Di Antara Kepercayaan Dan Keraguan

1135 Kata
Rizky POV Sudah enam bulan aku tinggal di Desa Jeumpa, bersama istriku, Rania Amelia. Setidaknya, itulah nama yang dia katakan padaku, saat aku bertanya padanya, bahwa dia adalah istriku, bahwa kami adalah sepasang suami istri , bahwa kami sudah menikah secara siri di Banda Aceh dan pulang ke desanya untuk menikah resmi dengan ayahnya sebagai wali. Tapi semua yang dikatakannya, tidak bisa aku ingat. Aku tidak bisa mengingat apa pun sebelum tsunami itu datang dan menyapu segalanya. Masa laluku seakan tenggelam bersama air bah yang menghancurkan seluruh kota. Aku hanya ingat satu nama Amelia. Dan wanita di sampingku ini, yang kini ingin kupanggil Rania, bersikeras bahwa dia adalah Amelia. Dia adalah orang yang sama dengan nama yang kuingat. " Mulai sekarang panggil aku Rania saja," katanya dengan suara lembut. "Di sini semua orang mengenalku dengan nama itu." Aku menurut. Apalah arti sebuah nama, kalau aku bahkan tidak tahu siapa diriku sendiri? Saat aku bertanya tentang masa laluku, Rania bercerita bahwa aku yatim piatu yang dulu bekerja sebagai salesman di sebuah toko distributor sembako di Banda Aceh. Bahwa kami sering berpapasan saat dia pulang sekolah, lalu saling jatuh cinta. Kami menikah secara sederhana karena ingin tinggal bersama dalam satu kos kecil demi menghemat uang, karena hukum di Aceh, tidak memperbolehkan wanita dan lelaki tanpa pernikahan tinggal di rumah yang sama. Hingga akhirnya, di libur akhir tahun, kami memutuskan pulang ke rumah ayahnya untuk meminta restu menikah secara negara di KUA. Tapi baru sesaat kami tiba , sebelum niat kami terwujud, tsunami datang menerjang dan memporak-porandakan semuanya. Menurut Rania, aku saat itu berusaha menyelamatkan mobilku, yang merupakan mobil kantor yang kupinjam agar kami bisa pulang ke Desa Jeumpa. Mobil itu kuparkir di lapangan bawah bukit. Namun, gelombang raksasa menghantam mobil itu dan menyeretnya kembali ke pekarangan rumah ini. Aku terombang-ambing di dalamnya, tubuhku terbanting ke sana kemari, dan akhirnya semuanya gelap. Aku terbangun dengan kepala berdenyut hebat, kaki patah, dan ingatan yang kosong, mungkin karena terhantam kaca saat aku terbanting di dalam mobil. Aku bersyukur tidak terlempar keluar dari mobil berkat seatbelt yang ku pasang erat, meskipun kini aku tidak punya ingatan apapun, tapi aku mempunyai satu hal pasti. Satu hal yang kupegang erat yaitu dirinya…… Rania Amelia, wanita yang menjadi istriku. Dia satu-satunya yang bisa memberitahuku siapa aku. Satu-satunya yang masih ada untukku. Satu-satunya yang mengenalku atau setidaknya, itulah yang kupercayai. "Biarlah kamu lupa semuanya," katanya suatu hari, suaranya tenang namun terdengar seperti menyembunyikan sesuatu. "Yang penting aku ada di sampingmu. Kita tutup lembaran masa lalu dan bersama-sama membangun masa depan. Aku berjanji akan bekerja keras agar hidup kita lebih baik di desa ini. Kita tidak usah kembali ke Banda Aceh. Aku ingin kita tetap tinggal di sini saja." Aku mengangguk. Aku setuju. Untuk apa kembali ke kota yang hancur, ke tempat yang kami tidak ada tempat berlindung. Di sini, setidaknya kami masih punya rumah. Sementara banyak orang kehilangan segalanya, kami masih mempunyai tempat berlindung dari panas dan hujan. Aku bersyukur ada Rania yang tetap di sisiku, meskipun aku tahu… sesuatu terasa tidak sepenuhnya benar,aku merasa ada ruang kosong di kepalaku yang berisi beribu pertanyaan yang tidak bisa aku jawab tentang siapa aku dan siapa dirinya. Namun, aku memilih untuk percaya padanya. Karena, tanpa dia, aku tidak punya siapa-siapa, karena tanpa dia yang menyelamatkanku, mungkin saja aku sudah tidak bernyawa. Aku duduk di teras rumah, mengamati Rania yang tampak lelah. Perutnya kini membesar, pertanda bahwa sebentar lagi bayi kami akan lahir. Aku tahu keadaan ini sulit baginya. Tidak ada bidan, tidak ada dokter kandungan, tidak ada puskesmas apalagi rumah sakit, bahkan bantuan medis pun masih sangat terbatas. "Ran… minggu depan ada dokter yang akan datang ke posko kesehatan. Kita pergi bersama ya? Sudah enam bulan, tapi kamu belum pernah cek kandungan sama sekali," kataku dengan suara lembut, mencoba meyakinkannya. Dia terdiam sejenak. Napasnya terdengar berat, seolah sedang memikirkan sesuatu yang sulit. "Tidak usah pergi bersama. Aku pergi sendiri saja," katanya akhirnya, suaranya lirih. "Kamu di rumah saja. Dokternya ada di posko yang agak jauh, dan kakimu masih belum pulih sepenuhnya. Aku tidak ingin kamu kelelahan berjalan ke sana." Aku mengernyit. "Tapi masak kamu periksa kehamilan tanpa didampingi suami?" Rania menarik napas dalam, lalu tersenyum tipis. "Ini keadaan luar biasa, Rizky. Aku masih beruntung punya suami… bagaimana dengan ibu-ibu lain yang kehilangan suami mereka dalam tsunami?" Aku terdiam. Kata-katanya benar. Aku dan dan dia harus bersyukur, kami masih bisa saling memiliki satu sama lainnya, sedangkan banyak orang yang kehilangan suaminya, kehilangan istrinya bahkan kelihangan seluruh keluarganya. "Biar aku pergi sendiri saja," lanjutnya. "Kamu istirahat di rumah, sambil masak nasi. Jadi saat aku pulang nanti, kita bisa langsung makan." Aku menatapnya lama, lalu mengangguk. "Baiklah, kalau itu maumu." Kakiku masih terasa nyeri setiap kali aku melangkah terlalu jauh. Tulangnya belum benar-benar menyatu, dan aku masih harus bertumpu pada kruk ini. Tapi rasa sakit di kakiku bukanlah hal yang paling mengganggu pikiranku. Rania. Aku tahu dia hanya ingin aku beristirahat. Aku tahu dia peduli padaku, menjaga kesehatanku. Tapi ada sesuatu dalam sikapnya yang terasa… ganjil. Kenapa dia selalu menjaga jarak? Kenapa dia tidak pernah membiarkanku pergi lebih jauh dari desa Jeumpa ini? Aku hanya boleh pergi ke posko bantuan makanan, tapi kalau aku ingin ke posko kesehatan, selalu ada alasan yang dia buat untuk mencegahku. Awalnya, aku tidak memikirkan itu. Aku percaya padanya. Aku percaya bahwa semua yang dia lakukan adalah untuk kebaikanku. Tapi semakin hari, semakin aku merasa ada sesuatu yang tidak dia katakan padaku. Rania berdiri dari duduknya, mengusap perutnya yang semakin membesar. "Aku mau berbaring sebentar. Pinggangku sakit," katanya lirih. Aku mengangguk. "Istirahatlah." Dia tersenyum tipis lalu berjalan ke kamarnya. Seperti biasa. Seperti enam bulan terakhir ini. Seperti setiap malam saat dia menutup pintu dan membiarkan aku tidur di kamar abangnya. Aku memandang pintu kayu itu lama. Kenapa? Kami suami istri. Kami tinggal di rumah yang sama. Kami telah menjalani hari-hari bersama sejak bencana itu terjadi. Tapi kenapa kami selalu tidur di ruangan yang berbeda? Di awal, aku menganggapnya wajar. Mungkin karena kehamilannya, mungkin karena dia masih berduka atas kepergian ayah dan kakaknya. Tapi sekarang, setelah enam bulan berlalu, aku mulai bertanya-tanya, apakah ada alasan lain? Aku menepis pikiran itu jauh-jauh. Aku tidak boleh ragu padanya. Aku tidak boleh mempertanyakan segalanya. Aku menghembuskan napas panjang, mencoba mengusir semua keraguan. Sejak aku terbangun tanpa ingatan, Rania adalah satu-satunya yang aku miliki. Aku tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini. Dia istriku. Dia sedang mengandung anakku. Apa lagi yang harus aku ragukan? Aku harus percaya padanya. Aku akan percaya padanya. Aku akan melupakan semua keraguan ini dan melanjutkan hidup kami bersama. Aku akan membangun kembali hidup kami di Desa Jeumpa, membentuk keluarga kecil kami. Karena sekarang, yang terpenting bukanlah masa lalu. Yang terpenting adalah masa depan kami berdua. Tapi jauh di lubuk hatiku, ada suara kecil yang terus berbisik, seakan mengingatkanku… 'Rizky… ada sesuatu yang tidak kamu ketahui.'
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN