Ishana dan Shania

1781 Kata
Karena bangun terlalu pagi hari ini. Ishana pun inisiatif untuk memutuskan pergi ke dapur agar bisa membantu asisten rumah tangga yang bekerja untuk keluarganya menyiapkan sarapan. Sekalian pemanasan memulai hari, begitu ia pikir. “Aduh, nggak usah, Den Ishana!” hadang asisten rumah tangganya yang miliki nama Nadia. Gadis muda berkulit gelap dengan rambut lurus sepundak yang berasal dari suatu desa di pedalaman Jawa Barat itu auto meninggalkan rendaman bajunya. Ishana langsung membalas dengan senyum lembut. Senyuman yang kerap jadi buah bibir tetangga karena keindahannya yang begitu mempesona. “Udah, Mbak Nadia lanjutin aja lagi sedang melakukan apa tadi. Masakanku itu rasanya cukup enak, lho.” Gadis itu masih tampak ragu. “Nggak usah deh, Den Ishana. Lebih baik Den Ishana duduk aja di meja. Mau saya buatin kopi, s**u, atau teh?” tanya gadis itu sambil mengerinkan tangan ke pakaian. Ishana memegang pundak gadis itu dan mendorong ia kembali ke ruang cucian. “Leave it to me, okey.” “NADIA, DASAR KAMU MANUSIA TIDAK PUNYA OTAK!” tiba-tiba terdengar suara teriakan menggelegar dari arah tangga. Gadis itu langsung mengkerutkan tubuh sambil memegang roknya. “Iya, Nyonya.” “Apa yang kamu lakukan sama Ishana? Ishana, sedang apa kamu di sini?” tanya sang nyonya rumah, Letishia. Aura ibu pejabatnya yang kental seolah memenuhi langit pagi yang masih belum begitu terang. Hadehh, ini emak-emak acara muncul segala lagi. “Aku lagi pengen masak sarapan, Ma,” jawab Ishana jujur. Langsung ia hampiri putra dan asisten rumah tangganya. Ia tatap s***s wajah gadis desa yang ia anggap sok polos itu. “Bagaimana bisa kamu begitu teledor belum menyiapkan sarapan? Sampai Ishana sendiri yang ingin masak?” tanya Letishia dengan nada tinggi. “Tolong maafkan kecerobohan saya, Nyonya Letishia,” pohon Nadia dengan raut wajah sangat tidak enak. “Ma, ini aku aja yang bangun terlalu pagi dan pengen masak sambil nungguin matahari bangun. Hal begini aja kok diributin, sih?” tanya Ishana heran. Ganti ia tatap wajah putranya. Dengan tatapan mata seperti Susanna. Membuat Ishana merinding ria. “Kamu… sudah berani… membantah… Mama?” tanya Letishia balik. Langsung ditundukkan wajahnya. Glekh. Mengingat surga ada di bawah telapak kaki bunda. “Maafin aku, Ma,” pohon Ishana. “Kamu tau berapa Mama dan Papa asuransikan tangan kamu agar tetap bisa bermain musik dengan baik, HAH?” tanya Letishia. Heh, demi apa tangan gue diasuransiin. “Mboten ngertos, Ma,” jawab Ishana dalam bahasa Jawa. Ya mana ia tau juga, lah. Peduli saja tidak. “(Menyebut jumlah yang di luar nalar) USD!” teriak Letishia. “Pokoknya Mama nggak mau lagi lihat kamu memasak atau melakukan kegiatan berat sama tangan kamu yang berharga itu ya, Ishana,” peringat sang nyonya rumah. Ishana mengeluarkan senyum sejuta watt-nya. “Iya Mama yang paling aku sayang,” jawab anak remaja laki-laki itu. “Hahh, pagi-pagi sudah buat pusing. Yang seharusnya bantuin asisten rumah tangga buat ngurus rumah itu Shania. Sudah jam segini malah masih tidur itu anak. “Dasar anak tidak berguna,” celoteh tambah hina wanita dengan dandanan cetar membahana itu. Deg. Letishia kembali ke kamarnya di lantai dua. Meninggalkan Ishana dengan luka yang tak kasat mata. Bagaimanapun juga ia dan Shania adalah sepasang saudara kembar. Ada ikatan yang tak akan bisa dilihat oleh orang lain di antara mereka. Saat Shania sakit. Ishana tak bisa sepenuhnya sehat. Saat Shania dihina. Ishana tak bisa sepenuhnya menerima. “Padahal kalian udah punya aku. Kenapa sih kalian masih nggak bisa aja buat lupain aja semua kekurangan yang dia punya? “Aku harus jadi sesempurna apa lagi? “Menyebalkan sekali, sih,” ucapnya