Broto menyeringai sinis, mengangkat wajahnya dengan angkuh. Tatapan matanya menusuk, seolah -olah ia baru saja memenangkan permainan yang sudah dirancang dengan penuh perhitungan. “Pras… Kamu terlalu percaya pada orang-orang di sekelilingmu. Bahkan pada istrimu sendiri. Tapi lihat, kamu kalah. Lagi.” Ia tertawa pelan, suara tawanya terdengar seperti ironi yang menusuk. Lalu, ia berdiri, merapikan jasnya yang nyaris tak kusut, dan menatap Prasetyo sekali lagi kali ini dengan pandangan kosong, seperti seorang eksekutor yang sudah menyelesaikan tugasnya. “Tidak ada lagi yang perlu dibicarakan,” katanya sambil melangkah menuju pintu. “Anggap saja, utang kita lunas.” Prasetyo hanya menggeleng pelan, tidak ingin memperpanjang perdebatan. Ada sesuatu yang jauh lebih penting daripada melayani