"... Saya muak melihat kamu! Apa kamu tidak ada kerjaan lain selain mendatangi saya! Kamu membuat ayah kamu harus bekerja keras untuk menyekolahkan kamu ke sini jadi harusnya kamu membalasnya dengan fokus belajar! Apa yang kamu lakukan benar-benar membuat saya risih! Saya tidak menyukai anak manja seperti kamu, menyusahkan yang hanya bisa merengek memaksakan keinginan! Saya membenci kamu! Pergi jauh-jauh dari hidup saya!"
"Dokter Febby?"
Ingatan Febby mendadak terbang ke masa lalu dan panggilan kedua dari pria yang ada di hadapannya membuat Febby tanpa sadar mengeratkan genggaman tangannya pada handle pintu yang ia pegang saat ini. Khavindra Perkasa Adhitama kini berdiri di depan ruang prakteknya dan pria itu tersenyum lebar sambil mengulurkan tangannya sebagai isyarat mengajaknya berjabat tangan. Sadar akan posisi mereka saat ini dimana ada beberapa suster yang ada di sana dan jelas sedang memperhatikan interaksi mereka pun membuat Febby menghela nafas singkat sambil tersenyum formal pada pria dihadapannya. Febby pun mengulurkan tangannya dan menjabat tangan Khavi.
“Ya, sudah lama tidak bertemu Dokter Khavi. Kabar saya baik. Dokter apa kabar?” Febby berbicara dengan nada formal layaknya berbicara dengan teman sejawatnya yang lain sambil menarik tangannya setelah berjabat tangan singkat dengan Khavi.
Khavi tersenyum dan memasukkan tangannya kembali ke dalam saku jas putih yang ia kenakan. “Kabar saya juga baik. Kamu sudah selesai praktek?”
Febby menganggukkan kepalanya berbarengan dengan terdengarnya suara seorang anak kecil memanggil nama Khavi yang membuat Khavi dan Febby spontan sama-sama menoleh ke arah sumber suara. Seorang anak kecil berlari dari pintu masuk poli seorang diri menuju ke arah Khavi memeluk kaki Khavi dan tidak lama kemudian muncul Ibunya yang tergopoh-gopoh mengejar anak laki-laki itu.
“Om Dokteeerrr! Revan pulang dulu yaaa... Terima kasih stickernya Om Dokter!”
Khavi berjongkok untuk mensejajarkan tubuhnya dengan tubuh anak laki-laki yang ada di hadapannya saat ini. Khavi mengacak perlahan rambut anak laki-laki dihadapannya dengan ekspresi gemas. “Revan, lain kali jangan lari tinggalin mama kamu ya...” Khavi menjeda ucapannya untuk mengarahkan anak kecil bernama Revan yang ada dihadapannya saat ini untuk menatap ke arah lain, “Mama kamu jadi lari-lari kejar kamu. Mengerti, Revan?” Khavi menjeda kalimatnya lagi menunggu respon dari Revan dan ketika Revan menganggukkan kepalanya, Khavi pun tersenyum lebar, “Jangan lupa dengarkan ucapan mama kamu dan vitaminnya di minum, ya...”
Febby yang masih berdiri di tempatnya sedari tadi melihat interaksi Khavi dan pasien kecilnya. Tanpa Febby sadari ia tersenyum karena melihat respon dari Revan yang masih polos itu. Namun di sisi lain Febby juga baru menyadari kalau Khavi yang ada dihadapannya saat ini jauh berbeda dengan Khavi yang ia ingat di masa lalu.
Dia sudah berubah...
Febby tenggelam dalam isi kepalanya sendiri karena melihat sosok Khavi yang ada dihadapannya saat ini. Pria itu jauh lebih... ramah. Khavi lebih banyak tersenyum dan yang lebih mengejutkan adalah Khavi yang datang menemuinya lebih dulu. Dalam ingatan Febby, di masa lalu, Khavi tidak pernah mendatanginya lebih dulu dan pria itu tersenyum lebar untuk Febby seperti hari ini.
Khavi yang bersikap ramah pada orang lain pun agak aneh bagi Febby karena Khavi yang ia ingat adalah kakak kelasnya yang suka menyendiri. Ia tidak suka berinteraksi dengan orang lain dan saat pria itu merasa terganggu maka ia memilih pergi menghindari sumber gangguan itu.
“Kamu mau kembali ke ruang dokter?”
Pertanyaan Khavi berhasil membuat Febby kembali ke dunia nyata setelah sibuk dengan isi kepalanya sendiri dan wanita itu menganggukan kepalanya. Khavi sudah selesai berinteraksi dengan pasien kecilnya.
Khavi tersenyum pada Febby dan memberi isyarat pada Febby untuk berjalan lebih dulu, “Mari... Saya juga mau kembali ke ruang dokter.”
Febby menatap Khavi lekat. Ajakan pergi itu terasa aneh bagi Febby.
Di masa lalu...
Wanita itu buru-buru menghentikan pemikirannya dan tanpa sadar menghela nafas panjang perlahan. Febby melangkahkan kakinya lalu menutup pintu ruang prakteknya. Tidak lupa seperti biasa Febby berpamitan dengan para suster yang bertugas di poli anak hari itu dan selesai berpamitan Khavi dan Febby berjalan beriringan.
“Kemarin salah satu suster bilang kalau ada Dokter Febby yang juga lulusan universitas luar negeri dan aku tidak menyangka kalau Febby yang suster itu bicarakan adalah kamu...” Khavi akhirnya buka suara memecah keheningan diantara mereka.
Febby menoleh sesaat tanpa berniat menanggapi sambil tersenyum tipis. Sangat tipis hingga nyaris tidak terlihat. Ucapan Khavi barusan seakan memberi isyarat pada Febby bahwa pria itu tidak mau repot-repot mencari tahu siapa Febby yang dibicarakan padahal di era yang sudah maju ini, Khavi bisa melakukan hal yang ia lakukan tadi dengan mengecek website rumah sakit untuk memastikan apakah Febby yang suster itu bicarakan adalah dirinya atau bukan.
Ponsel Febby berbunyi dan ia dengan cepat menjauh untuk mengangkat panggilan masuk itu. Febby berbicara menerima panggilan masuk ke ponselnya dengan Khavi yang terus memperhatikan ekspresi Febby saat menerima panggilan itu. Ekspresi Febby lesu seperti tidak bersemangat.
Febby menghela nafas panjang dan menutup panggilan di ponselnya sambil kembali mendekati Khavi, “Maaf, saya harus segera pergi. Saya permisi.”
Tanpa menunggu jawaban Khavi, Febby sudah langsung beranjak tapi Khavi menahan kepergian Febby dengan memegang lengan wanita itu. Febby terkejut dan wanita itu menoleh menatap Khavi dan lengannya yang dipegang oleh pria itu secara bergantian.
"Saya minta maaf." Khavi menyampaikan apa yang ingin ia sampaikan.
Febby menatap lengannya yang di pegang oleh Khavi dan Khavi yang menyadari hal itu langsung melepaskannya. "Maaf, saya harus segera pergi."
Tidak ada jawaban dari Febby mengenai permohonan maaf yang Khavi sampaikan. Khavi bahkan belum memberi tanggapan apapun ketika Febby dengan cepat meninggalkan dirinya. Khavi menghela nafas panjang menatap punggung Febby yang sudah berlari kecil menjauh lalu menghilang dari pandangannya. “Saya benar-benar minta maaf. Kamu sudah banyak berubah dan saya senang bisa bertemu kamu lagi...”
***
Febby melepas jas miliknya dan mengambil tasnya. Febby dengan cepat melangkahkan kakinya menuju lobby rumah sakit karena ia tidak ingin Kenzo kembali mengomel karena ia belum ada di lobby rumah sakit saat mobil yang pria itu kendarai sudah sampai di lobby rumah sakit.
Febby berlari menuju lobby dengan sepatu slip on miliknya. Febby tidak pernah memakai alas kaki jenis lain selain ke rumah sakit karena Febby tidak ingin langkahnya terganggu karena ia menggunakan alas kaki yang tidak tepat. Untungnya Febby sampai bersamaan dengan mobil Kenzo yang sampai di lobby. Febby menghela nafas lega sambil membuka pintu penumpang bagian belakang, Febby masuk ke dalam mobil dimana ada Kenzo yang sudah duduk di kursi penumpang bagian belakang tepat di belakang kursi pengemudi.
Kenzo menatapnya dengan tatapan sinis dan pria itu berdecak kesal. Febby hanya mampu tersenyum kecut terpaksa menatap pria yang ada di sebelahnya saat ini.
“Ini benar-benar merepotkan. Setelah ini bilang sama mama aku kalau kamu enggak perlu dijemput-jemput seperti ini. Aku enggak ada waktu buat melakukan hal konyol seperti ini.” Kenzo berbicara dengan nada sinis.
Febby menghela nafas panjang perlahan, “Aku sudah beberapa kali bilang sama mama kamu. Kamu sendiri harus bilang kalau kamu-”
“Kamu pikir mereka akan mendengarkan aku? Untuk apa aku bicara sama mereka kalau mereka sendiri bersikeras menjodohkan kita. Aku hanya akan membuat diriku semakin berada dalam posisi sulit dan Keanu semakin menjadi anak emas. Begitu yang kamu mau?” Kenzo memotong ucapan Febby sambil menatap wanita yang duduk di sebelahnya dengan tatapan tajam.
Febby untuk kedua kalinya menghela nafas panjang perlahan dan wanita itu memilih untuk diam. Apapun yang ia katakan akan selalu salah di telinga Kenzo padahal apa yang mau ia ucapkan adalah tidak bisa hanya dirinya yang bicara dengan Tante Reva. Kenzo pun harus berbicara dengan mamanya sendiri.
Kedua orang tua mereka memang menjodohkan mereka tapi Kenzo terus mendorongnya untuk menolak tapi pria itu sendiri lebih banyak diam. Kenzo dan dirinya sama-sama menolak tapi penolakan itu lebih keras terdengar dari Febby hingga Febby lelah dan merasa lebih baik diam dari pada buka suara karena buka suara pun percuma karena suaranya tidak di dengar.
Kenzo menyuruh supir pribadinya menuju ke kediaman kedua orang tuanya dan sampai di kediaman orang tuanya. Kenzo tetap diam saat Febby sudah membuka pintu mobil. Hal ini jelas membuat Febby kebingungan, “Kamu enggak turun?”
Kenzo tidak bergeming dari tempatnya. Pria itu tidak mau repot-repot menoleh ke arah Febby dan ia memilih tetap fokus menatap tablet ditangannya. “Aku sibuk. Kamu harus bilang sama mama aku kalau kamu tidak perlu di jemput seperti ini. Pastikan tidak ada hal seperti ini lagi. Kamu benar-benar menganggu jadwalku.”
Untuk ketiga kalinya Febby kembali menghela nafas panjang dan menganggukkan kepalanya. Febby keluar dari dalam mobil dan mobil yang ditumpangi Kenzo langsung pergi meninggalkan dirinya yang ada di rumah keluarga pria itu.
Febby menundukkan kepalanya menatap ujung sepatunya sambil tersenyum kecut. Inikah gambaran yang akan terjadi kalau ia menikah dengan Kenzo? Tidak bisa mengungkapkan isi kepalanya. Hanya mampu diam dan menuruti apa yang pria itu katakan. Sepertinya terlihat menyedihkan...