Sinar matahari memasuki celah gorden kamar Luciel. Mata birunya terbuka lebar, menyadari bahwa pagi telah hadir hari ini. Dia segera bangun dan menyadari bahwa malam tadi dia menginap di kediaman keluarga Cattaleya.
Luciel memanaskan ototnya berlari kecil dalam kamar. Dia merasakan ada energi baru yang memasuki tubuhnya.
"Hari ini sepertinya akan indah..."ucap Lucien yang sedang sendirian di kamarnya.
Tanpa waktu lama, Luciel mencuci mukanya. Dia memakai sepatu olahraganya dan melangkah menuju ke arah halaman belakang rumah Cattaleya yang sangat luas. Pemandangannya yang hijau membuat Luciel merasakan kesejukan yang telah lama tidak dia rasakan.
" Jadi setiap pagi kamu sering berolahraga, ya?"
Luciel menoleh ke arah belakang dimana suara itu terdengar olehnya. Werren hadir disana dengan tampilan yang sama dengannya.
"Selamat pagi, Om." ucap Luciel dengan ramah.
"Ya, pagi juga. Saya senang hari ini saya ada teman olahraga pagi."ucap Werren sambil memulai pemanasan sendiri.
"Memangnya Maddam Hannatara tidak menemani anda olahraga?" tanya Luciel untuk tetap menyambung pembicaraan.
"Dia tidak begitu menyukai olahraga pagi. Apalagi jogging, dia tidak suka. Baginya jogging itu adalah olahraga yang membosankan."
"Oh... Begitu..."ucap Luciel yang bingung melanjutkan pembicaraan lagi.
" Sejak kapan kamu dekat dengan Alley?"
Pertanyaan Werren sukses membuat Luciel sedikit keringat dingin.
"Yah, saya dekat dengan Alley sejak di sekolah dasar. Dulu saya sering menolong Alley yang sering dijahili oleh anak-anak lainnya."
"Loh? Apa sejak kecil Alley sering di bully teman-temannya?"tanya Werren penasaran.
"Bukan di bully, Om. Hanya saja, Alley itu cantik sejak masih kecil dan banyak anak laki-laki yang suka padanya. Tapi sayangnya, anak perempuan justru membencinya karena iri pada Alley. Yah, karena saya tidak suka lihat Alley yang menangis, saya membantu Alley."
"Hoo~ Jadi kamu termasuk salah satu anak yang menyukai Alley, yah?" Werren tersenyum.
"Bu-bukan gitu maksudnya..."
"Hahaha, Om paham. Kamu suka dengan Alley sejak dulu. Perasaan itu pun tetap ada hingga sekarang. Tapi, apa Alley tahu perasaanmu?"
Luciel mengangguk, "Dia tahu. Tapi dia lebih memilih Arlen ketimbang saya. Yah, saya akan tetap menyukainya."
Werren ikut bersedih mendengar ucapan Luciel, "Mengapa Alley bisa menolakmu?"
"Dia mungkin terbutakan oleh perlakuan manis Arlen saat dulu. Alley mengatakan bahwa Arlen seperti pangeran di hatinya. Saya selamanya hanya bisa menjadi teman masa kecil baginya." Arlen memandang langit biru.
"Padahal saya suka jika kamu yang menjadi menantu saya. Kamu sangat cocok dengan Alley."Werren mencoba menyemangati Luciel.
" Ah, Om bisa saja." Luciel tertawa.
"Iya, karena saya bisa melihat bahwa kamu bisa menjadi calon suami yang bisa menjadi perlindung bagi Alley."
.
.
.
.
.
"Jadi bagaimana, Rieffan?"
Arlen menemui Rieffan yang baru saja melakukan kemoterapi. Wajah Rieffan tampak pucat mendengar bahwa Alley sudah kembali pada keluarga Cattaleya.
"Kenapa dia bisa begitu? Apa anda punya masalah dengan Alley? Kenapa dia bisa kabur dengan keluarga Cattaleya?" tanya Rieffan dengan gemetar.
"Saya memperlakukan Alley dengan baik, bagaikan seorang tuan Puteri dari dunia dongeng. Tapi tampaknya dia memilih keluarga Cattaleya karena ada seseorang yang menghasutnya untuk memilih Cattaleya. Jadi, maukah anda membantu saya?"tanya Arlen sambil duduk menyilangkan kakinya.
"Saya harus apa?"
Arlen tersenyum dengan aura kegelapan miliknya, "Mudah, anda telepon saja Alley untuk menemui Ayahnya yang sedang sakit."
Rieffan merasa ada yang tidak beres dengan Arlen yang sedang menjenguk dirinya.
"Tapi, aku mau bertanya pada anda Arlen."
Arlen menaikan satu alisnya, penasaran. "Silahkan."
"Apa anda benar-benar Arlen yang mencintai Alley?"
Oke, sekarang Arlen merasa ini sedikit merepotkan. "Kenapa anda bertanya seperti itu?"
"Saya melihat anda berbeda. Apa anda adalah sosok Arlen yang sebenarnya? Apa anda selama ini bersembunyi?"
Tatapan Arlen semakin membara menatap Rieffan yang tersenyum dan senyuman itu menurut Arlen sangat menjengkelkan. Kepala Arlen mendekat pada telinga kiri Rieffan dan mulai membisikkan sesuatu.
"Bagaimana kalau aku menghabisi nyawamu sekarang?" bisik Arlen dengan penuh amarah.
Rieffan tersenyum sarkas, "Aku tidak akan takut, Tuan Arlen. Jika kau membunuhku sekarang, itu akan sangat membantu. Aku tidak perlu merasakan rasa sakit ini lagi."
"Kau!"
Grep.
Arlen mencekik leher Rieffan dengan kuat. Para pengawal yang mengawasi di depan pintu perawatan segera masuk dan membantu melepaskan cekikan Arlen.
"Tuan, hentikan. Ingat dia adalah Ayah dari Nona Alley." ucap Herjuno yang turut membantu Rieffan agar lepas dari cekikan Arlen.
Tangan Arlen semakin kuat dan Rieffan semakin kehabisan nafas. Arlen tidak peduli lagi dengan Alley, baginya Rieffan bukanlah Ayah kandung Alley. Tidak ada gunanya lagi untuk membantu Rieffan untuk pengobatan kankernya.
Dor.
Punggung Arlen terasa panas dan dirinya mulai tidak sadarkan diri.
.
.
.
.
.
Doa Alley hanya satu. Rieffan akan baik-baik saja. Tangannya terus menerus menggenggam tangan Ayah asuhnya itu. Untunglah dirinya tidak terlambat menyelamatkan Rieffan dari cekikan Arlen dengan dibantu oleh Luciel yang menembak Arlen dengan obat bius.
Disisi Alley ada Luciel yang setia mengusap punggungnya, pria itu mencoba menenangkan Alley. Dia tahu betapa Alley menyayangi Rieffan walaupun kenyataannya Rieffan dulu tapi telah menculiknya. Disudut hati Alley, Rieffan adalah sosok Ayah yang baik. Tidak ada kurangnya.
"Dimana Arlen?"tanya Alley geram.
" Dia ada diruang isolasi. Dia dijaga ketat oleh pengawalan Ibumu. Tenang saja."jawab Luciel lembut.
"Aku mau dia dipenjara atas percobaan pembunuhan dan pemerkosaan!"
Amarah Alley tidak terbendung lagi. Mengingat kesuciannya direnggut paksa oleh pria yang pernah dicintainya.
" Tenangkan dirimu, saat ini pikirkan saja tentang Ayahmu. Urusan itu biar aku dan Ibumu yang mengurusnya."Luciel mencoba menenangkan Alley lagi.
"Karena dia, aku sudah tidak suci lagi... Aku mungkin tidak akan pernah menikah, El."Alley menitikkan air matanya.
Luciel merasakan sakit hati yang dirasakan Alley. Kesucian yang dimiliki Alley telah terenggut oleh pria kejam seperti Arlen. Luciel sungguh tidak terima. Namun, jika memungkinkan...
"Aku yang akan menikahimu, Alley."
Manik mata Alley membulat, terkejut mendengar ucapan Luciel yang baru saja didengarnya.
"Hah?"
Tangan Luciel memegang kedua bahu Alley, menatap mata wanita itu dengan penuh kepastian.
"Aku... Aku yang akan menikahimu."
.
.
.
.
.
Kepalanya terasa berat. Matanya melihat sekeliling ruangan yang asing baginya. Arlen mencoba mengingat apa yang sedang terjadi dengannya dan ketika itu rasa sakit dipunggungnya terasa.
"Tuan sudah bangun?" tanya Herjuno yang menunggu di sebuah sofa diruangan itu.
"Apa yang terjadi?"tanya Arlen.
" Tuan, anda baru saja hampir menghabisi nyawa Tuan Rieffan. Namun, Tuan Luciel berhasil menggagalkan nya dengan menembakkan obat bius pada anda. " ucap Herjuno memberi penjelasan.
"Ah iya, aku sekarang mengingatnya. Si b******k Dark Arlen telah membuat ulah... Akhirnya karena obat bius itu aku bisa lepas dari jeratan si Hitam. "
"Hah? Tuan, anda sudah kembali?"Herjuno sangat senang.
" Iya, hanya saja... Tampaknya kita belum bisa bernafas lega."
"Maksud Tuan?" Herjuno bingung.
Klek.
Beberapa anggota kepolisian masuk ke dalam ruangan perawatan Arlen tanpa mengetuk pintu dahulu. Akhirnya Herjuno paham apa maksud dari perkataan Arlen.
"Selamat siang, anda kami tahan atas tuduhan percobaan pembunuhan."