Mobil Narendra

1463 Kata
"Kamu lihat kemeja biru muda di mana memangnya, sampe ngira itu punya saya?" Sheilla menghempas punggung ke sandaran jok mobil begitu mengingat kejadian beberapa hari lalu. "Di ... apartemen Kak Bella." Sheilla menggigit bibir pasca menjawab tanya Narendra. "Sama siapa ke sana? Sendiri? Ngapain?" Untuk pertanyaan berikutnya, Sheilla memilih bungkam. Dia bergegas pergi ke bilik mandi demi menghindari tatap penuh tuntutan dari Narendra. Pagi ini, tidak seperti biasanya, Narendra sudah lebih dulu terjaga. Sheilla melihat suaminya itu berpakaian rapi. "Dia bersiap sendiri tanpa bantuan? Atau ... asprinya masuk kamar saat aku masih terlelap?" tanya Sheilla menguap tanpa adanya jawaban. Kedua tangannya erat menggenggam kemudi mobil yang bahkan mesinnya belum dia nyalakan. Narendra memberinya kunci mobil sebelum dia keluar kamar tadi. Katanya, mobil sudah seminggu di rumah sejak mengalami perbaikan di bengkel dan tidak ada yang memakai. Padahal, dia sendiri seperti mau pergi. Sudah berbalut kemeja dan celana formal. Tapi, alih-alih menjawab hendak ke mana saat Sheilla tanya, Naren justru beralasan tidak suka melihat Sheilla naik ojol. "Ish." Sheilla meringis ketika mengingat ucapan Narendra beberapa saat lalu. "Tapi mobil dia gak cuma ini. Dia mau pakai yang lain mungkin. Itu, itu, itu." Sheilla iseng menunjuk satu-persatu kereta besi yang berjejer di garasi. Telunjuknya berhenti di satu mobil. "Mobil mbak Dina. Dia belum berangkat?" Namun, sejurus kemudian, Sheilla menyadari sesuatu. Dia menyentuh setiap bagian dari mobil Narendra. "Tunggu! Mobil ini baru keluar dari bengkel? Kecelakaan Kak Naren ... pasti saat dia pakai mobil ini. Haa ...." Sheilla menutup mulutnya sendiri. "Mbak Dina." Sheilla kembali keluar dari kereta besi begitu melihat Dina. Kakak iparnya itu menoleh. "Shei ... belum berangkat?" Sheilla menggelengkan kepala. "Mbak mau berangkat kerja, ya?" Belakangan, Sheilla tahu Dina sudah kembali ke rutinitasnya juga sebagai advokat. "Iya. Kamu gak ikut sarapan?" "Nggak, Mbak. Nanti aja aku sarapan di kampus. Aku boleh tanya sesuatu?" "Apa?" "Kak Naren kecelakaan waktu pakai mobil ini, bukan, Mbak?" "Iya." Jawaban Dina membuat napas Sheilla tercekat. "Sampai Kak Naren gak bisa jalan, tapi ...." "Tapi, apa, Shei?" Dina balik bertanya saat adik iparnya itu terlihat ragu. "Kerusakan mobil seberapa parah?" Tubuh Dina juga bereaksi sama. Dia terkejut. Bukan hanya napasnya yang tersenggal, Dina bahkan sedikit terhuyung ke belakang. Itu sebab dia tahu, tidak ada yang rusak parah dari mobil adiknya dan dia baru menyadari ini. "Mbak Dina tau sesuatu, atau ...." Sheilla coba menerka. "Kalau dipikir-pikir memang aneh. Kamu curiga sama Naren?” “Dari sejak hari pertama aku yang jadi istrinya, aku sebetulnya sudah curiga,” jawab Sheilla diplomatis. Dina menggelengkan kepala. “Tapi buat apa Naren bohong? Dan lagi … yang tangani Naren saat kecelakaan waktu itu … Haa … apa mungkin?” Dina menganga. “Kenapa, Mbak?” “Gak ada apa-apa, Shei. Maaf, ya, mbak harus berangkat. Kamu juga, kan?” “Heum … i-iya.” Sheilla mengangguk ragu. Dia mengantar kepergian Dina—yang terlihat terburu-buru seolah menghindarinya—masih dengan tatapan penuh tanya. “Mbak Dina gak mungkin gak tau apa-apa, kan?” gumamnya. Setelah sibuk dengan pemikirannya sendiri, Sheilla bergegas pergi juga. Mengendarai kereta besi ke kampus untuk pertama kalinya. Ya, dulu, meski Wira punya mobil lain yang menganggur, tak satupun Sheilla pakai. Tidak ada yang mengizinkan, dan Sheilla termasuk anak yang patuh. Dia lebih baik naik kendaraan umum, walau diam-diam belajar menyetir dengan sahabatnya. Mobil tiba di pelataran gedung Universitas tepat saat keadaan sudah cukup ramai. Sheilla turun dan dapat dipastikan jika semua mata tertuju pada gadis itu. "Sheilla." Panggilan membuat si empu nama menoleh. "Intan." Sahabat satu-satunya Sheilla berjalan menghampiri. Gadis berkulis sawo matang itulah yang mengajarinya menyetir bahkan mengantarnya saat tes pembuatan SIM. "Keren. Mobil paksu?" Dan, ya, hanya Intan yang tahu status Sheilla saat ini selain juga dengan Jefri. Sheilla refleks menempelkan telunjuk di bibir. "Jangan keras-keras! Tahu, kan?" Dia mencebik. "Oh, iya-iya, lupa." Cengir Intan. "Eh, Shei ...." Suara Intan kembali menginterupsi seiring langkah mereka menuju gedung kampus. "Tadi si Jef ke sini, lho." "Mau apa dia?" "Kenapa? Kok, kayak kesel gitu?" "Gak apa-apa?" jawab Sheilla malas. Masih belum bisa lupa 'ajakan' Jefri terakhir di apartemen Bella. "Lo kenapa gak udahan aja, sih, sama si Jef. Toh, udah ada Kak Naren, kan?" tanya Intan sambil menatap polos. "Ya, kali. Narendra itu calon kakak ipar gue, Intan. Keadaan aja yang memaksa gue ada di posisi sekarang." "Yakin terpaksa. Bukannya lo juga suka sama itu cowok, heum?" Langkah Sheilla terhenti. Dia menoleh pada sosok Intan yang juga tengah menatapnya. "Kenapa? Gue salah ngomong?" tanya Intan beruntun ketika Sheilla tak juga bersuara dan hanya fokus melihatnya tanpa berkedip. *** Narendra turun dari lantai tiga tepat setelah Sheilla, Dina, dan ayahnya—Hasan—sudah berangkat ke tujuannya masing-masing. Narendra kemudian pamit pada Jenar. "Kamu yakin mau ke luar, Ren?" "Ada berkas yang harus Naren periksa di kantor, Mam." Jenar mengangguk pelan. "Ya, sudah. Hati-hati. Jangan pulang terlalu larut." Ultimatumnya. Narendra mengangguk patuh. Setelahnya dia segera berangkat. Jenar mengantar Narendra hingga ke baseman. "Mobil kamu, kok, gak ada, Ren?" tanyanya begitu menyadari kendaraan yang biasa putranya gunakan tidak ada di tempatnya semula. "Dipakai Sheilla," jawab Narendra singkat. Jenar sedikit memicing. "Kamu yakin kasih mobil kamu untuk dipakai gadis itu?" Tersenyum seolah tidak percaya tindakan Narendra yang 180 derajat berbeda dari sebelum menikah. "Se-spesial itu Sheilla di mata kamu, Ren. Ini bukan kamu, lho?" "Mama ngomong apa, sih? Walau gimanapun, Sheilla istri Naren sekarang." "Iya, tapi—" "Naren berangkat sekarang." Potongnya, sengaja menghindar dari tanya sang mama. Narendra segera naik ke dalam mobil dengan bantuan asistennya. Sesampainya di kantor, tumpukan berkas serta email, menyibukan Narendra. Dia masih terpekur di depan layar yang kini menunjukkan deretan angka. Persentase penjualan yang belakangan meningkat membuat kedua sudut bibir Narendra terangkat. Di tengah rasa bahagianya, suara dering ponsel mengusik. Narendra mengalihkan atensi dari layar laptop ke layar yang lebih kecil. Ya, telepon genggam di sisi kanan dia, meminta perhatian. "Andrew?" gumamnya seraya mendial ikon hijau untuk menerima panggilan tersebut. "Ya, Kak." Narendra menyapa begitu suara di seberang sana menyapa rungunya. "Kamu di rumah? Aku sedang dalam perjalanan pulang." "Aku masih di kantor. Sore nanti baru pulang, kenapa?" "Tidak ...." Suara Andrew terdengar ragu. "Aku masih harus merahasiakan ini atau kamu sudah memberitahu yang sebenarnya?" Narendra tertegun sejenak. Ponsel dia alihkan dari telinga kiri ke telinga kanan. "Aku belum mengatakan pada siapa pun." "Baiklah. Aku tanya sebab aku perlu tahu, bagaimana harus bersikap nanti. Tapi, sebaiknya kamu cepat katakan yang sebenarnya. Mau sampai kapan kamu duduk di kursi roda, Ren?" Narendra tertawa. "Iya, iya, Kakak ipar. Tenang saja. Aku pasti katakan saat waktunya memang tepat. Aku hanya takut, Sheilla terkejut dan marah." "Dia pasti belum bisa menerima saat ini. Tapi, jika dia tau alasanmu, tidak mungkin dia marah. Justru sebaliknya, dia akan berterimakasih. Kamu sudah berusaha keras untuknya selama ini." "Heum ...." Narendra bergumam. "Aku gak yakin. Tapi, omong-omong, Kakak tidak lupa bawa oleh-oleh untuk ipar baru, kan?" Dia tertawa lagi. "Tentu! Ya sudah. Sampai bertemu di rumah." Pria bernama Andrew yang Narendra sebut kakak ipar itu mengakhiri perbincangan. Belum sampai detik ke lima setelah panggilan telepon berakhir, ponsel Narendra kembali gaduh meminta perhatian. Atensi Narendra kembali pada benda pipih yang menampilkan nama si pemanggil. Tanpa menunggu lama, dia menerima panggilan tersebut. "Ya?" *** "Apa, Bu? Uang SPP bulan ini belum dibayar?" Sheilla keluar ruang TU dengan wajah lesu. Penuturan Bu Laras cukup membuatnya terdampar di dasar kenyataan. Ternyata Alma tidak hanya mengusirnya dari rumah saja. Bahkan biaya pendidikan pun Alma lepas tangan. Wira ... Sheilla tidak berharap banyak pada Omnya itu. Sudah pasti Wira sejalan dengan istrinya. Hanya sekadar memastikan, Sheilla menelepon sang tante. Dipanggilan kedua, barulah Sheilla mendapat sambutan. "Kamu, kan, udah nikah. Minta uang sama suami kamu sana! Narendra punya banyak uang, Sheilla. Jangan jadi bodoh, nikah sama orang cacat, terlalu kamu kalo gak dapat apa-apa. Peras Narendra, dia itu ATM berjalan." Sambutan yang luar biasa! Sheilla mengembus napas kasar. Mengakhiri panggilan sepihak. Tidak ada hal baik yang bisa Sheilla dengar dari tantenya. Alma hanya mencemoohnya sekarang. Padahal, saat hari pernikahan, dia yang memohon-mohon pada Sheilla. Inikah balasannya? "Kenapa, Shei?" tanya Intan yang sejak tadi menemaninya di kantin. Makanan yang dipesan belum tersentuh. Intan memahami situasi sahabatnya yang bisa dikatakan ... tidak baik-baik saja. "Tante kamu gak mau bayarin lagi?" Sheilla mengangguk. "Aku harus apa? Bu Laras tadi bilang aku gak bisa ikut semester kalo belum lunas pekan ini. Uang dari mana coba?" "Gak coba kamu tawarkan hasil gambar kamu ke penerbit, Shei. Pasti lumayan hasilnya. Bisa ke sua ... ke si Naren maksudku." Intan menyarankan, sekaligus meralat sebab hampir salah ucap. Intan tahu Sheilla pandai membuat gambar. Bisa dikatakan Sheilla ini cocoknya jadi ilustrator buku gambar bercerita, misalnya. Gambar Animenya juga bagus-bagus. Beberapa kali Sheilla mendapat tawaran kerjasama tapi ditolaknya. "Laptop aku yang rusak masih belum selesai diperbaiki. Entah semua datanya bisa dipulihkan atau enggak. Dan bodohnya ... aku gak punya salinannya."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN