3. Aku Akan Menjagamu dan Ku Pastikan, Tidak Ada Yang Menyentuhmu

1182 Kata
Siang menjelang. Langit cerah, tapi hati mereka masih diselimuti awan mendung. Konvoi mobil hitam akhirnya membawa Katerina kembali ke mansion Morales. Di sana, segalanya sudah disiapkan. Para pengawal menjaga lebih ketat dari biasanya, setiap sudut rumah dijaga penuh kewaspadaan. Matteo sendiri yang mendorong kursi roda Katerina masuk ke kamar tamu yang telah dipersiapkan dengan sempurna. Ruangan itu bernuansa hangat, tirai lembut berwarna gading menjuntai, ranjang besar dengan sprei putih bersih menyambutnya. Matteo membantu Katerina berbaring dengan hati-hati, seolah setiap gerakan bisa memecahkan sesuatu yang rapuh. Dengan tangan maskulinnya, ia menarik selimut hingga menutupi tubuh perempuan itu. "Istirahatlah," ucapnya lirih, suaranya datar tapi ada nada hangat yang samar, seperti perintah sekaligus belaian. Matteo berdiri, siap beranjak. Namun sebelum langkah kakinya benar-benar menjauh, sebuah sentuhan lembut menahan gerakannya. Jemari Katerina, lemah namun penuh permohonan, melingkari pergelangan tangannya. "Jangan pergi," suaranya nyaris seperti bisikan, rapuh, pecah di ujung kata. Kedua matanya yang bening kini berkaca-kaca, menatapnya dengan ketakutan yang tidak bisa ia sembunyikan. "Bisakah kamu temani aku di sini? Bayangan semalam masih terlalu jelas, setiap kali aku pejamkan mata, aku kembali di sana. Aku takut." Matteo terdiam. Punggungnya menegang, jemari yang masih terperangkap dalam genggaman itu seolah menyalurkan sesuatu yang samar, perasaan yang tidak seharusnya ada. Tatapannya jatuh pada wajah Katerina yang pucat, pada bibir yang bergetar menahan isak, pada mata yang memohon dengan tulus. Ada bahaya dalam kedekatan ini, sebuah batas yang seharusnya tidak mereka lewati. Namun, bagaimana mungkin ia meninggalkannya sendirian dalam ketakutan seperti itu? Dengan helaan napas berat, Matteo menarik kursi dan duduk di sisi ranjang. Ia membiarkan jemari Katerina tetap menggenggam miliknya, tidak sanggup melepaskan. "Tidurlah," katanya lirih, nyaris seperti janji yang terucap dari lubuk hati. "Aku di sini. Tidak akan ada yang menyakitimu." Namun Katerina menggeleng pelan. Air matanya kembali jatuh, membasahi pipinya. "Tidurlah di sampingku, Matt," ucapnya, suara itu setengah memohon, setengah merintih. Ada kepasrahan sekaligus kerinduan yang samar dalam nada suaranya. Matteo terdiam lama. Hatinya berperang dengan logika. Hingga akhirnya, ia berdiri perlahan, berjalan mengitari ranjang, dan naik ke atasnya. Ia memposisikan tubuhnya miring, menghadap Katerina. Jarak mereka begitu dekat hingga Matteo bisa merasakan aroma samar bunga dari tubuhnya yang bercampur dengan bau antiseptik rumah sakit. "Tidurlah," ucap Matteo lagi, suaranya tegas, tapi lembut , seperti benteng yang rapuh di tengah badai. Katerina tidak menjawab. Ia hanya menarik tangan Matteo dan meletakkannya di bawah kepalanya, menjadikannya bantal. Tubuhnya bergerak mendekat, hingga kepala mungilnya bersandar di lengkung lengan kokoh Matteo. Wajahnya menempel pada d**a bidang itu, mendengar detak jantung Matteo yang stabil dan menenangkan. "Masih hangat, seperti dulu," bisiknya pelan, hampir tidak terdengar. Matteo menunduk. Pandangannya bertemu dengan mata Katerina yang kini menatapnya dari jarak yang mustahil untuk dihindari. Napas mereka beradu, hangat dan saling menyesap satu sama lain. Satu tangan Katerina terangkat, bergetar namun pasti. Jemarinya menyentuh pipi Matteo, mengusap lembut garis rahang dan kulit dingin yang terasa familiar. "Hangatnya, masih sama," ucapnya dengan senyum getir, seolah menemukan kembali sesuatu yang hilang sejak lama. Matteo terpaku. Ia seharusnya menarik diri, seharusnya menghentikan semua ini. Namun tatapan itu, sentuhan itu, seakan meluluhkan tembok baja yang bertahun-tahun ia bangun. Perlahan, Katerina semakin mendekat. Helaan napas mereka kian menyatu. Hingga akhirnya, tanpa kata, bibir mereka bertemu. Sentuhan pertama itu begitu lembut, seperti keraguan yang manis, namun juga berbahaya. Tidak ada yang bergerak, seakan waktu benar-benar membeku. Ciuman itu berakhir dengan keduanya terengah, napas mereka sama-sama memburu, seolah paru-paru menolak bekerja dengan benar. Matteo masih menatap Katerina dari jarak yang begitu dekat, sorot matanya dalam, berat, seakan hendak mengikat perempuan itu hanya dengan pandangan. "Tidurlah," ucapnya lirih, suara rendahnya menggetarkan ruang sepi itu. "Kamu harus beristirahat." Katerina tidak menjawab. Bibirnya bergetar, matanya menunduk, dan dalam keheningan itu ia justru merapatkan tubuhnya pada d**a Matteo, mencari perlindungan yang selama ini ia rindukan. Tanpa banyak kata, Matteo akhirnya membalas. Lengan kokohnya melingkari tubuh rapuh Katerina, menariknya dalam dekapan. Ia membiarkan kehangatan tubuhnya menjadi selimut, membiarkan detak jantungnya menjadi pengantar tidur bagi perempuan itu. Di dalam pelukan itu, Katerina perlahan melepas resahnya. Kelopak matanya menutup, napasnya mulai teratur, sesekali terdengar helaan lembut di antara diamnya. Matteo masih terjaga, menatap wajah Katerina yang kini tertidur dengan damai. Pelan-pelan, Matteo mengangkat kepala Katerina dari lengannya yang mulai kebas. Ia memindahkan kepala itu ke atas bantal, gerakannya hati-hati, seolah takut membangunkannya. Sesaat, ia masih berdiri di tepi ranjang, menatap wajah pucat itu dengan tatapan yang tidak bisa dijelaskan. Bibirnya menipis, jemarinya mengepal, menahan sesuatu yang bergolak di dalam dirinya. Lalu ia berbalik, melangkah keluar dari kamar dengan langkah berat. Pintu tertutup perlahan di belakangnya, meninggalkan Katerina dalam diam penuh rahasia. Begitu berada di lorong, Matteo bersandar sejenak pada dinding, meremas jemarinya yang masih terasa hangat bekas genggaman Katerina. Hatinya bergejolak, antara kenyataan yang ia hidupi, dan perasaan yang masih sama sampai detik ini. Namun, ada hal yang lebih penting sekarang. Ia harus menemukan istrinya. Sejak kembali ke mansion, ia belum melihat bayangan perempuan yang seharusnya menemaninya sebagai pendamping hidup. Ia pergi ke kamarnya, akan tetapi, ranjang itu kosong, sunyi tanpa kehadirannya. Ada keganjilan yang mengusik Matteo. Istrinya bukan tipe yang akan diam tanpa suara, apalagi jika menyangkut Katerina. Langkah Matteo terdengar mantap ketika ia menyusuri koridor rumahnya. Baru saja ia hendak menelusuri lebih jauh rumah itu, ingatan akan malam sebelumnya menyambar kepalanya. Istrinya. Masih terikat di sana. "Sial," desis Matteo, dingin dan tajam, lalu tanpa ragu ia segera berjalan setengah berlari ke arah ruang bermain, mendorong pintu dengan kasar hingga terbuka lebar. Lampu redup menyinari ruangan, menampilkan pemandangan yang sudah biasa baginya, sebuah permainan yang berlanjut terlalu lama. Dan di sana, tepat di hadapannya, Ophelia masih tergantung dengan posisi tubuh membentuk huruf X. Tubuhnya terkulai, rambut panjangnya tergerai berantakan, wajahnya pucat namun tetap menyisakan jejak kelembutan yang hanya dimiliki oleh dirinya. "Dasar bodoh!" Matteo mendengus sembari melangkah masuk. Ia menghampiri, menatap tubuh istrinya dari dekat. Di bawahnya, jelas terlihat jejak panas yang tertinggal akibat benda yang sengaja ditinggalkan di dalam area private sang istri. Matteo berjongkok, menatap wajah Ophelia yang masih terikat dengan ball gag, air liurnya membasahi dagu, membuat wajah cantiknya tampak berantakan. "Bangun!" suara Matteo terdengar tegas, penuh perintah. Kelopak mata Ophelia bergetar, perlahan terbuka. Senyum samar muncul di wajahnya, meski tubuhnya lemah. Matteo menatapnya dengan sorot tajam. "Dasar murahan. Hanya dengan alat pun kau sudah basah seperti ini," ucapnya dingin, sebelum telapak tangannya menyentuh wajah Ophelia dan menamparnya pelan, sekadar menegaskan kuasanya. Ophelia tidak membalas. Hanya senyum tipis yang tetap menghiasi bibirnya, seolah menerima setiap perlakuan tanpa keluhan. Matteo segera melepaskan ball gag dari mulutnya, lalu membuka borgol yang mengikat tangan dan kakinya. Tubuh Ophelia jatuh lemah, langsung disambut oleh lengan kokoh Matteo yang tanpa banyak bicara mengangkatnya. Dengan langkah mantap, ia membawanya ke ranjang besar di ruang itu. Diletakkannya tubuh istrinya di atas kasur, namun Matteo tidak memberi ruang bagi Ophelia untuk menjauh. Tubuhnya langsung menindih tubuh sang istri, mengurungnya di bawah. Tangannya menggenggam rahang Ophelia, menegakkan wajahnya agar mata mereka saling bertemu. Matteo mendekat, suaranya rendah, nyaris berupa bisikan. "Kucing penurut." Ucapan itu segera disusul dengan ciuman panas, bibir Matteo menempel pada bibir istrinya dengan rakus. Tidak ada jeda, tidak ada kelembutan yang berlebihan, hanya hasrat yang menuntut, rasa memiliki yang tidak terbantahkan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN