Pagi Mereka

1113 Kata
Fuuuhh. Saat ini Kenna tengah merasa resah. Ia tau betul kalau Liam harus kembali meningkatkan performanya dalam bermain piano setelah insiden tak terduga yang terjadi beberapa hari lalu. Ditambah ia juga “miliki tanggung jawab”. Untuk perolehan medali di beberapa kompetisi seni dan sains yang akan sekolah ikuti. Sebagai salah satu pemenang Kompetisi Sains Nasional SMA di mata pelajaran Kimia tahun kemarin. Liam memang seorang siswa jenius dengan banyak bakat serta kemampuan yang sangat sibuk dan tak sama dengan anak lain. Itu kenapa Kenna merasa setiap kebersamaan yang terjalin di antara mereka sudah seperti mimpi indah yang tak ingin ia akhiri. Ia memang tak pernah ingin bangun dari tiap rajutan kenyataan berisi waktu yang ia habiskan bersama Liam. Hanya Liam, seorang Liam. Tak ada yang lain atau perlu dipertimbangkan. “Kira-kira hari ini bisa bareng Liam lagi gak, ya?” gadis remaja itu bertanya seraya menatap halaman depan dari jendela kamar yang terpampang di hadapan. “Yak, berangkat sekolah dulu,” ucapnya kemudian usai meneguhkan kepercayaan. Ia percaya semua tak akan sia-sia. Ia percaya semua harapan akan ada muaranya. Yah, seperti itulah hidup. Ж Sementara itu di lain tempat. Liam masih ada di dalam kamarnya sendiri. Ia tatap tubuhnya yang tengah mengenakan seragam informal SMA Nevanov Independent Strategic yang berupa gabungan dari celana panjang bahan, vest, dasi, dan blazer polos. Ia lihat foto yang diambil bersama dengan Ishana yang ada di atas meja belajar. Pikiran soal pemuda itu langsung muncul dalam kepalanya. Tidak seperti dirinya yang "terpaksa" harus jadi "jenius" agar bisa tetap mempertahankan hidup. Remaja yang miliki nama Ishana itu seperti sudah punya kemampuan otak dan tubuh yang jenius alami sejak masih berbentuk fetus. Tahun kemarin saja ia baru memenangkan penghargaan International Economics Olympiad atau IEO yang diadakan di negara Kazakhstan. Membuat Liam tanpa sadar merasa sangat kagum sekaligus ngeri. Pada pesona serta kharisma yang anak remaja itu miliki. Habis… ia seperti bisa mendapatkan apa pun di dunia. Dengan sangat mudahnya. Tak berlebihan jika diibaratkan semua akan mendarat di hadapannya walau hanya dengan satu buah jentikan jari. “Jika Ishana… pasti bisa dengan mudah mendapatkan cinta untuk Kenna juga. “Jadi, seperti itu ya wujud fisik manusia yang hidup nggak punya beban. “Huufft,” ia menghela nafas berat berusaha menutup kegalauan dengan kegalauan yang lain. Kenapa dunia harus selalu tidak adik untuk menciptakan seseorang yang begitu sempurna seperti Ishana, namun di saat yang sama bahkan berdekatan juga yang sangat tidak sempurna dan penuh kekurangan seperti dirinya. Ini sangat tidak adil. Tapi, jika dipikir lagi, memang seperti inilah cara main dunia. Cara main hidup manusia. Tak akan pernah ada keseimbangan atau keadilan di dalamnya. Sungguh nestapa. Buat sakit hati saja. Ж Di lain tempat. Ishana sendiri, anak remaja yang habis membuat seorang Liam merasa sangat iri sampai galau dalam menghadapi nasib, ternyata sendirinya pun masih terjebak dengan pergolakan yang tak terbayangkan di dalam rumahnya sendiri. Ia sangat bersyukur karena sudah jenius sejak masih berbentuk fetus. Ia nyaris tak harus melalui perjuangan berat untuk menguasai apa pun dalam hidup. Tapi, itu tak serta merta membuat segalanya jadi sederhana. Kenapa ia harus punya kembaran yang tidak sejenius dirinya???!! Tidak sebaik dirinya? Tidak semembanggakan dirinya? Tidak setara dengan dirinya yang mana hal itu hanya buat ia merasakan sakit dan kesal tidak terkira? Sungguh durjana. Buat mereka harus terus dibanding-bandingkan. Buat ia sakit hati jika harus melihat kembarannya menangis seorang diri. Dan ia… sebagai lelaki… hanya tak menemukan cara tepat untuk ungkapkan perasaan. “Haahh… enak kali ya kalau jadi cewek. Ada masalah tinggal nangis. Voila, beban auto berkurang. “Kalau cowok kan harus gelut. “Siapa lagi yang harus aku pukulin?” tanya Ishana serius seraya meremas kedua tangan di depan wajah. “ABAAANG!!!” pekik Shania gaduh dari tangga. “Aku nggak b***k, Jeng,” balas Ishana kembali tiduran di sofa. “Bang Bang Bang Tut, Shania yang cantik jelita ada PR Fisika, nih. Bantuin, dong,” pinta Shania. Merajuk di sisinya. “Kenapa nggak dari tadi malam, sih?” tanya Ishana kesal. Walau sangat malas meladeni sifat manja kembarannya. Entah kenapa Ishana tak ingin menolak pagi ini. Mungkin karena kejadian kemarin. Gadis manis itu menjawab, “Pengennya habis Maghrib kemarin nanya Abang. Ehh… terus… nanti aja… nanti aja udah… ketiduran, deh. Hehehe.” “Nih,” ucap Ishana. Menyodorkan kembali buku tulis Shania. “EH, BUSET! Ini ngisinya pakai mikir gak, nih? Kok cepet banget ngerjainnya?” takjub Shania yang "separuh" bloon melihat jawaban di setiap deret soal buku Fisika-nya. “Kenapa... Kok nggak ada penjabarannya? Nanti aku dikira ngasal. Huwaaa!” “Ahh, inilah yang buat aku benci MIPA. Asal udah tau jawabannya. Kenapa harus musingin cara? Dasar jurusan kebanyakan acara,” balas Ishana asyik mencecar. "Yhee, gak begitu juga kelesss," balas Shania sewot. Ж Saat sudah berada di dalam mobil. Shania asyik dengan beberapa buku dan alat tulisnya. Ishana asyik membaca surat Al Waqiah untuk mengawali hari. Namun, sebenarnya Shania berpikir… Sejak kemarin kayaknya Abang mulai mau berangkat ke sekolah naik mobil sama aku. Adik kembarnya yang paling cantik dan imut inih. Aku masih harus serius menyalin tulisan Ishana yang acak-acakan. Jadi sedikit lebiiihh rapi. Aku tau Ishana itu jenius. Semua jawaban dari setiap pertanyaan di dunia seolah sudah terpampang jelas dalam kepalanya. Termasuk jawaban mengenai bagaimana melunasi hutang negara dan menghentikan pemanasan global mungkin. Tapi, Ishana memiliki satu kekurangan yang sangat fatal. Dia tidak tau bagaimana cara “manusiawi” menjelaskan “mengapa” itu semua bisa terjadi. Alhasil ia tidak tau bagaimana cara meminta orang lain melakukan yang ia inginkan. Ia adalah seorang preman elit sekolah asosial yang juga sosiopat. Pikirannya yang seperti satu milenium lebih maju timbang otak homo sapiens biasa. Menghambat banyak hal dalam tumbuh kembangnya. Yang ia harap normal-normal saja. Begitulah. Dan itu bukan semacam kehidupan mudah yang ada dalam kepala orang yang melihatnya. “Bang,” panggil Shania. Ishana tak merespon. Tetap melanjutkan bacaan Al Quran-nya. “Menurut kamu Tara itu orangnya bagaimana?” tanya Shania. Ishana hanya menjawabnya dengan kedipan mata. Yang mana berarti good. “Kalau Kenna nggak mau… sama aku aja, deh. Jiwa dan raga Shania belum ada yang punya, nih,” ucap Shania. Ishana langsung menggelengkan kepalanya cepat. Yang mana berarti no way. Ia tak ingin ada kemungkinan sahabatnya untuk menjadi saudara iparnya. “Pekerjaan rumah udah selesai. Nonton Youtube-nya RioS aja, deh,” ucap Shania bahagia. Ж Tara menjadi orang pertama yang sampai di sekolah saat masih gelap. Ia tak takut pada hantu. Ia hanya menyukai suasana sekolah saat masih sepi. Saat masih kosong. Di mana ia merasa tak perlu mengharapkan atau mengkhawatirkan apa pun. Dari orang lain. “Ah, matahari terbit tadi yang paling indah bulan ini.” “Semoga semua orang selalu bahagia.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN