7. Semua orang bisa berubah

1360 Kata
Khavi memilih mengalihkan langkah kakinya menuju lobby rumah sakit setelah berpisah dengan Febby. Khavi menuju sebuah bakery yang berada di lobby rumah sakit karena Khavi merasa ia perlu membeli roti untuk sekedar mengisi perutnya yang tiba-tiba merasa lapar. Khavi masuk dan mulai memilih roti yang mana yang akan ia beli. “Selamat siang, Dokter Khavi...” Suster Fira muncul menyapa Khavi. Khavi menoleh, “Selamat siang, Suster Fira. Baru datang, Sus?” Suster Fira menganggukkan kepalanya, “Iya, Dok. Saya dapet jadwal sore menemani Dokter Alby praktek... Lho itu...” Suster Fira menjeda kalimatnya sambil menunjuk apa yang ia lihat saat ini. Suster Fira melihat seseorang yang berlari menuju lobby rumah sakit dan orang itu adalah Febby. Khavi yang baru saja selesai membeli roti pun ikut melihat apa yang Suster Fira lihat. Pria itu memperhatikan Febby yang sedang berlari menuju lobby. Wanita itu berdiri tepat bersamaan dengan sebuah mobil yang sampai di lobby rumah sakit tempat mereka bekerja. Khavi tidak mengalihkan pandangannya dari sosok Febby yang kini sedang meraih handle pintu mobil penumpang bagian belakang lalu wanita itu masuk ke dalam mobil itu. “Yang tadi itu Dokter Febby, Dok... Dokter sudah bertemu Dokter Febby? ” Khavi menganggukkan kepalanya, “Sudah, Sus. Saya sudah bertemu dengan Dokter Febby tadi di poli dan ternyata memang Dokter Febby adalah orang yang saya kenal. Dokter Febby junior saya waktu di kampus dulu.” “Astaga, dunia sesempit itu rupanya.” Khavi terkekeh dan menganggukkan kepalanya. Khavi juga tidak menyangka kalau ia akan bertemu dengan Febby lagi. Pertemuan terakhir antara dirinya dan Febby di masa lalu tidak berjalan dengan baik dan setelah hari itu Khavi tidak pernah lagi melihat sosok Febby. Walau di masa lalu ada rasa lega tapi muncul karena Febby menghilang dari hadapannya tapi Khavi juga manusia biasa yang bisa merasakan rasa bersalah karena apa yang sudah ia ucapkan pada Febby dan pertemuan kembali dengan Febby membuat Khavi sadar kalau ia memang harus minta maaf pada Febby atas apa yang ia ucapkan di masa lalu. "Dokter Febby sepertinya dijemput sama tunangannya lagi," ucap Suster Fira tanpa sadar sambil menatap mobil yang di naiki Febby pergi meninggalkan lobby rumah sakit. Khavi menatap Suster Fira karena apa yang wanita itu ucapkan. Informasi yang Suster Fira ucapkan barusan sejalan dengan informasi yang ia dengar dari Cindy. Febby sudah bertunangan. Suster Fira pamit lebih dulu dan Khavi melanjutkan langkahnya ruang dokter untuk mengambil barang miliknya. Pria itu meninggalkan rumah sakit menuju kantor tempat adiknya bekerja. Sepanjang perjalanan isi kepala Khavi dipenuhi interaksinya dengan Febby hari ini. Febby benar-benar sudah berubah. Tidak hanya penampilan wanita itu tapi juga sikap dan tingkah laku wanita itu. Febby yang dulu selalu tersenyum lebar dan berusaha mengajaknya berbicara kini bersikap sebaliknya. Khavi sadar kalau semua hal dalam dunia ini memang bisa berubah termasuk seseorang karena tidak ada satu pun hal yang pasti di dunia ini. Namun mengingat apa yang sudah terjadi di masa lalu, sikap Febby padanya di masa lalu dan membandingkannya dengan sikap Febby saat ini. Rasanya memang sudah seharusnya Khavi meminta maaf dengan benar mengenai sikap dan perkataannya di masa lalu agar rasa bersalah dihatinya menghilang dan hubungan Khavi dan Febby pun tidak canggung karena cerita masa lalu mereka. Launa masuk ke dalam mobil yang di kendarai Khavi dan langsung memasang seat belt sambil berucap, "Mas... Kita makan di mall aja boleh? Ada yang mau aku cari lagi pula Papa sama Mama lagi pergi ke rumah Opa dan Oma jadi enggak ada makanan di rumah dan aku udah laper." Khavi pun mengangguk mengikuti keinginan adiknya itu. Khavi dan Launa memang memiliki hubungan dekat. Keduanya adalah anak-anak yang beruntung memiliki orang tua Lukman dan Emily yang begitu mencintai mereka dan mendidik mereka dengan baik. Walau hubungan Khavi dan Launa pun tidak lepas dari interaksi saudara kandung yang terkadang juga berselisih namun dalam hati keduanya, Khavi dan Launa sama-sama menyayangi satu sama lain. Khavi dan Launa pergi ke mall dan makan di sebuah restoran yang dipilih oleh Launa dan saat keduanya duduk dan memilih menu keduanya bertemu dengan Aldric yang sedang bersama dengan Adelia. Khavi dan Launa jelas sama-sama kaget namun Khavi dengan cepat menatap Launa karena khawatir dengan adiknya itu. Launa memang menyukai Aldric sahabatnya itu sejak lama. Khavi tidak keberatan dengan hal itu namun Aldric hanya menganggap Launa sebagai adiknya sehingga perasaan Launa pun tidak berbalas. "Gimana kalau kita gabung aja?" Khavi menatap Launa yang kini sedang menatap kedua orang yang berdiri di dekat mereka itu dan anggukan Launa membuat Khavi pun ikut mengangguk. Khavi dan Launa akhirnya makan malam bersama dengan Aldric dan Adelia. Khavi khawatir dengan Launa yang melihat Aldric bersama dengan pasangannya namun kekhawatiran itu akhirnya hilang secara perlahan melihat Launa bersikap biasa saja dan bahkan bisa berinteraksi dengan pasangan itu. Khavi dan Launa bahkan tidak perlu waktu lama untuk bisa klik berbicara santai dengan Adelia karena wanita itu supel dan jelas mudah bergaul. Adelia memiliki pengetahuan yang luas sehingga wanita itu bisa masuk dalam pembahasan yang dibicarakan Khavi, Launa dan Aldric. Di mata orang-orang yang tidak mengetahui interaksi mereka pasti menyangka kalau keempatnya adalah teman lama. "Habis ini kalian ada acara? Gue sama Adel mau nonton. Kalian mau join juga?" Aldric berbicara sambil menatap Khavi dan Launa secara bergantian. Khavi menatap Launa menunggu jawaban adiknya namun Launa menggelengkan kepalanya sambil menatap Khavi, "Aku sudah ada janji sama Rafael, Mas..." Jawaban Launa jelas membuat Khavi mengerutkan alisnya, "Janji?" Launa mengangguk, "Rafael mau mampir untuk anterin oleh-oleh. Dia habis dinas ke luar kota dan dia mau mampir sebentar ke rumah ketemu untuk kasih oleh-oleh." Khavi melihat jam yang melingkar di tangannya dan Launa spontan merotasi bola matanya, "Dia enggak mampir mau main kok. Dia cuma mampir lewat dan kasih aja. Dia juga tau udah malam enggak enak mampir." "Wah, dia suka sama kamu tuh, Na... Cowok kalau sampai bela-belain gitu pasti dia naksir sama kamu..." Adelia angkat suara membuat Launa mendadak merona malu karena ucapan wanita itu. Launa menggendikkan bahunya namun rona malu di wajahnya karena ucapan Adelia masih jelas terlihat. Khavi berada di sana ikut dalam pembicaraan tapi Khavi juga mengamati. Launa nampak biasa-biasa saja... Apa mungkin adiknya itu sudah tidak memiliki perasaan apapun pada Aldric setelah mengetahui Aldric memiliki pasangan? *** Febby duduk diatas tempat tidurnya. Wanita itu menatap sekeliling kamarnya dan menghela nafas panjang. Febby sudah menempati kamar ini selama beberapa tahun belakangan semenjak ia kembali menyelesaikan pendidikan kedokterannya namun Febby masih merasa asing dengan ruang yang seharusnya menjadi ruangan pribadinya itu. "Feb... Mama dari tadi ketuk pintu tapi kamu enggak jawab... Kok ngelamun?" Febby tersenyum melihat mamanya yang masuk ke dalam kamarnya sambil menutup pintu. Wanita paruh baya itu memasang ekspresi Khawatir sehingga Febby tersenyum hangat sambil menggelengkan kepalanya demi menghilangkan raut khawatir yang muncul di wajah wanita yang melahirkannya itu. "Enggak ada, Ma. Cuma kepikiran soal pasien anak yang datang ke rumah sakit tadi." Delima mendekati putrinya dan duduk tepat di sebelah putrinya. Wanita paruh baya itu meraih tangan putrinya dan menggenggamnya dengan erat. "Jangan bawa pekerjaan ke rumah. Kamu harus bisa memisahkannya, Feb... Kalau kamu merasa lelah, ingat untuk ambil waktu istirahat ya, Nak..." Febby tersenyum dan mengangguki ucapan mamanya dan wanita paruh baya itu menarik Febby mendekat dan memeluk putrinya itu, "Kadang mama merasa kalau kedokteran membuat mama kehilangan kamu. Kamu berubah semenjak belajar menjadi dokter. Mama kehilangan putri kecil mama yang ceria, selalu menceritakan apapun pada mama dan selalu tersenyum lebar..." Mama Febby menjeda ucapannya untuk menghela nafas berat. "Mama senang kamu jadi dokter yang membantu banyak anak-anak tapi mama sedih karena setelah kehilangan Papa kamu, mama pun merasa kehilangan kamu. Kamu sekarang berubah..." "Semua orang akan berubah, Ma... Banyak faktor yang bisa membuat seseorang berubah." Febby menanggapi dengan kalimat yang biasa ia gunakan menjawab curahan hati mamanya tentang perubahannya. Mama Febby pun mengangguk perlahan, "Tapi perubahan dalam diri kamu terlalu drastis, Nak..." Febby akhirnya hanya diam mendengarkan curahan hati mamanya. Bukan pertama kalinya Mamanya mengatakan hal seperti ini tapi menjelaskan semuanya pada mamanya sama saja mengorek luka yang Febby miliki karena yang Mamanya tidak tau adalah bukan kedokteran yang membuat Febby berubah. Febby juga takut mamanya membencinya kalau sampai mamanya menyadari kalau karena dirinyalah yang menjadi alasan Papanya pergi meninggalkan mereka berdua untuk selama-lamanya. "Maafin Febby, Ma..."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN