Beberapa hari kemudian, Widi kembali datang sesuai dengan permintaan sang Ayah. Ruangan itu terasa begitu pengap. Widi duduk di tengah-tengah ruang tamu rumah orang tuanya yang besar, mewah, dan dingin oleh pendingin udara. Namun, keringat tetap merembes dari pelipisnya. Di hadapannya, Ayah berdiri dengan tatapan tajam dan rahang yang mengeras. Di sisi lain, Ibu hanya bisa memegangi dadanya, mencoba menahan emosi yang bercampur aduk antara malu dan sedih. Beberapa kerabat keluarga besar turut hadir, membentuk lingkaran diam yang penuh tekanan. “Kamu pikir, kamu bisa menyembunyikan semua ini dari Ayah?” suara Ayah menggelegar, menggema keras ke seluruh penjuru ruangan. "Hmm? Kamu pikir, Ayah ini lelaki bodoh yang sama sekali tidak memantau kamu?" Widi hanya menunduk, kedua tangannya sali