One Reason to All Out

1005 Kata
Suatu hari di waktu istirahat siang. Seorang diri sepasang kaki kecil Kenna melangkah anggun untuk menghampiri gedung jurusan ilmu pengetahuan sosial untuk menemui salah satu pemilik nama harum jurusan. Seorang siswa yang paling dikenal karena kiprahnya dalam mengharumkan bukan hanya nama sekolah, tapi tak berlebihan jika negeri ini juga rasanya. Seorang siswa istimewa yang tak pernah terlihat tergila-gila dengan semua pesona yang ia miliki. Menyeimbangkan diri dengan sikap yang kadang sulit dimengerti. “Ehh, misi, minta waktunya sebentar," panggil Kenna, "...kelasnya si Ishana ada di mana, ya?” ia bertanya pada dua orang siswa yang mengenakan bed tanda siswa kelas sebelas. “Huuu, ini ya anak pindahan di jurusan matematika ilmu pengetahuan alam yang syantik dan youtuber itu?” tanya salah satu dari mereka dengan tampang yang entah kenapa. Apa ia sedang julid atau bagaimana? Tapi, mengapa? Apa alasan mereka sampai merasa harus bersikap seperti itu pada seseorang yang baru saja ditemui? Bahkan Kenna juga belum mengonfirmasi pernyataan itu. Anak yang lain tiba-tiba mendorong langkah Kenna menuju spot yang tak ada banyak orang. Reflek gadis itu langsung bingung. Kenna sedikit panik, tapi di saat sana juga ia tak tau harus bereaksi seperti apa. Ia tak ingin terjadi masalah di sana. Ia juga tak ingin dapatkan masalah yang tak diperlukan. Seperti, untuk apa, sih? Ia tak punya banyak waktu untuk semua omong kosong seperti itu. “Tenang aja ya, siapa pun nama asli kamu sebenarnya. Kita cuma pengen ngajak ngobrol sebentar dan santai aja, kok. Boleh, ‘kan?” tanya salah satu dari mereka dengan tampang sok polos yang menyebalkan. Anak dengan potongan rambut buzz cut dengan bekas piercing di telinga. Ya Lord, kenapa harus orang seperti mereka sih yang aku tanyain? “Nggak boleh. Soalnya aku harus segera ketemu sama Ishana,” jawab Kenna tegas. Tak ingin eksistensinya tertekan oleh siswa tidak jelas seperti mereka yang pasti di masa depan nanti hanya akan lahirkan tindakan tidak seperti mental koruptor atau yang semacam itu. Benar-benar tidak penting. Tidak pantas dicontoh dan tak punya harga diri. Memalukan. Siswa satunya yang memiliki potongan rambut brushed on top berkata, “Pemain biola jelek yang sikapnya seperti kecewek-cewekan itu kan, ya. Kenapa sih banyak banget cewek yang mencari dia? Dia tuh pasangan anehnya si anak aneh bernama Liam itu tau.” “Khikhikhi,” tawa temannya tidak peduli dengan wajah minta dijambak dari muka. “Khikhikhi,” temannya yang lain ikut tertawa, tapi kali ini dengan gigi yang semua minta dirontokkan paksa. “Khikhikhi,” akhirnya mereka berdua tertawa beriringan sudah seperti kuntilakan kesurupan. Entah bagaimana juga itu bayangannya. Yang jelas apa yang mereka lakukan benar-benar membuat seorang gadis cantik di hadapannya merasa sangat tak nyaman. Terganggu. Kesal. Bahkan tak berlebihan jika disebut siap baku hantam. Benar saja, seketika sekujur tubuh Kenna seperti membeku. Dalam kepalanya be like, pasangan aneh… nya… LIAM???!!! Minta dilenyapkan dari muka bumi dan galaksi ini anak dua, batinnya yakin, percaya diri bisa melempar mereka berdua walau tanpa bantuan koordinat tepat mendarat di salah satu permukaan planet Pluto. Eh, bahkan Pluto sekarang sudah bukan planet lagi. Tapi, bodo amat, lah! DUAASH. Bogem mentah tiba-tiba melayang dari bagian belakang dua siswa itu. Menjotos wajah mereka yang tak terawat karena penuh dengan jerawat dan banyak bekasnya yang menghitam dan buat ill feel. Wajah tidak good looking itu tidak masalah. Sama sekali tidak masalah. Kalau dompet tidak good rekening pun tidak masalah. Sama sekali tidak masalah. Yang paling buruk itu adalah kalau seseorang sudah bad attitude. Kalau sudah seperti itu mau wajahnya setampan Shah Rukh Khan pun ia pasti akan terlihat sangat buruk secara keseluruhan. Hal itu sudah tak bisa didebat lagi. Sudah harga mati yang tak tertandingi. Tak menunggu waktu lama setelah wajah mereka jadi bahan bogeman mentah seseorang itu. Kedua anak reseh tersebut tanpa pikir panjang langsung melarikan diri ke arah perpustakaan yang ada di lorong berlawanan. “Ih, Ishana…” takjub Kenna dengan dua mata yang menatap terpana. Apa yang dilakukan oleh Ishana itu sendiri terlihat sudah seperti adegan seorang badboy ikemen atau istilah untuk cowok keren di Jepang sekolahan yang sedang melindungi tokoh utama perempuan di film atau dorama yang semacam itu. Romantis sekali, kyaaa, biasanya si heroine akan merespon demikian. Atau tidak? Entahlah juga. “Untung aja ada yang laporin soal hal ini,” ucap Ishana saat raut wajahnya masih menunjukkan raut kesal bercampur dengan puas yang sukar ditafsirkan dengan kata-kata. “Makasih ya, Ishana. Aku nggak nyangka kalau ternyata kamu itu sebaik ini karena mau nolongin aku,” ucap Kenna bahagia. Ia ingin segera bersahabat dengan sahabat Liam itu juga. Tidak sabar sekali rasanya Pandangan yang ditunjukkan oleh sepasang sorot mata Ishana tiba-tiba berubah. “Nolongin kamu kamu bilang? Aku cuma pesan sama semua anak jurusan ilmu pengetahuan sosial untuk kasih tau kalau ada siswa yang pantas buat ditonjok. Mereka berdua itu awalnya anak di jurusan matematika dan ilmu pengetahuan alam. Tapi, karena dua kali nggak naik kelas jadi dipindahin ke jurusan ilmu pengetahuan sosial. s**l sekali jurusan yang paling aku suka ini malah jadi seperti jurusan yang fungsinya hanya untuk menampung mereka para anak jurusan lain yang dibuang dan dianggap tak mampu. Memang kalau dipindah ke sini lantas mereka akan jadi lebih baik gitu? Sangat tidak penting dan tidak ada prestisnya sama sekali.” Eh? Kenna hanya bisa berakhir bertanya-tanya dalam hati. Menyebalkan sekali ia yang kadung merasa sangat bahagia dan terharu itu jadi kempis lagi semangatnya. Padahal sebaiknya dibiarkan saja. Ishana kadang tak perlu jadi anak yang terlalu jujur juga, kok. Tidak penting sekali, sih. “Ahh, untung saja ada mereka yang sudah buat ulah. Rasanya jadi seperti sudah berkurang satu beban yang senantiasa ganjali hidupku hari ini,” ungkap Ishana dengan tampang puas sambil merenggangkan beberapa otot hendak mengambil langkah ingin menjauh dari tempat di mana Kenna berada. “Meski sayang juga sih karena mereka malah langsung kabur begitu. Andai saja mereka melawang mungkin pelepasan stresku bisa jadi jauh lebih banyak lagi hari ini. Aku selalu mencari anak-anak tukang buat ulah seperti mereka untuk jadi pelampiasan dari segala macam beban yang berkecamuk dalam perasaan paling dalam.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN