"Shei ... Sheilla." Panggilan Dina menghentikan langkah Sheilla yang baru saja tiba. Sheilla masuk lewat pintu samping menuju baseman. Niat hati hendak langsung naik ke lantai atas melalui kendaraan vertikal pun urung.
Koper dan kandang kucing yang semula Sheilla bawa, disimpan asal di sisi lorong menuju ruang tengah. Dina berdiri di sana melihat ke arahnya. "Ya, Mbak?"
"Kamu baru pulang kuliah?" tanya Dina begitu Sheilla sudah mendekat. "Itu apa?"
"Eum ... Shei, tadi ke rumah Om Wira dulu."
"Baju-baju kamu?"
"Iya, Mbak. Kemarin cuma bawa sedikit. Sama sekalian jemput Chiko," terang Sheilla. Dia menengok kanan-kiri. Tapi keadaan rumah sepi. Hanya ada sayup-sayup dari dapur disusul suara berdentang. Sepertinya bibi ART sedang masak.
Dina menarik kursi di meja makan. Untuk Sheilla dan untuk dirinya sendiri. "Chiko siapa?"
"Kucing aku, Mbak."
"Owh ... hah? Ku-kucing?"
Melihat Dina terkejut, Sheilla yang baru saja hendak mendaratkan b****g pun tidak jadi. "Iya, kucing. Kenapa, Mbak?"
"Aduh. Mama gak suka, Shei. Dia bisa bersin-bersin kalo ada kucing. Ditambah Narendra ...."
Sheilla yang lelah, bukan hanya karena baru datang, tapi juga karena masih belum bisa menerima bahwa dirinya baru saja diusir sang tante, jadi makin lemas mendengar penuturan kakak iparnya. "Terus gimana, dong? Kak Naren memangnya alergi bulu kucing juga, Mbak?"
"Naren, sih, nggak. Tapi ... dia itu tipe yang apa-apa harus bersih. Kalau ada kucing begini, mbak gak tau, deh, dia bakal mempermasalahkan atau nggak." Dina menjelaskan. Setahu dia, Narendra memang tidak memiliki alergi seperti mamanya. Tapi, adiknya itu cenderung tidak suka barang-barangnya disentuh orang lain. Dhara yang notabene keponakannya Narendra saja tidak pernah diijinkan apalagi ... seekor kucing.
"Anggota rumah ini gak ada yang pernah masuk kamar Narendra sejak dia pindah ke lantai paling atas. Kecuali, asisten dan ART di sini. Juga, tentu aja ... kamu."
Cukup lama Sheilla terdiam setelah mendengarkan penjelasan Dina mengenai Narendra. Dia menghela napas sebelum kembali bersuara. "Kalau Kak Naren gak suka sama kucingku ... aku boleh nempatin kamar lain gak di lantai atas?" Sheilla rasa itu lebih baik, jika diijinkan, dia bisa sekalian keluar dari ruang pribadi suaminya yang katanya steril dan anti dijamah orang lain itu.
"Kamu bawa aja dulu. Siapa tau Narendra gak masalah."
Kalau kenyataannya seperti yang dikatakan Dina. Bahwa tidak ada orang lain yang berani masuk ke kamar Narendra, lalu Bella juga tidak pernah? Batin Sheilla. Pertanyaan itu hanya terlintas di kepala. Sheilla tidak berkeinginan melontarkannya.
"Iya, Mbak," jawab Sheilla singkat. Dia lantas berdiri, hendak beranjak dari tempatnya.
Namun, baru saja Sheilla mengayunkan kaki, Dina kembali menginterupsi. "Mbak lupa, ini ...." Kakak perempuan Narendra itu mengangsurkan sebuah amplop besar berwarna coklat yang sebetulnya sudah Sheilla lihat sejak dia menghampiri. Mungkin, Dina memanggilnya tadi untuk memberikan benda tersebut. Hanya saja, sempat tertunda oleh pembahasan anak bulu.
"Apa ini, Mbak?"
"Itu ... kemarin mbak lupa kasih ke kamu atau Naren. Dari petugas KUA. Buku nikah kalian," ucap Dina yang seketika membuat Sheilla bergeming.
"Bu-buku nikah?"
***
Sheilla membuka amplop coklat yang diberikan Dina. Dua buah buku kecil dengan dua warna yang berbeda. Sheilla membukanya sebelum masuk ke kamar Narendra.
"Namaku?"
"Foto ...."
Sheilla tertegun. Bagaimana mungkin nama serta foto semua sudah identitas dirinya? Padahal pernikahan mereka saja tiba-tiba.
'Jangan lupa kalau aku dan Kak Naren sah secara hukum maupun agama'.
Ucapan Sheilla pada Jefri di apartemen tadi kembali terngiang. "Aku sendiri mengatakan itu tidak yakin. Tapi ini?" Sheilla menampar deretan namanya di atas kertas putih dengan tidak percaya. Dia pun lantas membuka pintu tanpa mengetuknya terlebih dahulu.
"Kak Naren sengaja, ya, rencanain semua ini?" sentaknya pada pria yang tengah duduk di kursi roda sambil membaca sebuah buku.
Narendra hanya mengalihkan pandangan dari apa yang ada di tangannya sejenak. Dia kembali fokus tanpa sepatah pun keluar dari mulutnya.
"Jawab aku, Kak? Kakak sengaja jebak aku supaya aku yang Kakak nikahi bukannya Bella. Apa-apaan ini? Kita nikah dadakan, tapi nama sampai foto semua aku. Kakak sengaja mau hancurin masa depan aku, iya?!"
Bukan menjawab, Narendra justru terus membuka halaman demi halaman pada buku bacaannya.
"KAK!" Sheilla berteriak sambil menahan tangis. Kesal, marah, sedih, bercampur jadi satu.
Narendra mendesah pelan. Menutup buku serta melepas kaca mata yang semula bertengger di hidung mancungnya. "Apa?" tanyanya singkat.
Sheilla melempar buku nikah ke pangkuan Narendra. Tanpa menunggu reaksi pria yang menikahinya itu, Sheilla kembali ke arah pintu. Mengambil koper dan kucing yang dia tinggalkan di sana.
Narendra memperhatikan Sheilla dan semua barang bawaannya tanpa bertanya.
"Aku masih harus tinggal di kamar ini, bukan? Aku harap segera tau di mana Kak Bella. Aku muak dengan semua ini, tau, gak?" Cerocos Sheilla. "Aku bawa anggota baru. Jangan keberatan! Atau bagus supaya aku gak harus di sini."
"Chiko, ya?"
Tanpa Sheilla duga, Narendra justru memanggil kucing kesayangannya berulang-ulang.
"Kok ...." Sheilla menepuk jidat. Jelas Narendra tahu kucingnya. Pria yang menikahinya itu bukan pria—yang betul-betul—asing yang tidak tahu apa-apa tentang Sheilla. Sheilla lupa kalau Narendra sering datang ke rumahnya—rumah Wira. Karena statusnya tunangan Bella. Sheilla memejamkan mata, meredam segala emosi yang sempat memuncak. Bagaimana mungkin dia merasa Narendra orang lain? Padahal, setiap pria itu datang menemui kakak sepupunya, Sheilla tidak pernah sampai tidak ikut mengobrol, atau sekadar menyapa.
***
Narendra menyimpan dua buku berwarna hijau tua dan merah pekat itu di atas nakas tanpa berniat memeriksa. Dia memutar roda pada kursinya, mendekat pada Sheilla. Gadis yang sedang mengelus bulu lembut Chiko itu mendongak.
"Chiko di sini aja, gak apa-apa. Pastikan jangan sampai dia turun."
"Tapi ... beneran gak apa-apa?"
Ada sebersit rasa tidak enak sebab Sheilla tadi marah-marah pada pria yang kini tengah menatapnya. Narendra mengangguk. Senyum tipis terukir di bibirnya.
"Dia gak pup sembarangan, kan?" Narendra turut mengusap kepala Chiko.
"Eum ... biasanya, sih, enggak," jawab Sheilla ragu. "Ada tempatnya khusus buat buang air, semoga, sih, Chiko ngerti seperti saat di rumah om Wira."
"Ya, sudah. Kamu mandi, gih. Jangan pegang Chiko lagi setelahnya. Pastikan gak ada bulu dia yang menempel di baju kamu sebelum turun makan malam."
Narendra hampir berlalu sebelum akhirnya Sheilla kembali memanggil. "Kak ...."
"Ya."
"Maaf."
"Untuk?"
"Karena ... Shei tadi marah-marah."
Narendra tahu betul Sheilla seperti apa. Gadis di hadapannya tidak pernah sampai meninggikan suara. Baru kali ini dia mendengar Sheilla sampai semarah itu. "Saya tau kamu pasti bingung dengan semua yang terjadi belakangan. Kita gak pernah seasing ini sebelumnya. Tapi, kamu pasti akan mengerti nanti."
"Mengerti apa? Kakak sengaja banget, ya, buat aku kelihatan bodoh?"
Narendra kembali tersenyum. "Belum saatnya kamu tau." Kalimat singkatnya membuat Sheilla mencebik.
Ketukan pada daun pintu mengalihkan keduanya. Sheilla beradu pandang dengan Narendra sejenak sebelum akhirnya, Sheilla paham. Dia segera memasukkan Chiko ke dalam kandang dan menyimpannya di pojok ruangan. Setelahnya, Narendra mempersilakan—siapapun yang ada di luar kamar mereka—untuk masuk.
"Tuan muda panggil bibi tadi, ya. Maaf nunggu lama, Tuan. Ada yang bisa bibi bantu?" Salah satu ART yang datang segera bertanya. Wanita yang diperkirakan berusia 40 tahunan itu menunduk sopan.
"Itu, Bi. Bawa, ya. Buang atau kasih ke siapa aja yang mau!" Narendra menunjuk onggokan barang di atas meja, tak jauh dari keberadaan Sheilla.
Sheilla turut menoleh pada benda tersebut. Sepertinya, sebuah bingkisan, kado yang diterima Narendra di hari pernikahan kemarin. Acara yang bahkan hanya dihadiri keluarga Narendra, dan beberapa tamu Wira saja. Seperti sudah diatur, bahkan acara seorang yang notabene memiliki usaha di bidang industri media saja, tidak satu wartawan pun yang meliput. Seketika, Sheilla menyadari itu dan kembali menatap suaminya, curiga.
Narendra yang ditatap sedemikian rupa hanya mengangkat alis.
"Sebentar, Bi." Cegah Sheilla saat bibi ART sudah membawa apa yang tuan mudanya perintahkan. "Ini kemeja baru, kan? Kenapa di buang?"
"Saya gak suka warnanya," jawab Narendra diplomatis.
Sheilla bergumam kecil. "Padahal bagus, lho, biru muda. Bukannya Kak Naren punya yang seperti ini juga? Oh ... pantesan ditinggalin di sana, gak suka, toh."
"Aku gak pernah pakai kemeja seperti itu. Kamu lihat di mana?"
Pertanyaan Narendra seketika membuat Sheilla mengatupkan bibir. Mamp*s! Apa dia harus banget bilang ke suaminya itu, kalau dia habis cari petunjuk dari apartemen Bella?
"Eum ... itu ...." Sheilla terbata. "Ini, Bi. Bawa aja!" Mengalihkan. Sheilla berikan lagi kemeja yang semula dia pegang.