8. Amarah Matteo dan KetenanganYang di Cipatakan Ophelia Untuk Alessio

1121 Kata
Matteo masih memegangi kakinya, wajahnya menegang menahan sakit sekaligus amarah. Ia berusaha berdiri, tubuhnya tegap, meski langkahnya sedikit pincang. Rahangnya mengeras, sorot matanya tajam penuh bara saat mengikuti setiap langkah kepergian istrinya bahkan setelah pintu itu ruang makan itu tertutup. Namun begitu tubuhnya kembali jatuh ke kursi yang tadi ia duduki, Matteo terdiam. Nafasnya berat, dadanya naik turun, dan genggaman pada lututnya mengeras seolah rasa sakit fisik tidak ada artinya dibanding luka yang ditinggalkan oleh tatapan dan senyum Ophelia. "Ambilkan obat untuk kaki Matteo," suara Katerina terdengar lembut, nyaris penuh kepedulian, seakan dirinya benar-benar satu-satunya yang pantas berada di sisi pria itu. Para maid segera bergegas memenuhi perintahnya. Namun Matteo tidak juga menjawab, tidak pula menoleh pada Katerina yang setia berjongkok di sisinya. Pandangannya tetap terpaku pada pintu yang baru saja ditutup Ophelia. Ada bara yang belum padam di mata itu, amarah yang menyesakkan, bercampur dengan sesuatu yang bahkan ia sendiri enggan mengakui, rasa kehilangan kendali pada wanita yang baru saja meninggalkannya begitu tegak, seolah kemenangan ada di pihaknya. Matteo menggertakkan rahangnya. Di balik murka yang bergemuruh, ada perasaan getir yang menyeruak, seolah Ophelia baru saja menampar harga dirinya tanpa benar-benar menyentuh wajahnya. "Matteo," suara Katerina terdengar lembut, hampir seperti bisikan, ketika jemarinya berani menggenggam tangan Matteo. Ada kekhawatiran yang ia tunjukkan, namun juga harapan halus agar ia menjadi tempat Matteo bersandar. "Kenapa kamu bisa bertahan dengannya? Istrimu begitu pembangkang, begitu tidak peduli padamu," ujar Katerina dengan nada manis, penuh kelembutan yang dipaksakan. "Seharusnya dia menghargai keberadaanmu, bukan menantangmu setiap saat." Matteo menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. Bukan untuk meredakan amarah, melainkan untuk menahan diri agar tidak meluap di depan orang lain. Tangannya perlahan ditarik dari genggaman Katerina, gerakannya tegas tapi tetap dibalut kelembutan khas dirinya ketika berbicara dengan wanita yang ia anggap rapuh. "Makanlah," katanya akhirnya, suaranya dalam dan berat, tetapi ada kelembutan yang samar di sana. "Jangan biarkan makananmu mendingin. Itu tidak akan enak lagi." Satu tangannya terulur, menarik mangkuk sup yang masih mengepulkan uap ke arah Katerina. Gerakannya sederhana, namun terasa seperti upaya mengalihkan topik, menghindar dari tatapan Katerina yang ingin menelanjangi isi hatinya. "Aku tidak ingin makan sekarang," jawab Katerina, nada suaranya mulai meninggi, terdengar seperti rengekan yang dipoles dengan kepedulian. Ia menatap luka di kaki Matteo dengan mata yang sengaja dibuat basah, bibirnya mengerucut penuh drama. "Aku akan makan setelah mengobatimu. Bagaimana mungkin aku bisa menelan makanan ketika melihatmu kesakitan begini?" Kata-kata itu ia lontarkan dengan nada yang bergetar, setengah marah setengah memohon. Namun bagi Matteo, rajukan itu hanya terdengar seperti manja yang sudah biasa ia dengar dari Katerina sejak dulu. Keras kepala, ya. Namun dalam pandangan Matteo, itu keras kepala yang terasa lucu. Matteo sempat menahan senyumnya ketika sorot matanya menangkap wajah Katerina yang tampak berusaha keras menunjukkan kepedulian. Namun, senyum itu kandas begitu saja saat seorang maid masuk tergesa dengan kotak P3K di tangannya. "Ini, Tuan," ucap maid itu dengan nada sopan, menundukkan kepala dalam-dalam. Katerina segera menyambar kesempatan, jemarinya terulur hendak meraih kotak itu. "Sini, biar aku yang mengobatimu," katanya dengan suara lembut yang dibuat-buat, penuh drama kekhawatiran. Namun Matteo menahan gerakan itu dengan sorot mata tajam. "Tidak perlu. Kamu makanlah. Tubuhmu masih butuh banyak asupan. Apa kamu mau bayimu kenapa-napa?" nada suaranya terdengar sedikit tegas, menyelipkan peringatan yang tidak bisa dibantah. "Aku ingin mengobatimu, Matt," Katerina bersuara lirih, nada sendu menetes dari bibirnya seolah ia benar-benar dihantui rasa khawatir. Matanya bergetar, berusaha memancing simpati. Tetapi Matteo tetap bergeming. Tatapannya melembut, suaranya pun terdengar hangat, namun ada garis ketegasan yang tidak bisa diganggu gugat. "Tidak perlu. Aku bisa melakukannya sendiri." Ia bangkit dari kursinya dengan gerakan mantap, sedikit pincang tapi penuh wibawa, lalu menoleh pada maid yang masih berdiri kaku menunggu perintah. "Pastikan Nona Katerina makan dengan baik," tegasnya. "Baik, Tuan," jawab maid itu singkat. Tanpa menoleh lagi, Matteo melangkah pergi, meninggalkan aroma ketegangan yang belum surut. Pintu ruang makan menutup rapat di belakangnya, meninggalkan Katerina dengan wajah tertekuk, genggaman sendoknya erat, hingga tanpa sadar ia menghantamkan sendok itu ke meja. Suara dentingan logam terdengar nyaring. "Sialan kamu, Estelle!" makinya dengan nada penuh amarah, bibirnya bergetar menahan rasa sakit hati bercampur cemburu yang membara. Mata Katerina berkilat, sorotnya dipenuhi dendam yang kian tumbuh. Maid yang berdiri di dekatnya hanya bisa menunduk dalam-dalam, tidak berani menanggapi, tidak berani menatap wajah penuh murka itu. Di tempat lain, suasana jauh berbeda. Di kamar yang hangat, Ophelia tengah duduk di tepi ranjang, memeluk erat Alessio yang masih terisak. Tubuh mungil putranya bergetar, air mata membasahi bahunya, membuat hati Ophelia mencubit perih. "Sudah dong, tampan," bisiknya lembut, membelai rambut hitam anak itu dengan penuh kasih sayang. "Daddy kan memang sudah sering seperti ini. Kamu tidak perlu menangis terus." Alessio mengangkat wajahnya, matanya masih berkaca-kaca. Ophelia tersenyum samar, meski dalam dadanya berkecamuk luka. Ia menempelkan keningnya ke kening putranya, membisikkan rencana kecil dengan nada menenangkan. "Bagaimana kalau kita buat janji dengan Daddy? Bertemu di villa hanya kalian berdua. Mommy akan atur pekerjaan Daddy supaya dia pergi ke sana. Bagaimana?" suaranya merayu, seakan menyalakan lilin kecil di hati sang putra yang hampir padam oleh tangis. Benar saja, mata Alessio berbinar. Ia melepaskan pelukan ibunya, wajahnya berubah penuh semangat. "Benarkah, Mom?" tanyanya dengan suara riang, seolah lupa sejenak pada sesak yang baru saja ia rasakan. "Tentu saja," jawab Ophelia lembut sambil merapikan rambut putranya yang basah oleh keringat dan air mata. "Mommy pastikan kamu bisa bersama Daddy di villa. Tapi, Mommy tidak ikut, tidak masalah, kan?" Alessio mengangguk cepat, senyum tulus muncul di wajah kecilnya. "Terima kasih, Mommy. Sayang Mommy!" katanya sambil memeluk tubuh ibunya erat-erat, lalu mengecup pipinya dengan penuh cinta. Ophelia membalas pelukan itu, meresapi hangatnya tubuh kecil Alessio di dalam dekapannya. Namun di balik kelembutan itu, sorot matanya meredup, menatap kosong ke arah jendela kamar yang tertutup tirai tipis. Hatinya meraung, suara batinnya menjerit tanpa bisa ia bendung. "b******k kamu, Matteo! Sampai kapan kamu tega menyakiti anakmu sendiri, hanya karena ada si setan sialan itu di sisimu?" Dadanya terasa sesak, bagai dililit duri tidak kasatmata. Senyum manis yang ia tampakkan pada sang putra hanyalah topeng rapuh, sekat tipis yang berusaha menutupi pusaran amarah, dendam, sekaligus cinta yang sudah porak-poranda. Dengan lembut, Ophelia mengusap pipi putranya, lalu perlahan menjauhkan tubuh mungil itu dari pelukannya. Ia menunduk, menatap wajah Alessio yang polos dengan senyum tipis yang ia paksakan. "Sekarang Ale makan, ya.Bbiar punya tenaga buat menghadapi Daddy yang kadang ngeselin itu." Ucapannya ia bumbui dengan kekehan kecil, ringan namun getir, berusaha menghapus bayangan luka di mata sang putra. Alessio tersenyum lebar, matanya berbinar kembali. "Siap, Mommy!" jawabnya penuh semangat, seolah kata-kata ibunya mampu meniupkan kekuatan baru ke dalam hatinya.Anak itu mulai menyuapkan makanan ke mulutnya, sendok demi sendok dengan gerakan riang. Tangisnya yang tadi pecah kini tergantikan oleh keceriaan polos seorang bocah yang selalu berusaha percaya pada janji ibunya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN