11. Jefri Tertangkap Basah

1116 Kata
"Lo mau ke mana?" Intan menahan tangan Sheilla saat sahabatnya itu hendak meninggalkan kursi kemudi. "Gue mau labrak mereka lah." Sewot Sheilla. "Jangan bego, deh. Kita liat mereka mau ke mana. Jangan asal labrak aja." Sheilla terdiam. Benar yang dikatakan Intan, dia bisa tahu sejauh apa Jefri mengkhianatinya kalau mereka ikuti dulu. Bukan asal labrak menuruti emosi. Lagi pula, Sheilla lihat wanita yang jalan bareng Jefri sedikit lebih dewasa, mungkin kakaknya. Tapi, sejak kapan dia punya kakak perempuan? "Lo kenal gak ceweknya?" tanya Intan mematahkan pemikiran Sheilla yang berusaha positif thinkhing. Sheilla mengingat. "Kalau dilihat-lihat, sih, emang kek pernah lihat. Tapi, di mana, ya?" Intan mengangkat bahu. "Heh!" Kemudian terkejut saat melihat dua sejoli itu berpagutan bibir di samping sebuah mobil. "Gila di baseman." Sheilla turut menoleh. Dia sudah kembali menyentuh shietbell hendak membukanya. Lagi, tangan Sheilla ditahan Intan. "Gue mau samperin." Kakak perempuan apanya. Batin Sheilla. Kemudian dia ingat siapa perempuan yang bersama Jefri itu. "Gue ingat, dia bos Jefri di kafe." Jefri bekerja sebagai barista kafe, tempat di mana pertama kali Sheilla mengenal pemuda itu. Bahkan, Sheilla pernah dikenalkan pada wanita yang semakin keenakan mendapat sentuhan dari kekasihnya. "Lepas, Tan!" "Plis, Sheilla. Jangan sekarang!" Intan mengeluarkan ponsel, mengambil video adegan yang semakin panas itu. Hanya beberapa detik, kemudian, berakhir. "Ah, tuh, kan, udahan. Lo, sih!" cebiknya. "Kok gue." Sesuatu terasa pedih. Ada yang memaksa untuk keluar dari balik kelopak mata Sheilla. "Jangan nangis, Sheilla. Sini pindah, gue yang nyetir." Inisiatif Intan. "Buruan keburu jauh, tuh." Intan menunjuk mobil yang dipakai Jefri sudah mulai melaju. Keduanya sampai di sebuah apartemen. Setelah bertanya pada petugas, Sheilla mendapatkan nomor unit wanita yang dia ketahui namanya, Priska. Naik ke lantai di mana unit milik Priska itu berada. Sheilla juga Intan sudah berdiri di depan pintu. Tidak langsung mengetuk, Sheilla malah bergeming sambil mengatur tarikan napasnya yang sudah sejak tadi kacau. Sampai kemudian, Intan menyenggolnya. Sahabatnya itu menggerakkan alis serta melempar tatapan pada daun pintu seolah menyuruh Sheilla segera mengetuknya. Bukan ketukan yang Sheilla buat, tapi dia menggedornya keras-keras setelah usaha mencuri dengar tidak berhasil. Pintu terbuka lebar dengan mempertontonkan pemuda telanjang d**a dan hanya memakai kolor. Dapat Sheilla tebak sesuatu di bawah sana yang masih menegang. "Sheilla." Suara Jefri sedikit lebih berat, menahan sesuatu yang tertunda. Plakk! Tamparan keras mendarat di pipi Jefri. Intan lebih puas melihatnya dibanding Sheilla sendiri. "Jadi kayak gini kelakuan lo, Jef. Hah! Lo s*nting, ya, maen ama bos lo sendiri." "Shei, dengerin dulu." "Siapa itu, Sayang." Tak sampai di sana, wanita tidak tahu malu itu turut keluar dalam keadaan setengah kusut. Memakai kemeja yang terbuka, menampakkan perut dan d**a yang masih tertutup bra hitam. Rok pendek yang tadi melekat sudah lenyap. Menyisakan short ketat di pahanya. "Kamu." Sheilla berlalu diikuti Intan yang sebelum pergi justru mencibir Jefri terlebih dahulu. Sepeninggal Sheilla, Jefri kembali masuk memakai kembali pakaiannya, mengambil tas, kemudian menyusul Sheilla tanpa peduli wajah kesal Priska. "Jef! Ck!" Priska mencebik. "Awas kamu, ya, kalo butuh aku lagi." Priska meraih ponsel yang teronggok di atas meja, tepat di sampingnya ada rok miliknya yang menjuntai. Tanpa peduli penampilannya, Priska mendial nomor seseorang. "Ke sini, ya, please," ujarnya begitu panggilan terhubung. "Ayolah, Ga. Papa kamu gak akan tau." *** Sudah episode ke ... entah berapa, Sheilla menangis sambil mengoceh tidak jelas. Gelas Tequila yang juga entah ke barapa, Sheilla tenggak. "Udah dong, Shei, lo jadi minum-minum gini, sih. Gak baik tau, gak." "Capek banget jadi gue, Intan. Gue dipaksa kawin, cowok gue slengki, capek tau gak." "Iya, iya, gue tau, Shei. Tapi, lo gak bisa kayak gini. Mungkin ini, lho, jawaban kenapa takdir bawa lo ke Narendra. Iya, kan?" Sheilla menoleh tajam, tapi tidak dengan tatapannya yang sayu akibat alkohol. Intan merebut gelas saat dia hampir menenggaknya lagi. Tidak sampai di sana, Intan mengambil ponsel Sheilla. Mencari kontak Narendra di sana. "Lo ngapain." Sheilla berusaha meraih benda pipih miliknya di genggaman Intan. "Mana, sih, no suami lo?" "Ah!" Sheilla terjatuh. "Ah, ini dia." Tidak peduli dengan keadaan Sheilla yang terjerembab di lantai bar. Intan mendial nomor dengan kontak 'Calon Kakak Ipar'. Sepertinya Sheilla belum mengubah nama pada kontak Narendra. Entah lupa atau memang Sheilla masih menganggap Narendra hanya sebatas kakak ipar baginya. Yang jelas, foto profil kontak tersebut jelas menampilkan sosok tampan ... suami Sheilla, tidak mungkin salah. Panggilan terhubung. "Hallo, Kak." *** Mendapat telepon dari Sheilla yang kabarnya terdampar di bar membuat Narendra segera mengajak asisten pribadinya menjemput gadis itu. Tak butuh waktu lama, Narendra sudah tiba. Disambut Intan yang menunggunya dengan gelisah. Gadis itu berdiri membelakangi Sheilla yang mabuk berat sampai muntah-muntah. "Dia seperti ini?" tanya Narendra seolah tidak percaya gadis di hadapannya itu Sheilla. Masih mengeluarkan isi perutnya di sisi tembok bar yang terdapat saluran air, Sheilla tidak sadar sudah ada Narendra di sana. "Bawa gue pulang, Tan. Intan." "I-iya." Gugup Intan, takut-takut Narendra memarahinya. "Maaf, ya, Kak. Sheilla gak bisa dicegah. Tadi, aku pikir dia mau langsung pulang, tapi malah tancap gas ke sini." "Iya, gak apa-apa. Kamu bisa nyetir?" Intan mengangguk. "Bawa mobil ini, nanti kamu pulang diantar asisten saya." "I-iya, Kak." Narendra meminta asistennya membawa Sheilla ke mobil—mobilnya yang dibawa istrinya itu. Sementara mobil yang tadi ditumpangi Narendra dibawa Intan setelah menerima kunci dari asprinya. Kedua kendaraan roda empat itu melaju ke kediaman Narendra. Sesampainya di sana, Intan terkagum-kagum persis Sheilla saat pertama kali melihat rumah Narendra. "Sheilla tidak pandai bersyukur, nih. Ngapain ngejar si Jefri kere yang cuma bisa jadi pemuas tante-tante. Ada Narendra di sini yang ... waw! Kalo gue mah sujud syukur dapet jodoh begini," gumam Intan sepeninggal Sheilla yang dibawa ke lantai atas. "Ini berapa lantai, ya? Kamar Sheilla di mana?" Jenuh menunggu asisten pribadi Narendra yang tak kunjung turun, Intan memilih duduk di bangku yang menghadap ke taman kecil di sisi garasi. Ada kolam ikan di sana. Pakannya pun tersedia. Intan mengambil dan menaburnya hingga ikan-ikan saling berebut. Sampai kemudian, suara deheman terdengar. "Eh." Intan terkejut mendapati sosok jangkung di belakangnya. "Udah selesai? Gimana Sheilla?" "Nona sudah diantar ke kamarnya. Saya ditugaskan mengantar anda." "Oke. Formal banget, sih." Intan menahan senyum, lantas mengikuti langkah aspri di depannya. Mobil keluar garasi bersamaan dengan masuknya satu mobil lain ke rumah ini. Asisten pribadi Narendra membunyikan klakson. "Siapa itu?" Mendapat pertanyaan dari gadis di sampingnya, asisten Narendra menoleh sekilas. "Nona Dina." "Siapa dia?" Menghela napas pendek. "Kakaknya Tuan Narendra." "Owh, oke. Orang kaya mobilnya bagus-bagus, ya. Ini mobilmu atau punya Kak Naren juga?" tanya Intan polos. "Bisa dikatakan ini mobil Tuan muda yang dikhususkan untuk transportasi saya." "Siapa namamu?" Lampu lalu lintas berubah merah. Tidak ada jawaban selain dia hanya menoleh sekilas tanpa senyuman, membuat Intan mencebik. "Di mana rumahmu?" "Tidak akan kuberi tau, biar saja muter-muter sampe puyeng. Kecuali, aku tau dulu, siapa nama-mu?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN