Sampai di depan salah satu unit apartemen, Sheilla segera mengeluarkan access card yang dia bawa, dari dalam tasnya. Menempelkan benda tersebut pada bagian sensor. Bunyi khas dari kunci yang terbuka mengusik telinga Sheilla. Gadis itu tersenyum tipis, kemudian menoleh ke arah Jefri.
Jefri yang semula menunggu sambil men-scroll layar gawai segera memberi respon. Menggerakkan kepala seolah menyuruh Sheilla masuk lebih dulu. Dia menyimpan ponsel ke dalam saku celana sebelum akhirnya mengikuti langkah Sheilla. Tak lupa, Jefri menutup kembali pintu apartemen rapat-rapat.
“Kamu mau cari apa, sih, sebetulnya di sini?” Beberapa menit berlalu dan Jefri hanya menunggu dengan bosan. Sesekali dia melirik Sheilla yang tengah memeriksa barang-barang milik sepupunya. Laci, lemari, sampai bawah tempat tidur tidak luput dari atensi Sheilla. Jefri mendengkus, “Aku lapar, Sayang. Kamu masih belum selesai?”
Sheilla menghentikan kegiatannya. Dia menoleh ke tempat Jefri berada. Kekasihnya itu duduk di single sofa tak jauh dari ranjang tidur milik Bella. “Kamu cari makanan di dapur aja dulu, gih!”
“Emang ada?”
Sheilla menggendikkan bahu. Mendapat respon acuh tak acuh dari Sheilla, Jefri hampir berlalu meninggalkan. “Kalau gak ada makanan sama sekali, aku makan kamu aja, ya.” Jefri menyeringai, sebelah alisnya terangkat naik. Menatap Shella yang malah menggeleng-gelengkan kepala. Langkah Jefri seret mendekat ke lemari es, membuka benda setinggi satu setengah meter itu. Di dalamnya, hanya ada beberapa botol air mineral saja. Tidak ada makanan apapun, membuat Jefri kembali mendengkus. Sejurus kemudian, dia beralih ke kabinet dapur. Di sana dia menemukan sebungkus snack kentang dan wafer.
“Lumayan,” katanya sambil membawa apa yang dia temukan ke dekat Sheilla. Gadis itu baru saja keluar dari kamar Bella. “Cuma ada ini.”
Sheilla melirik sambil tertawa kecil. Dua jenis camilan dan dua botol air mineral Jefri taruh di atas meja—di ruang tengah. Sheilla mengambil satu botol air tersebut. Kerongkongannya terasa kering sebab belum terlumasi sejak dia datang ke tempat kakak sepupunya ini.
“Udah dapat yang kamu cari?” tanya Jefri. Mulutnya tidak berhenti, sibuk mengunyah makanan yang ada di tangannya. Sesekali dia menyodorkan bungkus snack itu ke arah Sheilla yang juga ikut memakannya.
“Heum ….” Sheilla berhenti sejenak. Dia memperhatikan keripik kentang di tangannya. Sejak kapan Bella ‘ngemil’ begini? Setahu Sheilla, kakak sepupunya itu amat sangat menghindari jenis makanan tersebut. Takut gendut lah, gak sehat lah, banyak banget alasan. “Tapi ini ….” Gumam Sheilla.
“Heum apa? Udah dapet ayo pulang. Mampir makan dulu tapi. Makan ini gak ngenyangin.” Jefri membuang asal bungkus plastik yang sudah kosong.
“Iya, tapi paling gak beresin dulu bekas makannya, Jef,” ujar Sheilla seraya memungut sampah di dekat kaki Jefri.
Aksi Sheilla mendapat perhatian lain dari Jefri. Atensinya jatuh ke dad* Sheilla saat gadis itu membungkuk. Jefri meneguk saliva. Tanpa berpikir dua kali, dia menarik pinggal Sheilla agar gadis itu duduk dipangkuannya.
“Eh … Apaan, sih, Jef.”
“Diam!”
Entah hanya perasaan Sheilla atau benar adanya, suara Jefri terdengar berat. “Kamu mau apa?” tanyanya gugup.
“Mau kamu.” Alis Jefri terangkat naik.
Sheilla berusaha meringsut agar bisa turun dari pangkuan Jefri. Tapi, usahanya gagal sebab tangan kekasihnya itu melingkar posesif di pinggangnya. Sheilla memalingkan wajah ketika bibir Jefri hampir menjangkau miliknya.
“Kenapa, sih, Shei?!” Jefri menggeram tertahan. Sheilla selalu saja seperti itu. Menghindar dan menolaknya.
“Jangan sekarang, ya. Aku ke sini bukan buat mesra-mesra sama kamu di apartemen kak Bella. Aku ke sini buat cari dia.” Sheilla sudah berhasil melepaskan diri.
Jefri berdecak kesal. "Padahal aku nemu ini tadi." Jefri menunjukkan kemasan alat pengaman alias k*nd*m pada Sheilla. "Kalau ini pengalaman pertama kamu ... pelan aja, Sayang, gak akan sakit, kok. Mau, ya?"
Sheilla mundur selangkah. "Nggak! Apaan kamu, tuh. Dari mana coba itu, balikin ke tempatnya, Jef."
Jefri menggeleng.
"Aku tetep gak akan mau, percuma."
"Siapa tau kamu nanti berubah pikiran, kan, lumayan ini." Jefri memasukkan lagi benda yang semula dia pegang ke dalam saku celana.
"Ih!" Sheilla bergidik sambil hendak berlalu. Tapi, tangannya kembali Jefri cekal.
“Kiss aja, Beiby, please.”
Sheilla mengembus napas pelan. Dia mendekat lagi sambil memaksakan senyumnya. Sejurus kemudian bibirnya dia tempelkan ke pipi Jefri. “Dah, ya.”
“Sayang! Bukan di sini.” Jefri menunjuk pipinya sendiri, tapi percuma, Sheilla sudah beranjak meninggalkannya yang masih mematung di samping sofa.
***
"Nona Sheilla masih di dalam, Tuan." Suara dari seberang sambungan membuat Narendra menggeram tertahan. Itu sebab dia tahu Sheilla di apartemen bersama seorang laki-laki. Jefri, nama itu lolos dari bibir Sheilla kemarin—seusai Narendra mengucap ijab kabul dan dia resmi jadi suaminya. "Terus awasi mereka!" Perintahnya kemudian menutup panggilan.
Narendra menghempas punggung ke sandaran kursi rodanya. Dia terus mengumpat. "Jangan kecewakan saya, SHEILLA!" Narendra bangkit. Emosi yang semula dia tahan-tahan, meluap juga. Narendra menendang kursi roda hingga benda tersebut sukses menghantam tembok. Sakit di kakinya tak dia idahkan.
Narendra masih berusaha mengatur tempo napasnya. Berulang dia embuskan karbondioksida dari mulut. Berharap dengan seperti itu, irama jantungnya kembali normal.
Narendra tentu tidak bodoh untuk berspelukasi apa yang terjadi di dalam sebuah ruangan dengan dua sejoli. Membayangkannya membuat darah dia mendidih. "Sheilla," lirihnya. Narendra menatap layar, foto gadis itu di sana.
Tak berselang lama, notifikasi muncul digawai Narendra. Sebuah video dikirim anak buahnya yang mengawasi Sheilla. Segera dia buka gambar berdurasi kurang dari 10 menit itu. Sheilla tampak keluar lebih dulu, kemudian Jefri menahan tangan gadis itu di ambang pintu.
Sheilla tampak menggelengkan kepala, bibirnya bergerak seolah mengatakan 'tidak'. Narendra masih memperhatikan. Sekali lagi, dia tidak bodoh untuk bisa melihat ekspresi pemuda yang sedang bersama Sheilla itu. Jefri terlihat menahan hasrat yang mendalam terhadap istri Narendra.
"Ber*ngsek!"
Video masih memutar. Sheilla diikuti Jefri berjalan melewati kamera—yang entah bagaimana anak buah Narendra mengambil gambar itu. Pastinya, dari sudut yang paling pas.
"Jangan-jangan kamu sama si Narendra itu udah, iya, kan, Shei?! Makanya kamu nolak aku." Suara Jefri berbaur dengan bunyi sepatu, seiring keduanya melangkah. Narendra bisa mendengarnya cukup jelas.
Sebelum pintu lift terbuka, Sheilla menoleh. "Kamu sungguh berpikir seperti itu?" Dia menggeleng tidak percaya. "Kamu tahu aku seperti apa, bukan? Apa kamu pikir aku segampangan itu?"
"Ya, terus kenapa kamu gak mau ... sama aku."
"Jef ...." Cepat Sheilla menyambar ucapan kekasihnya itu. "Ayolah, cinta gak harus diekspresikan lewat sentuhan." Dia hampir putus asa sebab harus selalu menjelaskan ini pada Jefri.
"Atau kamu memang jatuh cinta sama si Narendra si*lan itu, iya, kan?"
"Kamu lupa? Atau harus aku ingatkan. Aku sama Kak Naren sah secara hukum maupun agama. Kalau aku memang seperti yang kamu tuduhkan, aku gak akan repot-repot cari Kak Bella kayak gini, Jefri. Tinggal aku nikmati posisiku sekarang." Sheilla hampir menangis akibat menahan segala kegondokkan terhadap laki-laki di hadapannya itu. Tapi, pantaskah Narendra kecewa, sebab Sheilla sama sekali tidak menganggapnya apa pun?
"Oke! Sorry. Aku ... terlalu takut kehilangan kamu, Sayang," lirih Jefri. Bersamaan dengan kalimat pemuda itu, pintu kabin lift yang hendak Sheilla naiki terbuka.
Video berakhir. Narendra menggenggam erat ponsel ditangannya. Dalam keadaan marah pun, Sheilla masih menyebutkan namanya dengan sopan. 'Kak Naren'. Bolehkah Narendra bangga terhadap gadis itu?
***
Mampir makan siang, kemudian pulang. Sheilla tidak tahu apakah tempat tinggalnya sekarang pantas dia sebut rumah? Meskipun besar, semua fasilitas tersedia, nyatanya, Sheilla tetap saja tidak merasakan bahagia. Baru satu malam di rumah Narendra, seperti satu tahun lamanya.
Sheilla lantas meminta Jefri mengantarkannya ke rumah Wira terlebih dahulu. “Takut banget aku tahu rumah suami kamu, Shei.” Komentar sinis Jefri begitu tiba tadi. Sheilla sudah berada di kamar, tidur di ranjangnya yang terasa nyaman.
“Aku mau di sini aja, please!” Sheilla mengeratkan pelukan pada bantal guling yang biasa menemaninya tidur. “Oh, iya.”
Teringat sesuatu, Sheilla segera merogoh ponsel di saku jeansnya. Beberapa foto sempat Sheilla ambil tadi di apartemen Bella. Foto kemeja laki-laki, parfum, sampai sandal rumahan pun milik laki-laki. “Semua ini punya siapa, ya? Kak Naren?” gumam Sheilla, bertanya pada angin lalu. Dia mengembus napas Lelah. Lelah menghadapi takdir konyol yang menimpanya.
Sebuah ketukan pada daun pintu mengalihkan atensi Sheilla. Buru-buru dia menyimpan gawainya, kali ini dia masukkan benda pipih itu ke dalam tas. Sheilla beranjak membuka benda akses keluar masuk itu. Dilihatnya, Alma sudah berdiri di depan sana sambil melipat kedua tangan di atas perut.
“Tante ….” Sheilla mengulurkan tangan hendak menyalami. Tapi, tanpa dia duga, Alma justru menepisnya. Alma merangsek masuk ke dalam kamar yang Sheilla tempati. “Tadi … waktu Sheilla datang, kata bibi … Tante gak ada di rumah. Jadi Shei … langsung ke sini,” ujarnya sambil mengekor di belakang Alma.
“Harusnya kamu kalau mau ke sini, bilang-bilang dulu. Sekarang kamu sudah bukan anggota rumah ini lagi. Gak baik datang ke rumah orang seenaknya. Seperti yang kamu lakukan tadi pagi dan saat ini.”
Mendengar ucapan Alma, Sheilla seketika membeku. Dia seolah tidak percaya dengan pendengarannya sendiri.
“Kenapa? Kamu tidak suka?” tanya Alma. Tanpa menunggu reaksi Sheilla, wanita paruh abad itu sudah membuka lemari. “Saya tahu kamu gak bawa baju banyak kemarin. Alasannya apa, yang pasti kamu akan tinggal di sana dan seharusnya bersikaplah selayaknya orang pindah tempat tinggal. Kosongkan lemari ini.” Alma mengeluarkan baju-baju Sheilla. Dilemparkannya ke hadapan Sheilla yang membuat gadis itu kian ternganga.
Tidak percaya dengan apa yang dilihatnya, Sheilla masih berusaha mencerna. “Tante ….”
“Bawa semua ini. Kemasi dan cepat pulang sebelum Wira datang. Satu lagi … saya gak mau anak bulu kamu masih berkeliaran di rumah ini. Bawa sekalian!”
Kemarin, Sheilla masih syok. Dia bukan sengaja melupakan kucing putih kesayangannya. Anabul yang dipeliharanya sejak 5 bulan terakhir. Setelah mengemasi pakaiannya, Sheilla segera keluar kamar menuju ruang belakang rumah. Dia menanyakan keberadaan Chiko—kucingnya—pada bibi ART.