tak puas sambil meremas beberapa deret kancing di kemejanya. Ishana meninggalkan dapur. Ke ruang tamu dan menyalakan lampu. Ingin bersantai sebelum datang teman sekelas yang biasa menumpangi ke sekolah. Ia tatap lampu putih berbentuk bola di plafon ruangan. Perlahan ditutup kedua matanya. Sebenarnya aku tidak mengerti pada hubungan antara Liam dan Kenna. Setahuku selama bersahabat dengan anak itu. Liam bukanlah seorang anak remaja cowok gampangan yang mudah terpesona pada perempuan. Tidak peduli bagaimanapun perempuan itu. Ia bahkan seperti tak tertarik dan belum pernah pacaran. Jujur saja apa yang terjadi pada mereka cukup mengejutkan. Untuk aku pribadi. Tak heran banyak anak yang mengira Liam hanya aji mumpung. Karena Kenna berasal dari keluarga yang tajir melintir. Apalagi tindakan Liam yang selama ini seperti selalu mengejar Kenna. Tapi… aku masih tak bisa percaya ia secara terang-terangan mengejar perempuan. Ada yang aneh dengan hubungan mereka. Aaarrgh… buat pusing saja. Ж “BANG!” teriak Shania di depan hidung Ishana. “Astaghfirullah!” pekik Ishana kaget. Semakin kaget saat melihat matahari sudah bersinar terang. Cahayanya seolah tengah menari-nari meledeknya yang kesiangan. Langsung didirikan tubuhnya siap memisuhi teman tumpangan. “ASW#$%^&*$&$$*!!!” “Ek, Eh, sabar, Bang! Coba buka hape Abang!” pinta Shania coba menenangkan. Segera ia buka gawainya. Muncul pesan WA dari temannya yang berkata bahwa sepeda motornya dipakai abangnya. Jadi, hari ini ia akan berangkat pakai kendaraan umum. Ia meminta Ishana juga melakukan hal sama agar selamat dari penggaris kayu GPK (Guru Pengawas Keamanan). “Aku sudah bayar uang sekolah berapa juta sampai masih harus takut sama penggaris kayunya Pak Darsena?” ratap Ishana. Siap memesan ojek onlen. Emisi karbon emisi karbon sudah. Ia akan terlambat sampai nekat mempertahankan idealismenya menjaga bumi. Shania menarik bagian belakang blazer seragam sekolah Ishana. “Bang, berangkat sekolahnya sama aku aja, yuk.” “NAIK MOBIL?! UDAH JAM BERAPA INI? KAMU NGGAK TAU MACETNYA KOTA INI? SUNGGUH TERLALU!” balas Ishana langsung naik pitam. “Kan lewat tol, Bang,” balas Shania garing. “Oh, oke, ayo berangkat,” sambut Ishana setelahnya. Selama perjalanan. Shania sibuk dengan sosmed dan ghibahan paginya yang always on everywhere she is. Sementara Ishana, seperti pemuda cool pada umumnya, hanya terdiam menatap pemandangan di luar jendela mobil. “Tumben Den Ishana mau ikut sama kita,” tegur supirnya, Pak Rezeki. “Selain karena saya hampir telat. Saya baru sadar kalau tindakan cinta bumi saya selama ini sia-sia,” jawab Ishana. “Sia-sia kenapa?” tanya Pak Rezeki. “Ya habis, apa bedanya saya ikut sama Bapak atau enggak? Saya memilih nebeng temen dengan pikiran itu bisa menekan emisi karbon karena saya nggak pakai kendaraan sendiri. Tapi, bukan begitu yang dibutuhkan bumi. Yang planet ini butuhkan adalah orang-orang yang mau nggak menyakiti dia untuk kesenangannya sendiri.” “Lantas?” tanya Pak Rezeki. “Saya masih bukan siapa-siapa untuk membuat orang banyak merubah pikirannya. Mending ngikutin Bapak aja. Habis dari sekolahku Bapak bakal langsung ke kantornya Papa, ‘kan? Papa ke kantor bareng Mama. Yah, begitu juga boleh.” “Ohohoho, Den Ishana ini masih muda sekali padahal. Tapi, pemikirannya sudah sangat jauh, matang serta bijaksana sekali. Saya begitu kagum. Tuan dan Nyonya juga pasti rasakan hal yang sama,” puji Pak Rezeki. Ishana tersenyum kecil. Benci saat dirinya harus dipuji di depan adik sendiri. “Ah, tidak juga kok, Pak.” Tiba-tiba pandangan matanya menangkap hal aneh dari pergelangan tangan Shania. “Tanganmu kenapa?” tanya Ishana. “Dikencingin sama kecoa,” jawab Shania acuh tak acuh. Masih serius menghadap layar gawai. “Oh.” Ada seperti bekas luka bakar di pergelangan tangan Shania. Karena panjang lengan blazer mereka. Ishana tak bisa mengetahui lebih jauh apa yang terjadi di baliknya. Ж Sepulang sekolah. Ishana berdiri menunggu sendiri di parkiran sekolah sambil asyik bermain game gawai. “EH,” teriak seorang siswa di depannya dengan ngocolnya. Tanpa pikir panjang hendak ditinju orang yang mengganggu konsentrasinya. “ASSSS… “Eh, Tara. Ada apa?” tanya Ishana menarik tinjunya. “Tumben kamu nggak sama Liam,” tanya Tara. “Dia lagi kelas pematangan sama Bu Raicheal,” jawab Ishana. Kembali ke pertarungannya. “Bu Raicheal…” Tara memegang dagunya. “Guru alat musik ringan?” tanyanya. “Iya,” jawab Ishana pendek. “Aku nggak tau. Nggak pernah diajari sama dia. Bukan guru biasa, ya.” “Iya, lah. Dia cuma ngajar buat persiapan lomba musik kelas nasional dan internasional. Murid jelata kayak kalian pantas lah nggak kenal,” beritahu Ishana tanpa mengalihkan pandangan. “Aku ingin berterima kasih,” ucap Tara. “Sama-sama,” balas Ishana pendek. “Apa yang harus kulakukan untuk membalas kebaikanmu?” tanya Tara. Entah dengan keajaiban macam apa. Ishana yang sehari-hari hidup begitu sederhana. Bisa mengubah sepuluh juta jadi satu milyar. Hanya dalam kurang dari satu minggu. “Jilati kakiku pakai lidahmu,” jawab Ishana. Belum mengalihkan pandangan maupun konsentrasinya dari game yang ia mainkan. DBUGH. “Biar tinjuku saja yang m******t tubuhmu.” Nyaris ia jatuhkan gawainya ke tanah. “Uhugh.” “Datanglah ke rumahku. Akan kuberikan apa pun yang kau mau,” tawar Tara sebelum berjalan ke motornya. “Aku nggak butuh!” balas Ishana kesakitan. Kembali ditatap serius game-nya. “Gitu doang dipusingin sampai mau dibales segala. Dasar anak MIPA. Peritungan.” “ABAAANG!!!” pekik Shania dari mobil. Ж Sepanjang perjalanan pulang yang lumayan lengang. Ishana mengamati jalan yang mereka lewati dengan serius. “Ternyata bisa lewat sini juga, ya,” komentar Ishana. “Biasanya sih nggak lewat sini. Aku mau ke toko peralatan olahraga dulu beli perlengkapan cheers. Nggak buru-buru, ‘kan?” tanya Shania. “Nggak, kok,” jawab Ishana. “Eh, Shan,” panggil Ishana. “Kenapa?” tanya Shania merespon. “Kalau nanti kita sekalian anterin Liam pulang gimana?” tanya Ishana. Walau itu mobilnya. Karena Shania yang lebih banyak memakai. Ia merasa perlu meminta pendapat anak itu. “Emang Abang tau rumahnya di mana?” tanya Shania datar. “Bener juga. Aku nggak tau rumahnya di mana,” pikir Ishana. “Bang…” panggil Shania lagi. “Kenapa?” tanya Ishana. Melihat Shania. “Kenapa sih saat lagi berdua sama aku pun yang Abang pikirin cuma Liam…?” tanya gadis itu sambil bercucuran air mata. “Kenapa kamu sampai acara nangis segala, sih? Emangnya aku ngapain kamu?” tanya Ishana emosi. “Abang nggak ngapa-ngapain aku. Harapanku sendiri lah yang menyakiti aku. Saat Abang mau semobil sama aku pagi ini aku bahagia banget tau. Sampai nggak kerasa lagi minyak panas yang habis netesin kulitku.” “Hah?!” respon Ishana. “TAPI, lagi-lagi yang Bang Ishana pikirin tuh cuma Liam. Liam itu udah nyaris ngerebut sahabatku dari sampingku. Kenapa dia mau ngerebut abangku juga? “Nggak ada Mama… nggak ada Papa… “Lantas siapa lagi yang aku punya di dunia ini?!” tanya Shania nyaris meneteskan air mata. Saat itu air mata Shania menetes semakin deras. Ishana merasa semakin sakit. Tak tau apa yang harus ia lakukan. Hanya memandang penuh simpati. Shania bertanya, “Bang, kira-kira Abang bakal gimana kalau aku sampai mati nanti?” Ishana menjawab datar, “Mungkin... aku hanya akan melanjutkan hidup sebagai putra tunggal orang tua kita.” "..."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN