurusan. Seorang siswa yang paling dikenal karena kiprahnya dalam mengharumkan bukan hanya nama sekolah, tapi tak berlebihan jika negeri ini juga rasanya. Seorang siswa istimewa yang tak pernah terlihat tergila-gila dengan semua pesona yang ia miliki. Menyeimbangkan diri dengan sikap yang kadang sulit dimengerti.
“Ehh, misi, minta waktunya sebentar,"
panggil Kenna, "...kelasnya si Ishana ada di mana, ya?” ia bertanya pada
dua orang siswa yang mengenakan bed tanda siswa kelas sebelas.
“Huuu, ini ya anak pindahan di jurusan
matematika ilmu pengetahuan alam yang syantik dan youtuber itu?” tanya salah
satu dari mereka dengan tampang yang entah kenapa. Apa ia sedang julid atau
bagaimana? Tapi, mengapa? Apa alasan mereka sampai merasa harus bersikap
seperti itu pada seseorang yang baru saja ditemui? Bahkan Kenna juga belum
mengonfirmasi pernyataan itu.
Anak yang lain tiba-tiba mendorong langkah
Kenna menuju spot yang tak ada banyak orang. Reflek gadis itu langsung bingung.
Kenna sedikit panik, tapi di saat sana juga ia tak tau harus bereaksi seperti
apa. Ia tak ingin terjadi masalah di sana. Ia juga tak ingin dapatkan masalah
yang tak diperlukan. Seperti, untuk apa, sih? Ia tak punya banyak waktu untuk
semua omong kosong seperti itu.
“Tenang aja ya, siapa pun nama asli kamu
sebenarnya. Kita cuma pengen ngajak ngobrol sebentar dan santai aja, kok.
Boleh, ‘kan?” tanya salah satu dari mereka dengan tampang sok polos yang
menyebalkan. Anak dengan potongan rambut buzz
cut dengan bekas piercing di telinga.
Ya
Lord, kenapa harus orang seperti mereka sih yang aku tanyain? “Nggak boleh. Soalnya aku harus segera ketemu sama Ishana,” jawab Kenna
tegas. Tak ingin eksistensinya tertekan oleh siswa tidak jelas seperti mereka
yang pasti di masa depan nanti hanya akan lahirkan tindakan tidak seperti
mental koruptor atau yang semacam itu. Benar-benar tidak penting. Tidak pantas
dicontoh dan tak punya harga diri. Memalukan.
Siswa satunya yang memiliki potongan rambut
brushed on top berkata, “Pemain biola
jelek yang sikapnya seperti kecewek-cewekan itu kan, ya. Kenapa sih banyak
banget cewek yang mencari dia? Dia tuh pasangan anehnya si anak aneh bernama
Liam itu tau.”
“Khikhikhi,” tawa temannya tidak peduli
dengan wajah minta dijambak dari muka.
“Khikhikhi,” temannya yang lain ikut
tertawa, tapi kali ini dengan gigi yang semua minta dirontokkan paksa.
“Khikhikhi,” akhirnya mereka berdua tertawa
beriringan sudah seperti kuntilakan kesurupan. Entah bagaimana juga itu
bayangannya. Yang jelas apa yang mereka lakukan benar-benar membuat seorang
gadis cantik di hadapannya merasa sangat tak nyaman. Terganggu. Kesal. Bahkan
tak berlebihan jika disebut siap baku hantam.
Benar
saja, seketika sekujur tubuh Kenna seperti membeku. Dalam kepalanya be like, pasangan aneh… nya… LIAM???!!! Minta dilenyapkan
dari muka bumi dan galaksi ini anak dua, batinnya yakin, percaya diri bisa
melempar mereka berdua walau tanpa bantuan koordinat tepat mendarat di salah
satu permukaan planet Pluto. Eh, bahkan Pluto sekarang sudah bukan
planet lagi. Tapi, bodo amat, lah!
DUAASH. Bogem mentah tiba-tiba melayang
dari bagian belakang dua siswa itu. Menjotos wajah mereka yang tak terawat
karena penuh dengan jerawat dan banyak bekasnya yang menghitam dan buat ill feel. Wajah tidak good
looking itu tidak masalah. Sama sekali tidak masalah. Kalau
dompet tidak good rekening pun tidak
masalah. Sama sekali tidak masalah. Yang paling buruk itu adalah kalau
seseorang sudah bad attitude. Kalau sudah
seperti itu mau wajahnya setampan Shah Rukh Khan pun ia pasti akan terlihat
sangat buruk secara keseluruhan. Hal itu sudah tak bisa didebat lagi. Sudah
harga mati yang tak tertandingi.
Tak menunggu waktu lama setelah wajah
mereka jadi bahan bogeman mentah seseorang itu. Kedua anak reseh tersebut tanpa
pikir panjang langsung melarikan diri ke arah perpustakaan yang ada di lorong
berlawanan.
“Ih, Ishana…” takjub Kenna dengan dua mata
yang menatap terpana. Apa yang dilakukan oleh Ishana itu sendiri terlihat sudah
seperti adegan seorang badboy ikemen atau
istilah untuk cowok keren di Jepang sekolahan yang sedang melindungi tokoh
utama perempuan di film atau dorama yang semacam itu.
Romantis
sekali, kyaaa, biasanya si heroine akan merespon
demikian. Atau tidak? Entahlah juga.
“Untung aja ada yang laporin soal hal ini,”
ucap Ishana saat raut wajahnya masih menunjukkan raut kesal bercampur dengan
puas yang sukar ditafsirkan dengan kata-kata.
“Makasih ya, Ishana. Aku nggak nyangka
kalau ternyata kamu itu sebaik ini karena mau nolongin aku,” ucap Kenna
bahagia. Ia ingin segera bersahabat dengan sahabat Liam itu juga. Tidak sabar
sekali rasanya
Pandangan yang ditunjukkan oleh sepasang sorot mata Ishana tiba-tiba berubah. “Nolongin kamu kamu bilang? Aku cuma pesan sama semua
anak jurusan ilmu pengetahuan sosial untuk kasih tau kalau ada siswa yang
pantas buat ditonjok. Mereka berdua itu awalnya anak di jurusan
matematika dan ilmu pengetahuan alam. Tapi, karena dua kali nggak naik kelas jadi dipindahin ke
jurusan ilmu pengetahuan sosial. s**l sekali jurusan yang paling aku suka ini malah
jadi seperti jurusan yang fungsinya hanya untuk menampung mereka para anak jurusan lain yang
dibuang dan dianggap tak mampu. Memang kalau dipindah ke sini lantas mereka akan jadi lebih baik gitu? Sangat tidak penting dan tidak ada prestisnya sama sekali.”
Eh?
Kenna
hanya bisa berakhir bertanya-tanya dalam hati. Menyebalkan
sekali ia yang kadung merasa sangat bahagia dan terharu itu jadi kempis lagi
semangatnya. Padahal sebaiknya dibiarkan saja. Ishana kadang tak perlu jadi
anak yang terlalu jujur juga, kok. Tidak penting sekali, sih.
“Ahh, untung saja ada mereka yang sudah buat
ulah. Rasanya jadi seperti sudah berkurang satu beban yang senantiasa ganjali hidupku hari ini,” ungkap Ishana dengan
tampang puas sambil merenggangkan beberapa otot hendak mengambil langkah ingin
menjauh dari tempat di mana Kenna berada. “Meski sayang juga sih karena mereka malah langsung kabur
begitu. Andai saja mereka melawang mungkin pelepasan stresku bisa jadi jauh
lebih banyak lagi hari ini. Aku selalu mencari anak-anak tukang buat ulah
seperti mereka untuk jadi pelampiasan dari segala macam beban yang berkecamuk dalam perasaan paling dalam.”