4. Ruang Panas Dua Orang Yang Saling Bersentuhan

1138 Kata
Ciuman Matteo semakin dalam, menuntut, hingga Ophelia terengah di bawahnya. Begitu ia melepaskan bibir istrinya, napasnya masih memburu, mata hitamnya menatap liar. Tangannya segera meraih tali kulit di sisi ranjang, mengikat kedua pergelangan tangan Ophelia di atas kepala. "Kucing penurutku," gumam Matteo seraya mengikat erat, memastikan Ophelia tidak bisa lepas. "Kau milikku. Dan aku akan membuatmu mengingatnya setiap kali kamu bernapas." Ophelia hanya bisa merintih, tubuhnya bergetar saat Matteo mengambil cambuk tipis dari laci samping. Ujungnya ia gesekkan perlahan di sepanjang leher hingga turun ke perut Ophelia, membuat istrinya melengkung, tidak mampu menahan sensasi itu. "Jangan bergerak, kucing manisku," bisiknya dingin, senyum bengis tergambar di bibirnya. "Kalau kamu berani melawan, aku tidak akan segan menambah hukuman." Sekejap kemudian, cambuk itu mendarat ringan di paha mulus Ophelia. Bunyi whip terdengar tegas, membuat istrinya terkejut, napasnya tercekat. Matteo menikmatinya, setiap getaran tubuh Ophelia, setiap erangan yang lolos, adalah bukti nyata bahwa kucingnya sepenuhnya tunduk pada tuannya. Tidak berhenti di situ, Matteo meraih alat lain, sebuah penjepit logam tipis. Ia pasangkan dengan tenang, menikmati wajah istrinya yang berubah memerah di antara rintihan. Jemarinya menahan dagu Ophelia, memaksa mata istrinya tetap terbuka. "Lihat aku, kucing manisku. Kamu tidak boleh mengalihkan pandangan dari tuanmu." Ophelia menggigit bibirnya, tubuhnya melengkung tidak berdaya di bawah Matteo. Borgol dan ikatan kulit membuatnya sepenuhnya terjebak, hanya bisa menerima setiap permainan brutal Matteo. Cambuk di tangan Matteo berayun ringan sekali lagi, menyapu kulit paha Ophelia hingga meninggalkan rona merah samar. Tubuh istrinya melengkung, napasnya memburu, erangan samar lolos dari bibirnya. Matteo tersenyum miring, puas dengan reaksi itu. "Aku suka bagaimana tubuhmu merespons, kucing manisku," bisiknya, suaranya berat, penuh kuasa. Ia meletakkan cambuk di samping, lalu meraih sebuah alat getar kecil dari laci. Ujung dinginnya ia tempelkan di perut bawah Ophelia, menelusuri perlahan, sengaja menahan diri, membuat istrinya menggeliat tidak karuan. "Kamu akan menanggung setiap detik yang kuberikan," ucap Matteo dengan nada dingin tapi penuh gairah. Ophelia menahan rintihannya, bibirnya bergetar. Namun sesekali ia memberanikan diri, menatap lurus ke dalam mata Matteo. "Kalau aku tetap menantangmu, apa yang akan kamu lakukan, tuanku?" bisiknya parau, seolah menguji. Matteo tertawa pendek, gelap. "Kucing manisku berani menggigit, ya?" Tangannya menekan alat itu lebih dalam ke tubuh Ophelia, membuatnya melengkung dan berteriak pelan. "Aku akan menaklukkanmu lagi dan lagi, sampai kamu ingat tuan tidak takluk pada peliharaannya." Namun Ophelia tidak sepenuhnya menyerah. Ia menggeliat, mencoba menggeser tubuhnya meski tangannya terikat dan kakinya terhalang tubuh Matteo yang di antara kedua pahanya yang terbuka. Matanya menyala penuh keberanian, dan di sela desahan, ia berbisik, "Mungkin kali ini aku ingin sedikit, mengendalikan tuanku." Matteo menyipitkan mata, lalu tanpa ampun membuka ikatan di tangannya, bukan karena memberi kebebasan, tapi karena ingin melihat sejauh mana istrinya berani. Begitu bebas, Ophelia langsung membalik tubuhnya dengan tenaga yang tersisa, kini ia berada di atas Matteo. Wajahnya memerah, tubuhnya bergetar, tapi sorot matanya tajam. “Bagus.” Matteo terkekeh rendah, suara itu bagai geraman singa yang puas dengan mainannya. Jemarinya melesak ke rambut coklat istrinya, menariknya mendekat hingga wajah mereka nyaris bersentuhan. “Kucingku memang liar,” bisiknya, nada suaranya seperti belati yang menggores halus. “Tapi jangan lupa, bahkan saat kau berada di atas, kau tetap milikku. Kucing kecilku. Peliharaan yang hanya tunduk pada tuannya.” Ophelia tersenyum genit, matanya menyalakan api yang sama sekali tidak jinak. “Benarkah, Tuanku?” suaranya menggoda, nyaris berupa desahan yang membelai telinga. Ujung jarinya melukis garis nakal di d**a bidang Matteo, seakan menantang siapa yang sesungguhnya memegang kendali. Ia membungkuk, napasnya berbaur dengan napas sang suami, panas dan memabukkan. “Kita lihat,” bisiknya, lirih namun menusuk. “Apakah kucingmu ini benar-benar tidak mampu menaklukkan tuannya?” Matteo menahan senyum yang nyaris meledak menjadi tawa puas. Namun sebelum ia sempat menjawab, Ophelia sudah bergerak, lincah seperti predator malam. Tubuhnya meluncur turun, setiap inci gerakan penuh perhitungan, seperti kucing yang sedang bermain-main dengan mangsanya. Jemarinya meraih pinggang sang suami, dan dalam satu tarikan cepat, penghalang terakhir yang menutupi tubuhnya terlepas begitu saja. Ophelia menatap bagian yang kini sepenuhnya terekspos dengan sorot mata nakal. Senyum tipisnya miring, sensual, memabukkan. Ia membungkuk, menurunkan wajahnya perlahan. “Hai, Dumbo,” bisiknya seakan sedang b******u dengan rahasia terlarang. “Apakah kamu merindukan bibirku?” Ujung lidahnya berputar menggoda di bibir, sebelum akhirnya ia meyapukan lidahnya menyapa sebentar ujung si Dumbo tetapi hal itu membuat Matteo menggeram rendah. Tatapannya menusuk ke arah istrinya, tetapi Ophelia tidak berhenti, ia justru semakin menikmatinya. Ia tahu persis titik lemah pria itu. Satu goresan nakal dari lidahnya, dan Matteo yang biasanya setegas baja akan melepaskan kendali, terjerat oleh sensasi yang tidak tertahankan. Erangan tertahan yang lolos dari bibir Matteo membuat Ophelia tersenyum miring, matanya berkilat penuh kemenangan. Untuk sesaat, sang kucing kecil merasa telah menjatuhkan singa perkasa ke dalam jeratannya. Tangannya bertumpu di sisi pinggang Matteo, tubuhnya melengkung anggun, seakan setiap gerakan memang diciptakan untuk menggoda. “Bagaimana rasanya, Tuanku?” bisiknya nakal, suaranya setengah tawa, setengah desahan. “Apakah kau masih mengira aku hanya kucing penurut?” Matteo menatapnya tajam, mata hitamnya berkilat seperti bara yang disiram bensin. Rahangnya mengeras, napasnya teratur namun dalam, tanda ia sedang berusaha keras menahan kendali. Ophelia tahu persis, ia telah menyentuh titik yang paling rapuh dalam pertahanan sang suami. Namun Matteo bukanlah pria biasa. Ia tidak akan membiarkan dirinya terjebak terlalu lama. Jemarinya yang tadi hanya meremas seprai kini melesak ke rambut Ophelia, menarik kepala istrinya ke atas dengan sekali sentakan. Tatapan mereka beradu lagi, panas, liar, penuh tantangan. Matteo menunduk, wajahnya hanya sejengkal dari wajah Ophelia. Hembusan napasnya panas, menyapu kulit istrinya yang memerah, membuat setiap helaan udara seolah menjadi cambuk tidak kasatmata. Tatapannya tajam, mendominasi, seolah hendak menelan habis jiwa yang ia kurung di bawah tubuhnya. Ophelia berusaha mengatur napas, tapi dadanya berdegup terlalu cepat. Jemari Matteo menekan kuat pergelangannya di atas kepala, seakan ingin mengingatkan bahwa tidak ada ruang untuk melawan, tidak ada tempat untuk kabur. Namun justru di situlah letak ketertarikannya. Dalam genggaman kasar itu, Ophelia menemukan kenikmatan terlarang, rasa takut yang bercampur dengan gairah, rasa terjepit yang malah membakar seluruh sarafnya. “Kucing manisku ” suara Matteo turun lebih rendah, hampir berbisik, namun efeknya jauh lebih mencekam. “Kamu boleh melawan, kamu boleh menggoda, tapi pada akhirnya, kamu akan tetap meringkuk di kakiku. Kamu akan tetap menungguku untuk menaklukkanmu, karena di situlah tempatmu.” Ophelia menelan ludah, matanya setengah terpejam. Namun senyum samar muncul di bibirnya, senyum seorang wanita yang tahu bagaimana memainkan bara. “Kalau begitu, jinakkan aku sekali lagi, Tuanku,” ucapnya, suaranya bergetar, penuh tantangan sekaligus penyerahan. Matteo terkekeh rendah, wajahnya semakin dekat, hingga ujung hidungnya menyapu lembut hidung Ophelia. “Kamu meminta badai, kucing manisku. Maka aku akan memberimu badai yang tidak akan pernah kamu lupakan.” Ia mencium bibir istrinya, keras, menuntut, seolah ingin menghapus tawa kecil yang sempat lolos dari bibir wanita itu. Ciumannya bukan sekadar pelekat, melainkan pernyataan kepemilikan, seperti tanda yang terpatri dalam-dalam.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN