Chapter 6

974 Kata
“Bagaimana dengan proyek di Italia?” Tanya Austin pada Idris sembari membubuhkan tanda tangan pada sebuah dokumen. “Prosesnya sudah mencapai delapan puluh lima persen dan diperkirakan akan selesai bulan depan, Sir” Jawab Idris. “Bagus. Lalu bagaimana dengan pemenang tender di Shanghai?” Tanya Austin kembali. “Seperti yang Anda perkirakan, kita menang dalam tender tersebut dan pembahasan mengenai kontrak akan dilakukan minggu depan di Shanghai, Sir” Jawab Idris. “Katakan pada Charles untuk pergi ke sana” Pintah Austin. “Tapi mereka ingin bertemu dengan Anda secara langsung, Sir” Ucap Idris ragu. Austin pun melirik pada Idris dengan kepala yang tetap menghadap pada dokumen yang dipegangnya. “Mereka mengatakan bahwa jika Anda tidak hadir dalam pertemuan tersebut, mereka akan menyerahkan proyek tersebut pada yang lain, Sir” Jelas Idris. Proyek yang mereka ajukan memang lumayan besar dan pastinya akan memiliki banyak keuntungan, maka dari itu Austin bertekad untuk mendapatkan tender tersebut. Meski begitu, Austin bukanlah orang yang mudah diperintah. “Katakan pada mereka aku akan menemui mereka di sini. Jika tidak, mereka dapat memberikan proyek itu pada yang lain” Putus Austin. Lagipula ia tak akan rugi apapun jika tak mengambil proyek tersebut. “Tapi, Sir...” Ucapan Idris terpotong lantaran tatapan tajam Austin padanya. “Baik. Akan saya sampaikan, Sir” Ujar Idris kemudian berlalu dari ruangan Austin yang masih sibuk membaca dokumen-dokumen yang menumpuk di mejanya. Tak lama setelah Idris keluar, pintu ruangan Austin kembali diketuk. Kali ini pelakunya bukan Idris, melainkan Jack. “Kami telah menemukan Arnold, Sir” Lapor Jack. Austin mengeluarkan senyum smirk-nya mendengar laporan Jack. “Bawa dia ke black room” Pintah Austin. “Baik, Sir” Sahut Jack kemudian keluar dari ruangan Austin. ------- “Kak Al!” Teriak Evelyn yang baru saja turun dari tangga saat hendak ke dapur mengambil minum dan melihat Aldrich yang hendak menaiki tangga. Evelyn lantas berlari ke pelukan Aldrich yang baru saja pulang dari Roma. “Jangan berlari, Ev” Peringat Aldrich saat Evelyn memeluknya. “I miss you so bad” Bisik Evelyn. “Me too” Ujar Aldrich. Evelyn melepas pelukannya lalu mengecup pipi Aldrich singkat. “Al” Seru Macy yang datang dari arah taman. “Mom” Ujar Aldrich. “Bagaimana perjalananmu?” Tanya Macy. “Baik” Jawab Aldrich singkat. Di antara kelima Alfabet -panggilan untuk Aldrich, Byll, Conradinez, Delwyn, dan Evelyn-, hanya Aldrich yang seratus persen mewarisi sifat Will, sang ayah. Dingin, datar, tegas, dan pendiam. “Aku membawakanmu ole-ole” Ujar Aldrich pada Evelyn. “Ole-ole? Mana?” Tanya Evelyn semangat. Tanpa menjawab, Aldrich mengangkat sebuah paperbag yang lumayan besar di tangan kirinya yang langsung direbut oleh Evelyn. Saat melihat isinya, Evelyn berteriak kegirangan sembari melompat-lompat di tempatnya. Pasalnya Aldrich memberinya dua buah boneka favoritnya. “Terima kasih, Kak Al! Kau memang yang paling mengerti!” Seru Evelyn sembari memeluk Aldrich kembali. “Dasar pilih kasih” Cibir Delwyn yang baru saja kembali dari perburuan auroranya. “Biarkan saja” Sahut Evelyn kemudian memeletkan lidahnya pada saudara kembarnya itu. “Ini” Ucap Delwyn acuh sembari memberikan sebuah bingkisan pada Evelyn. “Apa ini?” Tanya Evelyn sembari membuka bingkisan tersebut. Saat terbuka, matanya sontak melebar dan mulutnya terbuka lebar membentuk huruf O. “Jadi kau berburu aurora untukku? Bukan untuk si mata dolar?” Tanya Evelyn bahagia. “Aku sudah putus dengannya, Ev” Ucap Delwyn yang membuat Evelyn memeluknya. “Pilihan yang tepat” Bisik Evelyn. ------- Tuk... Tuk... Tuk... Suara sepasang sepatu pria itu menggema di sepanjang lorong menuju sebuah pintu yang terdapat di ujung lorong. Setelah sampai di depan pintu, pria yang tak lain adalah Austin meletakkan ibu jarinya pada alat fingerprint scanner lalu menempatkan sebelah matanya di depan alat eye scan yang membuat pintu di hadapannya terbuka. Masuk ke dalam ruangan yang isinya sesuai dengan nama yang diberikan. Black Room. Dan hanya ada dua orang yang memiliki akses untuk masuk ke dalam ruangan tersebut. Yaitu Austin dan Jack, orang kepercayaannya. Di dinding ruangan tersebut diisi dengan senjata tajam dan senjata api. Sementara di tengah ruangan terdapat seseorang yang duduk di kursi dengan tubuh yang diikat dan wajah yang babak belur hingga mengeluarkan darah. Serta Jack yang berdiri di samping pria tersebut. Austin berdiri tepat dua langkah di hadapan pria tersebut yang membuat pria itu mengangkat kepalanya. “A, a,ampuni s, saya bos. A, ampuni saya. T, tolong jangan b, bunuh saya. A, ampuni s, saya” Mohon pria itu yang tak lain adalah Arnold. “Ampun?” Tanya Austin sembari menaikkan sebelah alisnya. “Ampuni saya, ampuni saya. Tolong jangan bunuh saya, jangan bunuh saya. Ampuni saya” Mohon Arnold lagi sembari menganggukan kepalanya. “Saat berkhianat, apa kau memikirkan konsekuensi perbuatanmu?” Tanya Austin yang membuat Arnold bungkam. “Kau melupakan sumpah yang kau ucapkan saat bergabung dengan The Black Hell?” Tanya Austin kembali. “I stand in this place, witnessed by the stars and the moon. Swear to live with The Black Hell. The boss moves me and I follow that move. There is no humiliation, no lies, no rebuttal, and being loyal. Committing an offense then it will lead me to death. Live for The Black Hell and die for The Black Hell” Seru Arnold. Tidak. Bukan hanya Arnold melainkan seratus orang yang berdiri di hadapan Austin dan Jack serta ribuan anggota The Black Hell yang hadir pada malam itu. Setelah sumpah diucapkan, para calon anggota baru mengiris telapak tangan mereka dengan LHR Combat, salah satu jenis belati berbahaya di dunia. Saat darah bercucuran dari telapak tangan mereka, anggota lama bersorak untuk para anggota baru yang telah resmi bergabung dengan organisasi mereka. The Black Hell. Begitulah upacara sumpah seratus anggota baru tiga tahun lalu yang hanya diadakan sekali setahun oleh The Black Hell. “Apa bekas lukamu telah hilang hingga melupakan sumpah itu?” Tanya Austin tajam yang membuat Arnold tak mampu berkutik. Karena tentu saja bekas luka itu masih ada dan tidak akan hilang untuk selamanya. “M, m, maafkan saya” Ucap Arnold. “Ssstt... Kau tahu aku benci kalimat itu” Ujar Austin. “T, tolong ampuni saya. J, jangan b, bunuh saya. Saya melakukan itu untuk kel...” Ucapan Arnold terputus lantaran Austin mengeluarkan sebuah pistol dari balik jasnya dan menodongkannya pada Arnold. “Bukankah kau mengetahui peraturannya? Peraturan untuk tidak memberiku alasan hanya untuk mengampunimu” Kecam Austin. “Ampuni saya, ampuni saya. Jangan bunuh saya, saya mohon” Ucap Arnold beberapa kali. Hanya itu yang dapat keluar dari mulutnya. “Jika kau mengingat sumpahmu, maka kalimat itu tak akan keluar dari mulutmu pengkhianat” Ucap Austin kemudian menekan pelatuk pistol yang ia pegang hingga peluru yang keluar menembus kepala Arnold dan mati di tempat. “Bereskan dia” Pintah Austin kemudian pergi dari ruangan tersebut. ------- Love you guys~
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN