MAU APA LAGI ?

2137 Kata
     Malam ini di meja makan tampak hening, hanya terdengar suara dentingan sendok dan garpu yang beradu dengan piring. Daffa tampak duduk di bagian ujung meja makan, di sisi kanan duduk Veranda yang sedang menikmati makan malam nya. Sebenar nya, Daffa masih memikirkan dengan perkataan Ve tadi. Bahwa wanita itu kembali bertemu dengan mantan suami nya. Dan itu sedikit mengganggu fikiran nya. Bukan sedikit, tapi memang sangat mengganggu dirinya. Ia gelisah, dan takut. Tidak mau kejadian masa lalu kembali terjadi. Yaitu, ia kembali kehilangan Veranda. Takut, wanita itu akan kembali memilih pria itu. Sesekali mata mereka beradu, dan Daffa hanya akan melempar senyum nya. Begitu juga Veranda. Lalu Ve akan kembali menyibukkan diri dengan makanan nya. Atau mengobrol dengan Shania, yang duduk di sebelah nya. Dalam diam, ia menghela napas berat nya. Ia menoleh pada Cio, anak laki - laki itu sedang mengaduk - ngaduk makanan nya tidak minat. Sesekali Daffa bisa melihat kalau Cio melirik pada Veranda. Ia seorang pengacara, dan tentu dengan mudah ia bisa membaca gerak - gerik Cio. Laki - laki itu seolah hendak mengatakan sesuatu. Bahkan, ia bisa melihat kalau saat ini Cio sedang memendam amarah. "Cio, " panggil Daffa dengan ramah, membuat tiga orang itu menoleh pada Daffa. "Kenapa nasi nya gak di makan ? Om perhatiin dari tadi kamu cuma ngaduk - ngaduk makanan " ujar Daffa, ia mencoba memancing supaya Cio bercerita. Cio diam sejenak, ia tidak menjawab, lalu ia menoleh pada Veranda, ibu nya. Yang juga sedang memperhatikan dengan tatapan tanya. "Ada apa, sayang ? " tanya Veranda dengan lembut. Cio menunduk sejenak, ada sebuah pemikiran dan amarah yang terpendam. Sebuah rasa sakit yang selama ini di bohongi. Tapi, ia sama sekali tidak bisa melampiaskan nya. Ia takut, menyakiti ibu nya. Walau kenyataan nya, Ibu nya lebih dulu menyakiti nya sekarang. "Gak ada, Ma. Om. Cio cuma lagi gak nafsu makan aja. Ci Shani lagi marah sama aku," jawab Cio dengan lemas dan muka cemberut. Veranda tersenyum gemas melihat Cio cemberut. "Loe apain lagi, Si Shani, loe itu iseng banget sih. Setelah puisi norak loe yang bikin gue malu punya adek kayak loe, " "Shania " tegur Daffa dengan lembut. "Abis, Om. Masa dia bikin puisi isinya bikin mual, terus di tempeli di seluruh mading di sekolah " ujar Shania mendelik apda Cio. Adik nya itu hanya ikut kembali mendelik padanya. Lalu menghela napas kasar. Sret Cio mendorong kursi nya kebelakang, lalu berdiri dari duduk nya. " Cio ke kamar duluan ya, masih ada PR " ujar nya pamit. "Iya, sayang. Jangan tidur larut ya " pesan Veranda. Cio mengangguk, dan kemudian berlalu pergi. *** Pukul sembilan malam lebih, Daffa berpamitan pulang pada Ve dan Shania. Ve mengantar Daffa ke mobil nya. "Kamu hati - hati nyetir nya " pesan Veranda, bergelayut manja di leher Daffa. Pria tampan itu mengangguk. Ia tersenyum menatap mata Veranda. Dua tangan nya merangkul pinggan Veranda. "I love you " ucap nya pelan. Membuat Veranda tersenyum. "Aku juga " kata Ve, membalas senyum Daffa dengan begitu manis. Ia bahkan sudah lupa dengan kejadian sore tadi. Dimana ia bertemu dengan mantan suami nya. Dan pulang menangis hebat. Daffa menunduk mengecup bibir ranum Veranda. Membuat Ve lagi - lagi merekah kan senyum nya. Dan membuat Daffa melumat sebentar bibir merah itu. Ve membalas sebentar, dan selanjutnya ia melepaskan pagutan nya. "Kabarin aku kalau udah sampai di rumah " Daffa mengangguk, kembali menunduk untuk mengecup bibir Ve. Ingin kembali melumat bibir Ve. Tapi, Ve menahan dadanya. " nanti di liat Shania, gih sana pulang " ujar Ve. Daffa tertawa pelan, kemudian ia mengangguk. "Yaudah, aku pulang ya. Bye sayang " ucap Daffa. Ia pun pamit, mengecup pelan kening Ve. Dan kemudian masuk kedalam mobil. Ve menunggu hingga mobil Daffa hilang, baru kemudian ia kembali masuk kedalam rumah nya. *** Cklek Veranda mendorong pintu kamar Cio dengan segelas s**u coklat di tangan nya. Ia melangkah masuk kedalam kamar putra nya. "Belum tidur ?" Tanya Ve, saat melihat Cio sedang duduk di depan meja belajar. Cio menoleh, ia menggeleng kan kepala nya. "Belum ngantuk " jawab Cio. Veranda meletakkan s**u yang di bawa nya di atas meja dekat Cio. Kemudian ia beralih duduk di tepi tempat tidur anak nya. Cio memutar kursi nya untuk menghadap sang Mama. "Om Daffa udah pulang ?" Tanya Cio. Veranda mengangguk. "Kapan Mama akan menikah sama Om Daffa ?" "Kenapa ? Kamu mau mama secepat nya menikah sama Om Daffa ?" Tanya Ve tersenyum menggoda pada anak nya. Cio hanya tersenyum kecut. Membuat Ve heran. "Ada apa Cio ?" Tanya Veranda cemas. Tidak biasanya, Cio terlihat begitu sedih dan muka muram. Ia sangat mengenal putra nya itu. "Ma, kalau aku tidak mau Mama menikah lagi dengan Om Daffa bagaimana ?" Tanya Cio dengan suara pelan. Bahkan ia tidak berani melihat mata Mama nya. "Kenapa ?" Tanya Ve heran. "Bukan nya, dulu kamu semangat banget nyuruh Mama menerima Om Daffa, kata nya kamu pengen banget Om Daffa jadi Papa kamu " lanjut Veranda heran. Cio menghela napas berat nya. Lalu menatap Mama nya dengan lirih. "Entah lah, aku menjadi tidak rela Mama menikah lagi. " "Cio kenapa? Cerita sama Mama ?. Jangan bikin Mama takut sayang " ujar Ve dengan gelisah. Cio diam, ia menunduk cukup dalam. Tidak tau harus bagaimana ia mengatakan hal ini. Ia yakin, Mama nya pasti punya alasan kenapa selama ini berbohong padanya. "Ma, orang berbohong pasti ada alasan nya kan ?" Tanya Cio dengan nada lemah dan hati - hati. Ve tidak langsung menjawab. Memilih menyelam dalam bola mata Gracio yang kembali mengingatkan nya pada sepasang bola mata pria yang dulu sangat di cintai nya. "Ma, apa alasan seseorang yang katanya sangat menyayangi kita, tiba - tiba ia berbohong ?" "Orang itu tidak mau kita terluka, itu alasan nya. Dan mungkin alasan nya, demi kebaikkan kita juga " jawab Veranda. Matanya mulai berkaca. Ia sendiri sangat sadar, ia juga selama ini telah membohongi anak nya. "Ya, Mama benar. " ucap Cio akhir nya. Ia menarik napas dalam. Lalu membuang nya dengan perlahan. Ia mulai tersenyum pada Veranda. Membuat perasaan Veranda menjadi lega. "Yaudah, Mama ke kamar dulu ya. Belajar nya jangan terlalu larut. s**u nya juga jangan lupa di minum. " pesan Ve. Ia berdiri dari duduk nya. Berjalan mendekati anak nya. "Malam sayang " lanjut nya. Di ikuti sebuah kecupan penuh kasih sayang di kening anak nya. "Malam, Ma " balas Cio, ia juga mengecup pipi sang Mama. Dan Ve pun pergi meninggalkan kamar Cio. Saat itu Cio menghela napas panjang nya. Menatap lirih pada pintu yang tertutup. "Mama, pasti punya alasan baik, kenapa berbohong pada ku, kan ?" Gumamnya dengan lirih. *** Di dalam ruangan yang remang dengan lampu kerlap - kerlip. Suara hentakkan musik yang keras. Orang - orang yang meggerakkan badan mengikuti beat musik. Aroma rokok dan alkohol sangat menyengat dalam ruangan luas berlantai dua itu. Di balik meja bar, Keynal dengan lihai sedang meracik minuman untuk semua pelanggan malam ini. Dengan muka datar tanpa ekspresi nya. Tidak sedikit wanita yang sejak tadi memperhatikan nya. Atau bahkan mengajaknya mengobrol tapi, sama sekali tidak di gubris nya. "Satu " ucap seorang wanita pada Keynal. Ia menoleh, wanita itu langsung tersenyum begitu manis pada Keynal. Tapi, Keynal sama sekali tidak membalas nya. Dan beralih meracik minuman untuk wanita itu. "Kamu tau,? Senyum kamu itu sangat di nanti - nanti oleh semua wanita di sini. Cobalah untuk sedikit tersenyum " ujarnya, kemudian meneguk minuman nya. "Aku sedang tidak ingin berbasa - basi dengan mu, Yona. Kata kan, apa yang membuat mu menghampiri ku ?" Tanya Keynal masih dengan muka datar. "Hahaha .. kau ini tidak pernah berubah " tawa Wanita bernama Yona itu. " aku ingin b******a dengan mu malam ini " lanjut Yona dengan mimik wajah serius. Keynal memandangi Yona dengan tatapan datar nya. Menyelam dalam sepasang mata wanita itu. Mencoba mencari tau apa maksud wanita itu. Mengajak nya b******a ? Yang benar saja. Fikir nya. Tapi, kepala nya mengangguk. "Oke " jawab nya. Membuat senyum Yona tercetak dengan jelas dan juga lebar. "Amora, kamar no 1234 " ucap nya, Keynal mengangguk tanpa menoleh. Dan Yona pun langsung memutuskan untuk pergi. Sedangkan Keynal, mengitari bola matanya kesekitar. Dan kembali fokus pada pekerjaan nya. *** Shania menghentikan mobil nya, tidak jauh dari halte yang tidak terlalu jauh dari sekolah nya. Ia menatap kedepan, tepat pada gerbang sebuah sekolah, yang berada tidak jauh dari sekolah Veranda. Ia seolah sedang mengamati sesuatu dari gerbang sekolah negeri itu. Memang sekolah Shania berdampingan dengan sekolah negeri. Ia mengamati nya dengan tidak sabar, hingga tidak lama kemudian, senyum di bibir nya merekah. Matanya menatap lurus pada seorang laki - laki yang baru saja keluar dari gerbang sekolah. Berjalan menuju halte. Shania tersenyum sendiri mengamati laki - laki itu. Teringat kembali dengan percakapan nya dengan dua sahabat nya tadi di kelas. "Nama nya Teuku Khalif Wahed. Anak SMA Negri 20. " ucap Lana. "Sebelah sekolah kita dong " saut Shania. Lana dan Risma mengangguk. "Yap, doi masih jomblo, dari lahir malah " sambung Risma. "Gila, cowok seganteng Khalif jomblo dari lahir, ?" "Dia jomblo bukan tidak laku, emm.. Khalif itu seperti menutup diri terhadap perempuan " ujar Lana. "Homo ?" "Enggak lah, gue gak tau alasan nya apa. Tapi, kata teman gue yang sekelas sama dia, dia ogah yang namanya pacaran. Maka nya dia jomblo " ucap Lana lagi. "Oke, terus ?" "Satu lagi, loe yakin suka sama dia? Khalif sama sekali tidak masuk dalam kriteria pacar loe lho. Dia anggota rohis di sekolah nya " "Anak alim rupa nya " gumam Shania. "Loe kan cewek manja ya, Shan. Bukan ngatain lho, itu Fakta oke. Loe punya segala nya. Semua yang loe mau pasti bakal loe dapetin. Loe orang kaya. Cucu dari Taufan Dwiki. Yang mana seorang Menteri Ke Amanan di negera kita. Otomatis loe selalu hidup dalam kemewahan. Jadi.. gue sangsi kalau loe betah sama Khalif " "Kenapa emang nya, gue gak pernah ya lihat orang dari harta. " ujar Shania mendelik. "Kita tau kok, gue cuma mau ngasih tau. Kalau Khalif itu hanya anak dari seorang petani. Di sini ia merantau berdua sama kakak laki - laki, yang juga ganteng banget " ujar Risma. "Oke, makasih informasi nya. " ucap Shania dengan begitu semangat. Shania masih memperhatikan Khalif, cowok itu menaiki sebuah metro mini. Dan Shania langsung menghidupkan mesin mobil dan melaju mengikuti metro mini tersebut. *** Veranda turun dari mobil sport biru langit nya. Siang ini ia mengenakan kaca mata hitam. Dengan penampilan kasual nya. Yaitu, kaos biru di padu dengan jaket putih, celana jins panjang, topi yang menutupi kepalanya. Ia mengitari bola matanya, menatap gedung di hadapan nya. Gedung lusuh, yang bahkan cat nya sudah mengelupas. Gedung tersebut merupakan sebuah rusun. Ia memperhatikan nya sejenak. Namun, saat melihat seseorang yang baru saja turun dari mobil sedang hitam. Ve kembali buru - buru masuk kedalam mobil nya. Ia mulai memperhatikan orang itu. Keynal dan Yona turun dari mobil itu. Ve mencengkram kuat setir mobil nya. Menatap tajam pada keduanya. Yang tampak sedang mengobrol. Ia rahang nya mengeras saat melihat Yona mengecup pipi Keynal. Tapi, Keynal dapat menghindar. Membuat Yona tertawa. Yona kembali memasuki mobil itu, dan pergi. Keynal berbalik dan melangkah menuju rusun nya. Veranda kembali keluar dari mobil nya, membuat Keynal menghentikan langkah nya. "Kamu tinggal di sini ?" Tanya Ve dengan nada angkuh. Keynal diam, ia memperhatikan Veranda dengan sarat yang membuat Ve harus menekan perasaan nya. Tapi, ia tersenyum miring. "Kamu memang cocok di tempat seperti ini. Seharus nya memang dari awal aku sadar, percaya pada Papa, kalau kita berbeda kasta. Bahkan sangat jauh " ujar Ve, melirik pada Keynal yang masih menatap nya tanpa emosi. "Aku kesini cuma mau memastikan, kalau hidup kamu memang sangat mengenaskan. Dan, ya. Aku senang akan hal itu " ujar Veranda lagi. Ia tersenyum miring, kembali masuk kedalam mobil dan pergi. Meninggalkan Keynal yang membatu. Dan menghela napas panjang nya. Ia pun memutuskan untuk masuk ke rusun nya. Selepas Keynal masuk, sebuah taksi berhenti. Dari sisi penumpang turun lelaki berseragam putih Biru. Ia memandangi gedung kumuh di hadapan nya. Dan kemudian memantap kan hati untuk melangkah. Cio, menaiki anak tangga satu persatu. Sambil sesekali bergidik ngeri dengan suasana jorok dan juga aroma yang bisa membuat nya mual. Tapi, ia terus melangkah. Hingga tiba di lantai tiga, ia berbelok ke kanan. Tersenyum ramah pada seorang pria tua yang sedang membersihkan kandang burung. Cio terus melangkah melewati beberapa pintu. Hingga tiba di pintu yang paling ujung ia berhenti. Jantung nya berdegup kencang, tangan nya yang mulai berkeringat terankat ke udara dan mengetuk pintu kumal di depan nya. Tok Tok Tok Raut muka nya terlihat cemas. Ia menunggu pintu itu di buka. Di lirik nya lagi koridor yang tampak lusuh, kotor dan sepi itu. Ia mulai cemas dalam menunggu. Cio kembali hendak mengetuk, tapi Pintu sudah lebih dulu di tarik dari dalam. Cklek Cio mematung, matanya tidak perkedip menatap sosok pria gagah dan tatapan bagai elang juga tidak kalah kaget melihat nya. Cio mundur selangkah. Keynal berdiri dengan tubuh mematung, ia kaget bahkan ia tidak lagi bisa bergerak saat melihat siapa yang berdiri di depan pintu kamar nya. "Pa.. pa ". TBC        N
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN