7. Kucing Yang Bisa Mencakar Tuannya

1223 Kata
“Upsi, aku salah,” ucap Ophelia tiba-tiba sambil menutup mulutnya dengan satu tangan, suaranya dibuat seolah menyesal, meski di matanya jelas terpancar kilatan kemenangan kecil. Matteo sempat mengendurkan amarahnya. Nafasnya berat, namun tatapannya masih penuh ancaman. Melihat itu, Ophelia tersenyum, senyum manis yang justru terasa seperti racun. Tangannya bergerak pelan, menyentuh punggung tangan suaminya dengan lembut, gerakan yang dipenuhi godaan. “Maaf, suamiku. Aku salah,” ucapnya, kali ini dengan nada lirih yang dibuat seolah-olah penuh kesedihan. Ia menundukkan wajah, bibirnya bergetar tipis sebelum kembali berucap lirih, “Aku lupa, bukan ibumu yang membuatmu menjadi sosok sedingin ini. Tapi ayahmu, yang tidak pernah puas dengan satu perempuan, yang selalu berselingkuh, dialah yang membuatmu membeku, kehilangan rasa, kehilangan hati.” Brak! “Ophelia Estelle Morales!” suara Matteo meledak, bergemuruh di ruangan itu. Tangannya yang kokoh menghantam meja makan hingga gelas dan piring bergetar keras, sebagian nyaris terjatuh. Dalam sekejap, tubuhnya berdiri tegak, sosoknya menjulang penuh aura predator. Dengan gerakan cepat, tangannya melesat, mencengkeram leher Ophelia dengan kuat. Jemarinya menekan kulit halus istrinya, membuat kepala Ophelia terdorong ke sandaran kursi. Cekikan Matteo semakin brutal, jemarinya menekan leher Ophelia begitu kuat hingga wajah istrinya memerah. Tubuhnya terangkat beberapa sentimeter dari lantai, seperti sebuah boneka yang dipaksa menggantung di udara. Napas Ophelia tersendat, suaranya parau, terputus-putus. Dengan sisa tenaga, ia berusaha memberi isyarat. Jemarinya bergetar, namun cukup jelas untuk maid yang berdiri di sisi meja. “Bawa Alessio pergi,” ucapnya, nyaris tidak terdengar, terselip di antara helaan napas yang patah-patah. Dua maid segera melangkah cepat, menggandeng bocah itu dari kursinya. “Tidak! Ale tidak mau! Jangan sakiti Mommy!” teriak Alesio, matanya berkaca-kaca, suaranya pecah menembus ruangan. Ophelia menoleh sekuat tenaga, memaksa bibirnya tersenyum meski napasnya sudah serak. “Sayang, Mommy dan Daddy hanya bermain. Ale tidak boleh ikut, pergi dulu, ya sayang,” bisiknya, terputus-putus, namun cukup untuk membuat putranya terdiam sejenak. Alesio masih berusaha meronta, tapi maid akhirnya menyeretnya dengan lembut menjauh. Ketika Alessio telah dibawa pergi, tatapan Ophelia kembali tertuju pada suaminya. Kedua tangannya berpegangan pada lengan kokoh sang suami, meski lemas ia berusaha untuk sedikit membuat tekanan di leher melonggar. Senyum tipis, sinis, namun anggun, terbit di wajah pucatnya yang tengah dicekik. Senyum itu bukan sekadar guratan bibir, melainkan sebuah tantangan yang menusuk d**a Matteo lebih dalam daripada sebilah belati. Matteo merasakan darahnya mendidih, semakin keras jemarinya menekan leher Ophelia, semakin besar pula bara amarah yang melahap kewarasannya. “Matt! Lepaskan Estelle! Dia hanya tidak menyukaiku, lepaskan dia, kumohon,” suara Katerina pecah, nyaris seperti bisikan putus asa yang tidak berarti di tengah badai. Namun Matteo tidak mendengar. Tidak, lebih tepatnya, ia menolak mendengar. Baginya, suara Katerina lenyap, tertelan oleh pemandangan Ophelia yang tersenyum meski kulit lehernya memerah akibat cekikan tangannya. Dan Ophelia merasa menang, karena suaminya tidak mempedulikan ucapan Katerina yang artinya ia kini berkuasa atas suaminya. Dirinya bukan lagi perempuan yang Matteo anggap sebagai wanita pilihan serta pengganggu. Gerakan samar dari kaki Ophelia membuat kursi di dekatnya terguncang. Ia berusaha menggapainya, walau tubuhnya sudah melemah oleh sesak. Jari-jarinya gemetar, napasnya terputus-putus, namun senyum itu tetap ada, membuatnya tampak seperti ratu yang tersenyum di hadapan algojo. Ia tidak mampu menarik kursi itu dan naik ke atasnya, namun cukup untuk membuat benda itu jatuh menghantam tanah dengan suara nyaring. Ujung kerasnya menghantam tepat pada kuku jempol Matteo, rasa perih menyambar seketika, tajam seperti sengatan. “Agh!” serapah Matteo lolos, dan tanpa sadar genggamannya terlepas. Ophelia jatuh terduduk, tubuhnya terhuyung sembari tangannya menekan leher yang masih berdenyut nyeri. Batuk keras meledak dari kerongkongannya. “Uhuk, uhuk,” suaranya pecah, serak, namun tetap dengan guratan senyum samar yang seolah tidak ingin menyerah. Matteo menatapnya dengan amarah yang semakin liar. Wajahnya memerah, dadanya naik turun, sorot matanya penuh kebencian sekaligus keterkejutan. “Sialan kamu, Ophelia!” umpatnya garang, tubuhnya segera maju, langkahnya bergetar oleh kemarahan dan rasa sakit di jempol kakinya. Namun Ophelia lebih cepat. Dengan sisa tenaga yang tersisa, ia menendang kursi yang terjatuh tadi dengan hentakan penuh tenaga. Benda itu meluncur, menghantam tulang kering Matteo dengan bunyi keras yang menusuk telinga. Benturan itu membuat tubuh Matteo oleng. Rasa nyeri menjalar dari kaki hingga ke dadanya, menyalakan bara kemarahan yang jauh lebih ganas. Tubuhnya hampir kehilangan keseimbangan, langkahnya tertahan, dan sejenak ia tampak limbung, sebuah pemandangan yang jarang, bahkan hampir mustahil, bagi seorang Matteo Morales yang biasanya begitu tegak dan berkuasa. Ophelia, dengan napas tersengal, menatapnya. Senyum itu masih sama, lembut namun penuh ejekan. Senyum seorang wanita yang seolah berkata bahwa tidak peduli seberapa keras ia dicekik, tidak peduli seberapa sakit tubuhnya dihantam, ia tidak akan menyerah. “Sepertinya, kucingmu masih punya cakar untuk melukai tuannya, tuan,” bisiknya parau, tetapi penuh keberanian. Matteo mendengus marah, wajahnya tegang, menahan sakit yang merambat dari kakinya. Genggaman tangannya mengepal, matanya membara bagai singa terluka yang siap melahap mangsanya. Katerina berjongkok di samping Matteo, wajahnya diliputi kecemasan. Jemarinya yang halus terulur, hendak menyentuh lengan pria itu. “Matteo, kamu tidak apa-apa?” tanyanya dengan suara lembut, penuh kekhawatiran yang terdengar manis di telinga, meski di mata Ophelia, itu hanyalah kepalsuan yang menjijikkan. Ophelia menatap keduanya dari tempatnya yang kini sudah berdiri. Senyum tipis tersungging di bibirnya, bukan senyum bahagia, melainkan senyum dingin yang menyimpan penghinaan. Betapa menyedihkannya melihat wanita itu bersikap seolah-olah ia istri yang penuh perhatian, padahal hanya bayangan yang menempel, mengganggu rumah tangganya. Dengan langkah pelan namun tegas, Ophelia meraih kursi yang tadi terguling, mendirikannya kembali. Tidak sekalipun ia memandang Katerina. Pandangannya hanya sejenak menyapu Matteo, yang masih duduk dengan rahang menegang menahan sakit, sebelum ia mengalihkan perhatiannya pada hal lain. Dari meja, Ophelia mengambil piring makan miliknya dan piring milik putranya. Sikapnya tenang, seperti seorang ratu yang tidak pernah jatuh martabatnya meski baru saja dicekik di depan orang banyak. Tangannya anggun, gerakannya terukur, bahkan ketika lehernya masih berbekas merah akibat genggaman kasar sang suami. “Antarkan minuman dan buah ke kamar Alessio,” ucapnya datar kepada seorang maid. Suaranya tidak meninggi, namun mengandung wibawa yang membuat para pelayan tidak berani menunda. Mereka segera mengangguk dan bergegas menjalankan perintah. Tanpa menoleh lagi, Ophelia melangkah pergi. Setiap hentakan kecil tumit sepatunya di lantai terdengar jelas, meninggalkan gema yang justru semakin menusuk hati Matteo. Wanita itu tidak menoleh, tidak mengucap sepatah kata pun, hanya pergi dengan punggung tegak dan bagi Matteo, punggung itu seakan sebuah penghinaan yang lebih dalam daripada kursi yang barusan menghantam kakinya. Begitu melangkah keluar dari ruang makan, udara koridor yang lebih tenang menyambut Ophelia. Namun ketegangan di dadanya belum juga surut. Baru saja ia ingin menarik napas panjang, ponsel di dalam saku dress-nya bergetar. Getarannya menusuk, seolah mengingatkannya bahwa dunia di luar ruang makan itu sama sekali tidak lebih damai. Dengan satu gerakan anggun, Ophelia menyerahkan dua piring yang ia bawa pada bodyguard yang berjaga di sisi pintu. Tatapannya dingin, penuh wibawa yang membuat siapa pun tak berani menentang. “Antarkan ke kamar putraku. Pastikan tidak ada seorang pun yang mengganggunya,” perintahnya tegas, suaranya tajam seperti pisau yang baru diasah. “Baik, Nyonya,” jawab bodyguard itu seraya menunduk, lalu segera melangkah pergi membawa piring tersebut. Baru setelahnya, Ophelia mengeluarkan ponsel dari saku. Cahaya layar menyinari wajahnya, memantulkan ketegangan di matanya. Jantungnya berdetak lebih cepat begitu melihat nama pengirim pesan yang terpampang jelas di layar. Pesan itu singkat, padat, namun cukup untuk membuat darahnya berdesir. Bibir Ophelia mengatup rapat, lalu perlahan terbuka, menyemburkan umpatan lirih penuh amarah. “Sialan!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN