Bab 10. Dokter Andrew

1321 Kata
Dina memarkirkan mobil di area sebuah klinik setelah menelepon sang suami yang kabarnya sudah berada di perjalanan pulang. Dina sengaja menemui ayah Dhara itu sebelum berangkat ke pekerjaannya sendiri. Baru saja Dina membuka pintu bagian kemudi, sebuah taksi berhenti tepat di belakang mobilnya. Seseorang keluar dari dalam kendaraan ber-plat kuning tersebut dengan senyum menghiasi wajah. "Andrew." "Hai, Sayang." Segara pria itu melangkah mendekati Dina. Membawa wanitanya ke pelukan. Dina mencubit pelan perut Andrew saat suaminya itu tak juga melepaskannya. "Malu tau." "Bu Pengacara, penganiayaan ini. Kena pasal berapa, ya." Goda Andrew. "Enak saja!" "Apa kabar, Sayang?" "Seperti yang kamu lihat," jawab Dina. "Kamu sendiri." "Sepertinya aku tidak baik-baik saja. Virus rindu sudah menyerangku." "Ish!" Dina mencebik sekaligus merona. Bagaimana tidak, dua pekan berjauhan dengan sang suami, Dina pun merasakan hal yang sama. Andrew pergi lawatan ke Negeri tetangga untuk urusan pekerjaan tepat setelah adiknya yaitu Narendra kecelakaan. Dan hal itu pula yang membuat Dina berada di sini sekarang. Meminta bertemu Andrew di klinik, bukan di rumah, semata-mata untuk mempertanyakan kecurigaannya. "Lupakan dulu soal kita. Bisa kita lanjut kangen-kangenannya nanti di rumah," ucap Dina sambil terkekeh. "Ada yang ingin kutanyakan," lanjutnya. Dina sudah menarik pelan pergelangan tangan suaminya itu masuk menuju area klinik. Keduanya bicara di dalam ruangan Andrew. Dina pun tak membuang waktu untuk langsung pada intinya. Mengutarakan kecurigaan dia dan juga Sheilla pada Andrew. Lelaki itu mendengarkannya dengan seksama. "Jadi menurutmu? Drew, kamu yang tangani Naren saat kecelakaan hari itu. Bahkan untuk ukuran kecelakaan yang katanya cukup parah, dia kamu bawa ke sini dan bukannya ke rumah sakit dimana peralatan medis memadai, lengkap di sana dari pada di klinik ini." Dian melipat tangan di atas perutnya, tepat di bawah d**a. Mata wanita itu menatap intens seolah menuntut kejujuran lawan bicara di hadapannya. Andrew menganggukkan kepala sambil tersenyum ringan. "Apa aku akan menjadi salah satu klienmu nanti, Sayang?" Mengerti bahwa yang bicara di hadapannya bukan hanya istri yang suka bersikap manja, tapi lebih seperti seorang pengacara yang sedang menanyai calon kliennya. "Aku memang membantu Narendra," imbuhnya. "Kamu ...." "Ayolah, Sayang. Sebagai Kakak, kamu tidak memahami adikmu sendiri? Dia tidak bisa hidup dengan wanita yang kelakuannya liar seperti Bella." "Hanya itu alasannya sampai harus membohongi semua orang?" Andrew menggelengkan kepala. Istrinya memang terlalu pintar untuk bisa dikategorikan bodoh. Walau mungkin beberapa hari terakhir percaya-percaya saja. Tapi, Dina tentu tahu kalau Narendra berbohong pasti bukan untuk hal kecil. "Ya, ada hal lain. Tapi sepertinya, bukan kuasaku untuk menjelaskan. Kamu bisa tanya langsung pada iparku yang tampan itu." "Dih!" "Iya, dong! Masa kakaknya sendiri tidak mengakui ketampanan adiknya. Padahal kalian satu gen." Andrew terkekeh. "Ya, memang. Dia tidak akan tampan kalau bukan karena kakaknya juga cantik, kan." Andrew tertawa lepas. "Iya, deh, daripada ngambek." *** "Sheilla ...." Panggilan membuat gadis bersurai hitam itu menoleh. Dilihatnya, Bu Laras, Staf DK yang tadi pagi memanggil Sheilla, menghampiri. "Iya, Bu." "Gercep, ya. Baru tadi pagi kamu saya ingatkan soal iuran semester, udah langsung dibayar aja," seloroh Bu Laras begitu sudah berada di hadapan Sheilla. "Kwitansinya. Yang bayar buru-buru sampe gak ambil ini." Sheilla mengeryit saat selembar kertas kecil sudah berada di tangannya. "Tante Alma bayarin juga akhirnya?" "Bukan tante kamu. Laki-laki yang bayar." Bu Laras mengingat. "Dia pakai masker, ibu gak lihat wajahnya." "Om Wira?" Tangan Bu Laras mengibas. "Kalo itu Om kamu, saya pasti tau. Ini bukan. Masih muda. Tapi pas saya tanya, 'anda siapanya Sheilla', dia gak jawab. Cuma dapat perintah bayar SPP atas nama Sheilla Anandita, gitu aja." "Hmm ...." Sheilla mengangguk-angguk. "Oke, makasih, ya, Bu." "Sama-sama." Bu Laras berlalu. Sheilla baru saja hendak kembali melangkahkan kaki ketika Intan melempar tanya. "Siapa kira-kira yang bayarin, Shei?" "Hm ... kayaknya aku tau, deh. Dah, yuk, katanya kamu mau traktir aku nonton." Sheilla menarik pelan tangan Intan. Menagih janjinya beberapa saat lalu untuk menonton film di bioskop, sepulang ngampus. "Ayo!" Keduanya pun berjalan menuju area parkir. Sheilla berhenti melangkah saat sepasang matanya menangkap keberadaan Jefri. Pemuda itu berdiri tepat di samping mobil Sheilla. "Kenapa, Shei?" tanya Intan. "Tuh!" "Urus dulu, deh. Gue nunggu di sana, ya." Sepeninggal Intan, Sheilla menghampiri Jefri yang kali ini sudah mengubah posisi. Dia bersandar pada mobil Jenis SUV yang Sheilla kendarai pagi tadi. “Hai, Jef,” sapa Sheilla. “Bagus, ya, udah gak balas chat, telepon gak diangkat. Sekarang, udah bisa bawa mobil mewahnya Narendra. Mau pamer kalau suami kamu kaya, Shei.” Sarkas Jefri. Alis pemuda itu terangkat menunggu reaksi Sheilla. “Kamu ke sini cuma mau sinisin aku. Ck!” Sheilla menengok kanan-kiri. “Kenapa? Takut banget orang tau kalau kamu udah punya suami … lumpuh.” “Jef!” Sheilla menggeram tertahan. “Gini aja, deh.” Jefri maju selangkah lebih dekat pada Sheilla. Pemuda itu menahan pundak Sheilla agar tidak menjauh. Jefri bicara di samping telinga Sheilla. “Suami kamu itu, kan, gak bisa jalan. Gak bisa ngapa-ngapain, dong. Biar aku yang memerankan suami di atas ranjang.” Sheilla mendelik. “Hei! Jangan marah. Kamu tetap istri Narendra tidak akan ada yang tau selain aku. Gimana?” “Najis!” Decih Sheilla. “Jef ….” Bibir Sheilla sedikit terbuka sambil menggelengkan kepala. “Aku gak nyangka kamu ….” Sheilla lantas menghindar. Menjauh dari kekasih yang isi pikirannya itu-itu saja. “Ayolah, symbiosis mutualisme, kan. Lagian kalau Narendra sampe tau juga gak masalah, kita, kan, emang pacaranan. Iya, kan?” Tidak salah memang. Sheilla sendiri masih belum memutuskan hubungannya dengan Jefri. Tapi, Simbiosis mutualisme macam apa yang Jefri tawarkan saat Sheilla saja sedang mencari cara keluar dari jerat pernikahan yang Narendra ikat. Bukan membantu, yang ada Jefri malah semakin membuat Sheilla merasa sesak. “Kamu bikin aku tambah pusing tau gak?” “Ayolah. Mau di mana? Hotel, apartemen kakak kamu, atau di tempatku.” Jefri lagi-lagi mengangkat alis menunggu Sheilla menjawab. Alih-alih menjawab, gadis itu malah melengos pergi. Jefri terbahak melihat Sheilla buru-buru masuk ke dalam mobil. “Sheilla-Sheilla.” “Eh, Shei … tungguin ih.” Intan lari ke arah mobil. Memukul bagian kap kendaraan itu sambil setengah berteriak. “Aduh, maaf, ya.” Gadis itu dengan polosnya mengusap bagian yang baru saja dia pukul. Sheilla menurunkan kaca jendela. “Ya, elah. Buruan naik!” Titahnya pada Intan sambil melirik Jefri yang tengah senyum-senyum menyebalkan. “Dah, Sayang. Pikirin lagi, ya, tawaranku. Awas, lho, nolak nanti nyesel.” Bahkan ucapan Jefri sama menyebalkan dengan kelakuannya. *** "Kenapa si Jef, tadi?" tanya Intan. Mobil Sheilla sudah berbelok ke area parkir pusat perbelanjaan. Tujuan awal mereka hendak menonton film. Intan yang bayarin. "Gak usah bahas dia lah, males." Respon Sheilla. Membuka seatbell kemudian keluar diikuti Intan. "Nonton apa kita?" "Itu, lho, Shei. Film yang baru tayang itu. Aku baca reviewnya bagus, jadi penasaran." "Ok." "Tau, gak. Ini film adaptasi dari novel karya penulis ...." Intan menyebut nama penulis yang membuat Sheilla menghentikan langkah. Dia menoleh pada Intan. "Sayangnya ... begitu ceritanya diadaptasi jadi film, penulisnya malah udah lama gak ada." Bibir Sheilla bergetar hendak mengatakan sesuatu. Tapi, urung begitu Intan langsung menariknya ke area bioskop. Sudah duduk di barisan depan. Film mulai tak lama kemudian. Sepanjang film ditampilkan, Sheilla menyeka sudut mata. Intan menoleh heran, Apa yang membuat Sheilla sedih, padahal filmnya saja genre komedi romantis gitu? Harusnya lucu, kan? Intan menyikut Sheilla sambil menggerakkan alis. Namun, hanya dibalas gelengan kepala. Film selesai, keduanya keluar beriringan. "Lo nangis, Shei?" "Hah, e-enggak, kok. Gue gak nangis." Gugup Sheilla. "Bohong! Kenapa, sih? Gue ngerasa bersalah, nih. Gak suka filmnya, ya?" Cepat Sheilla menggeleng sambil mengibaskan tangan. "Filmnya oke, kok. Seru, aku malah gak tau kalau ada film ini. Thanks, lho, udah ngajakin nonton." "Terus, kalo bukan karena filmnya jelek, lo sedih karena apa?" Intan memicing. Beberapa saat hening, Intan kembali menoleh pada Sheilla yang sudah menyalakan mesin kendaraan tanpa berniat menjawab pertanyaannya. Baru saja hendak menginjak gas, Sheilla melihat dua orang yang baru saja keluar dari area Mall. Laki-laki dan perempuan, Sheilla mengenali salah satunya. Gadis itu kembali membuka pintu sambil berpesan pada Intan untuk menunggunya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN