8. Bersikap profesional

1610 Kata
"Kamu baik-baik saja?" Launa menoleh menatap Khavi yang fokus mengemudi dan sesekali menoleh menatapnya dengan wajah khawatir. Keduanya baru saja pulang dari mall selesai makan bersama dengan Aldric dan Adelia. Sebuah makan malam yang tidak direncana namun siapa sangka Khavi dan Launa malah bertemu dengan Aldric dan Adelia yang juga berniat makan di restoran yang sama dengan restoran tempat keduanya berada tadi. Launa pun menganggukkan kepalanya sambil tersenyum menjawab pertanyaan yang diajukan oleh kakak kesayangannya itu. "Aku baik-baik aja. Memangnya kenapa?" Khavi menghela nafas panjang. "Mas enggak tau kalau Aldric bakal kesana sama Adelia. Mas khawatir-" "Aku enggak apa-apa, Mas... Mas gak perlu khawatir. Mas Aldric sama Mbak Adel baik-baik aja jadi kenapa aku mesti enggak baik-baik aja?" Launa dengan cepat angkat suara. Khavi kembali menghela nafas panjang, "Tapi perasaan kamu sama Aldric-" "Perasaan aku sama Mas Aldric udah berubah kok, Mas. Aku baik-baik aja. Aku tetap bersikap profesional di kantor sementara di luar kantor, Aku menganggap Mas Aldric sama kayak Mas Khavi. Kalian sama-sama Masnya aku." Khavi pun memilih diam mendengarkan penjelasan Launa. Khavi menanggkap kalau saat ini Launa sedang menunjukkan bahwa dirinya baik-baik saja dan Khavi merespon dengan menganggukkan kepalanya perlahan namun meski begitu rasa khawatir yang pria itu rasakan masih belum hilang. Khavi hanya khawatir adiknya terluka. *** Febby baru saja selesai memarkirkan mobilnya. Wanita itu mematikan mesin mobilnya dan turun. Febby melangkahkan kakinya memasuki gedung rumah sakit dan tujuan pertamanya adalah ruang dokter. Namun tiba-tiba seseorang muncul tepat di sebelahnya membuat Febby spontan menoleh dan mendapati Khavi kini berada di sisinya. Pria itu melangkahkan kakinya menyamai ritme langkah kaki Febby. "Hai... Selamat Pagi..." Khavi menyapa Febby sambil tersenyum. Febby jelas terkejut dengan kehadiran Khavi dan wanita itu menganggukkan kepalanya sebagai respon sapaan dari pria itu. Febby melangkahkan kakinya menuju ruang dokter dengan tatapan lurus kedepan bertolak belakang dengan Khavi yang sesekali menatap Febby. "Kamu sudah sarapan?" Khavi memecah keheningan. Febby spontan menghentikan langkahnya mendengar pertanyaan Khavi dan menatap pria itu. Khavi yang kaget dengan apa yang Febby lakukan pun spontan ikut menghentikan langkah kakinya. Khavi memutar tubuhnya menatap Febby dengan ekspresi bingung. Bingung kenapa tiba-tiba Febby menghentikan langkahnya. "Bisakah anda bersikap normal?" Febby bertanya sambil menatap lekat Khavi. Khavi pun mengerutkan alisnya, "Apa maksud-" "Lupakan. Saya permisi." Febby kembali melanjutkan langkahnya melewati Khavi. Khavi lagi-lagi menahan lengan Febby. "Saya minta maaf untuk semua ucapan saya waktu itu. Saya-" "Bersikaplah profesional. Anda tidak perlu meminta maaf karena anda tidak salah. Ucapan anda di masa lalu memang benar. Tidak ada orang yang tidak muak diikuti oleh seseorang secara terus menerus. Saya sudah paham dan tidak ada yang perlu di bahas lagi. Saat ini anda tidak perlu meminta maaf karena yang perlu anda lakukan adalah bersikap profesional. Cukup tidak membahas masa lalu." *** Launa fokus menatap layar laptopnya sambil memperhatikan desain yang sedang dibahas oleh rekan satu teamnya. Project kali ini Launa berada satu team dengan Aaron yang juga lulusan arsitektur sama seperti dirinya. Keduanya sedang mengerjakan project penthouse pribadi milik seorang artis ternama. "Saya rasa desain ini sudah cukup. Kalian bisa mempresentasikan ini pada klien kita." Aldric angkat suara ketika Aaron selesai dengan presentasinya. Aldric menatap Aaron dan Launa secara bergantian, "Kapan kalian akan bertemu dengan klien untuk membahas desain kalian ini?" Aaron menatap ke arah Launa. "Kami sudah buat janji bertemu dengan klien di restoran milik klien di hari sabtu di jam makan siang, Pak." Launa angkat suara menjawab pertanyaan yang diajukan Aldric. Aldric menganggukkan kepalanya. Meeting berakhir. Aldric masih berbincang dengan kepala divisi desain disaat Launa masih membereskan barang-barangnya. Launa berdiri dari tempat duduknya pamit meninggalkan ruangan untuk menyusul Aaron yang sudah keluar lebih dulu. Launa berdiri menunggu lift terbuka dan saat lift terbuka Launa masuk dan menahan lift ketika Aldric memberi isyarat untuk menahan pintu lift. "Thanks, Na..." Launa menganggukan kepalanya, "Sama-sama, Pak." Pintu lift tertutup. Launa dan Aldric berdua di dalam lift dan saat Aldric hendak buka suara terkait panggilan Launa kepadanya, ponsel Launa berbunyi membuat pria itu kembali menutup mulutnya lagi karena Launa sedang menerima panggilan yang masuk ke ponsel milik wanita itu. "Ya, Raf... Iya, boleh... Papa sama Mas Khavi ada di rumah kok, nanti aku kenalin ya... Terima kasih oleh-olehnya ya Raf..." Aldric mendengarkan dengan seksama dan pria itu teringat akan pembicaraan Launa dengan Khavi kemarin saat mereka makan malam bersama. Launa membicarakan mengenai oleh-oleh yang akan wanita itu terima dari seseorang bernama Rafael dan jika mengunakan metode cocoklogi sepertinya Launa baru saja dihubungi oleh pria yang akan memberikannya oleh-oleh yang tidak lain adalah Rafael. Bukankah seharusnya Launa menerima oleh-oleh itu dari Rafael kemarin? Apa mungkin pria bernama Rafael itu tidak jadi datang kemarin? Sepertinya malam ini Aldric akan mampir ke rumah Khavi. Sudah lama Aldric tidak bertemu dengan temannya itu. *** Febby meringis. Pagi ini Febby melewatkan jam sarapannya karena ia bangun kesiangan dan sampai di rumah sakit tadi Febby harus bertemu dengan Khavi yang berhasil membuat dirinya memilih langsung menuju ruang prakteknya demi menjauh dari Khavi yang bersikap aneh. Pria itu terasa aneh dimata Febby karena sikap pria itu berbanding terbalik dengan sikap Khavi yang ia tau di masa lalu. "Dokter baik-baik aja?" Suster Ani bertanya dengan raut wajah khawatir, "Wajah dokter Febby pucat." Febby memang merasakan tubuhnya tidak baik-baik saja dan Febby yakin penyebabnya berasal dari asam lambung Febby yang naik karena Febby melewatkan jam sarapannya. Wanita itu meringis memegangi perutnya yang semakin terasa nano-nano. "Masih ada pasien di depan, Sus? Sepertinya maag saya kambuh." Suster Ani dengan cepat menganggukkan kepalanya. "Masih ada satu pasien lagi, Dok. Dokter masih sanggup ketemu pasien atau mau saya minta tolong Dokter Alby untuk back up?" Febby meringis, "Kita selesaikan dulu baru setelah itu saya akan istirahat sebentar..." Suster Ani menghela nafas sambil meringis. Febby dan Suster Ani melanjutkan pekerjaan mereka. Febby berusaha bersikap profesional dan setelah Febby selesai dengan pasien terakhirnya, suster Ani keluar meninggalkan Febby dalam ruang prakteknya seorang diri. Wanita itu merebahkan dirinya di ranjang periksa dan tidur meringkuk bak janin dalam kandungan. Sementara itu Khavi yang baru selesai memeriksa pasien terakhirnya keluar dari ruang prakteknya bersamaan dengan pasiennya dan kedua orang tuanya. Khavi melambaikan tangannya pada pasien kecilnya lalu Khavi mampir ke nurse station untuk sekedar menyapa para suster yang sudah membantunya hari ini sebelum ia meninggalkan poli. "Suster Ani enggak mau cek Dokter Febby? Sudah satu jam lebih loh, Sus..." Khavi yang mendengar ucapan Suster yang membelakanginya itu mengerutkan alisnya. "Ada apa dengan Dokter Febby?" Khavi bertanya ketika pria itu sampai di nurse station. "Dokter Febby hari ini pucat, Dok. Sepertinya beliau sakit. Tadi setelah praktek beliau minta ditinggal sendiri karena beliau mau istirahat di ruang prakteknya tapi sudah satu jam lebih Dokter Febby belum juga keluar dari ruangannya." Suster Ani menjelaskan dengan wajah khawatir. Tanpa membuang waktu Khavi memutar tubuhnya dan suster Ani dengan sigap beranjak mengikuti dokter yang baru saja menjadi lawan bicaranya. Khavi mengetuk pintu beberapa kali dan karena tidak ada jawaban akhirnya perlahan Khavi membuka pintu. Khavi masuk ke dalam ruang praktek Febby bersama dengan Suster Ani dan mereka menemukan Febby berada diatas ranjang periksa meringkuk bak janin. Khavi menyentuh tangan Febby dan tidak lama kemudian Khavi menyentuh kening Febby. "Dia demam." Khavi dengan cepat hendak menggendong Febby. Untungnya Febby sudah sempat melepas jas dokternya karena kalau tidak pasti akan terjadi kehebohan karena seorang dokter menggendong dokter lain yang pingsan. Jelas akan terjadi kehebohan yang akan menyeret nama Febby dan Khavi. "Hasil test darah Dokter Febby menunjukkan bahwa Dokter Febby terkena demam berdarah. Untuk tau sudah sampai tahap mana kita harus menunggu Dokter Febby siuman karena bisa jadi ini bukan demam hari pertamanya melihat jumlah trombositnya saat ini." *** "Kamu harusnya bisa jaga diri, Feb! Kamu ini dokter! Bagaimana bisa dokter malah dirawat di rumah sakit!" Febby menghela nafas panjang perlahan. Kenzo dengan omelannya. "Dokter juga manusia, Ken. Kami bisa sakit." Kenzo mendengus. Pria yang datang dengan pakaian kerjanya itu bukannya datang menanyakan kondisi tunangannya saat ini malah datang memarahi tunangannya. Padahal siapa pula yang mau sakit dan di rawat. "Lebih baik kamu pulang. Aku akan bilang sama Tante Reva kalau kamu yang jagain aku." Kenzo tersenyum sinis sambil duduk di sofa dalam ruang rawat inap yang ditempati oleh Febby. Kenzo menatap Febby dengan tatapan kesal, "Kamu pikir mama akan percaya begitu saja? Aku akan pulang setelah mama kesini. Mama sedang dalam perjalanan ke sini dan lebih baik kamu sekarang tidur agar mama tidak bisa mengajak kamu bicara yang akhirnya membuat aku semakin lama terjebak disini." Febby menghela nafas panjang perlahan lagi dan mengangguk. Mengikuti keinginan Kenzo akan membuat dirinya tenang karena Kenzo akan terus mengomel kalau Febby tidak mengikuti keinginan pria itu sehingga jalan terbaik untuknya saat ini adalah memejamkan matanya. Mata Febby terpejam namun kepalanya terus bekerja. Bukankah kehidupannya nanti akan sangat menyedihkan kalau ia menikah dengan pria seperti Kenzo? *** Khavi hendak menjenguk Febby namun pria itu mampir ke nurse station untuk mengetahui kondisi wanita itu. Khavi terkejut saat melihat suster Ani berada di sana. "Lho, ada suster Ani rupanya. Suster Ani baru selesai menjenguk Dokter Febby?" Khavi bertanya sambil duduk di kursi kosong yang berada di sana. Suster Ani meringis dan bercerita bahwa tadinya ia berniat menjenguk Dokter Febby namun rencananya batal karena melihat tunangan Dokter Febby masuk dan saat suster Ani mendekat terdengar bahwa pria itu sedang marah-marah pada Dokter Febby. "Suster yakin? Mungkin itu suara dari ruangan lain." Khavi dengan santai menanggapi. Suster Ani meringis, "Saya sangat yakin, Dok. Saya lihat sendiri tadi tunangan Dokter Febby marah-marah dan tadinya saya pikir rumor yang beredar itu bohong tapi ternyata rumor itu benar." Khavi yang tadinya serius membaca rekam medis milik pun mengalihkan pandangannya dan menatap suster Ani. Khavi meletakkan rekam medis milik Febby dan menatap suster Ani. "Rumor tentang dokter Febby? Memangnya ada rumor apa, Sus?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN