Nia datang ke mari tanpa seseorang pun yang mengetahuinya. Tidak Diah dan tidak pula Ramdan. Jadi ketika ia menemukan apa yang selama ini tersembunyi darinya, Nia merasa benar-benar sendiri. Tanpa satu pun tempat mengadu. Lagian memang selama ini pun tidak ada tempat mengadu. Dia memang diciptakan tunggal, tanpa keluarga, dan harusnya juga tanpa perasaan seperti yang Ramdan pernah katakan. Karena sebagai pengganti Nia tidak butuh yang namanya perasaan. Sebagai seorang pengganti Nia tidak butuh untuk merasa lemah. Sebagai pengganti Nia tidak seharusnya punya perasaan ingin dilindungi oleh seseorang. Sebagai pengganti seharusnya Nia tidak bodoh dengan menyerahkan hati yang padahal bukan miliknya pada pria yang hanya pernah ia temui sekali. Sekarang untuk pertama kalinya ia ingin Aini ada untuknya, mendengarkan keluh-kesahnya, menghibur hatinya yang hancur. Tapi gadis itu entah dimana rimbanya.
Begitu melangkah keluar dari pintu utama rumahnya Arif, air mata langsung membanjiri wajahnya. Semua keanghuhannya selama ini hilang tak bersisa dan Nia tak ubahnya dengan Radinka Aini.
Arif yang masih tidak tenang perasaannya karena tidak mendapat perlakuan yang semua pria akan dapatkan dari Nia, menyusul wanita itu. Memang alasan Nia masuk akal, dia tidak mencintai Arif dan di sisi lain ada Keysha yang menghuni hatinya Arif. Keadaan sebenarnya sangat menguntungkan untuk mereka berdua. Tapi tetap saja, Arif merasa perlu, setidaknya untuk terakhir kali, memastikan bahwa gadis itu memang baik-baik saja.
Memacu langkahnya mengejar Nia, Arif mendapatkan gadis itu di dekat pagar rumah. Sudah memanggil beberapa kali tapi Nia seolah menulikan pendengarannya. Dengan terpaksa, Arif meraih pergelangan tangan Nia dan menyentaknya agar menoleh. Betapa kagetnya dia mendapati wajah penuh air mata dari Puti yang semua orang cintai itu.
“Nia.. kamu..” ucap Arif terbata karena terlalu panik mendapati Nia menangis. “Kamu kenapa? Ayo masuk dulu!” ajaknya. Di Medan beberapa bulan yang lalu Arif diperlakukan begitu baik oleh Datuk-nya Nia dan sudah seharusnya ia melakukan hal yang sama untuk perempuan ini bukan?
Nia menarik lepas tangannya dari cekalan Arif kemudian menyeka air matanya yang terlanjur ketahuan. Meski diseka berapa kali pun, matanya terus saja basah. Dengan penglihatan yang kabur, Nia mencoba tersenyum kemudian menggeleng lemah. “Aku baik-baik aja, cuma lagi senang aja bisa bebas dari perjodohan bodoh ini,” ucap Nia.
“Mau kemana kamu dengan keadaan seperti itu?” tanya Arif pada Nia yang kembali membelakanginya, melangkah lebih jauh menuju pagar rumah.
Nia tidak lagi bersuara. Tidak sanggup bersuara lebih tepatnya. Sebagai jawaban, ia hanya memberikan gelengan lemah pada Arif.
Ada yang bilang seperti ini, harimau yang buas saja bisa menjadi begitu penyayang pada anak-anaknya. Dan ternyata hal itu juga berlaku pada Nia. Dia yang suka memberontak, tidak suka diremehkan, dan merasa bahwa semua orang harus mendahulukan dirinya dari apapun toh tidak bisa menjadi dirinya sendiri saat bersama Arif. Harusnya memberi pelajaran pada pria itu tapi dirinya tidak kuasa.
>>>
Ibarat sebuah pekerjaan, jobdesk-nya Nia ini adalah memastikan Puti Radinka Aini Jebat tampak paripurna. Itulah alasan kenapa Nia diciptakan terlalu sempurna. Tapi hari ini, hanya untuk hari ini, Nia tidak janji bisa melakukan pekerjaannya seperti biasa.
Supir taksi itu menerima uang yang penumpangnya sodorkan. Iba sekali dirinya pada wanita-wanita yang patah hati seperti gadis cantik itu. Sudah tidak perlu ditanyakan lagi kenapa gadis cantik tiba-tiba menangis di siang hari bukan? Jawabannya pasti karena patah hati. Karena kalau dia menangis akibat ditinggal mati keluarga, sudah pasti dia tidak ke mall. Pasti minta diantarnya ke rumah.
Menatap pada punggung yang masih bergetar karena menangis itu kemudian menghela napas berat, kini si supir taksi melirik uang yang ia terima. Dia kembali menghela napas berat. Uang yang gadis itu berikan kurang lima ribu nih. Gadis itu pasti berpikir uangnya berlebih lima ribu padahal sebenarnya kurang lima ribu. Kalau sedang patah hati memang banyak kemampuan yang tiba-tiba menurun. Kemampuan menghitung misalnya.
Nia terus berjalan di dalam mall yang baru pertama ia datangi ini hanya untuk mendapatkan seember es batu untuk disiramkan ke kepala. Berharap dengan begitu perasaannya bisa jadi jauh lebih baik. Tanpa tau kemana tujuannya melangkah, Nia terus saja berjalan denga sepasang mata yang hanya terarah pada lantai. Tidak peduli pada orang-orang yang mungkin saja menatapnya penuh minat. Akibatnya beberapa kali ia menabrak pengunjung mall lainnya.
Untuk sekian kalinya Nia kembali meringis. Dirinya kembali menabrak pengunjung lain. Jelas sekali orang yang ia tabrak barusan bertubuh besar sampai Nia terhuyung ke belakang. Sedang meratapi nasibnya itu, Nia masih saja sempat bertanya-tanya gorila mana yang lepas dari kandangnya.
Nia sudah memejamkan mata, ikhlas dunia-akhirat kalau bokongnya harus mencium lantai. Lagian benar juga sih, mana ada yang dapat musibah tanggung-tanggung. Kalau tidak mustahil akan ada pribahasa sudah jatuh tertimpa tangga pula. Maksud Nia adalah tidak mungkin ia hanya mendapati pria yang disukainya ternyata memiliki wanita lain saja, pasti akan ada kejadian yang membuatnya fisiknya juga terluka. Dan sekarang lah saatnya.
Padahal tubuhnya belum jatuh tapi Nia sudah merencanakan untuk menemui tukang urut yang paling terkenal di Padang setelah ini. Namun di saat yang bersamaan sebuah tangan besar menarik lengan atasnya sehingga Nia kembali berdiri tegak. Mau tidak mau Nia menoleh jua pada orang yang sudah berbaik hati menolongnya itu.
Pria beranak empat tepatnya yang Nia tabrak dan pria itu pula yang menyelamatkannya dari bagian ‘tertimpa tangga pula,’ di pribahasa yang tadi Nia bahas. Tiga anak pria itu berada di sisi kanan dan kirinya sementara yang paling kecil berada di gendongan. Kini lima orang itu menatap Nia seolah tidak pernah menatap wanita yang patah hati. Memangnya di Jakarta tidak ada begitu, perempuan yang patah hati yang nge-mall?
“Kamu kenapa?” tanya Pria beranak empat yang Nia akui sangat tampan itu.
“Kamu siapa?” balas Nia bingung. Kenapa pula orang ini mengajukan pertanyaan yang sama dengan yang Arif ajukan? Membuat Nia kembali teringat pria itu saja.
“Kamu lupa sama aku? Setelah menghalangiku untuk ketemu sama kamu sekarang kamu pura-pura lupa sama aku?” tanya Fateh kesal. Segitu tidak ingin ya wanita ini kalau Fateh menikung calon suaminya itu?
Untuk sesaat Nia melupakan masalahnya dan berpikir keras dimana rupanya dia bertemu pria beranak empat ini? Kenapa pula Nia menghalanginya untuk bertemu? Kayak yang Nia kurang kerjaan sekali.
Fateh berdecak kesal. Apakah cara kerjanya seperti ini? Kalian tau, ‘kan, kalau daya jangkau wifi itu hanya berkisar kurang lebih seratus meter? Jadi kalau kalian streaming youtube di luar daerah yang seratus meter itu, videonya macet. Patah-patah gitu, kaya CD bajakan yang dijual lima ribuan yang setelah tiga kali putaran jadi rusak. Apa Puti Aini yang terhormat yang super sibuk juga seperti itu jadi lemot begitu keluar dari sarangnya? Ya mengingat jarak Padang Jakarta itu kurang lebih seribu dua ratus tujuh puluh lima kilometer. Bisa aja kan?
“Sudah?”
“Sudah apa?” tanya Nia bingung. Fix, pria ini membuatnya lupa pada patah hatinya karena mengajukan pertanyaan yang tidak lengkap seperti barusan.
“Udah ingat sama aku?” tanya Fateh dengan gemertuk pada gigi atas dan bawahnya. Sementara si kembar yang tadi sibuk sendiri tiba-tiba diam, memasang telinganya baik-baik. Fateh yakin kalau nanti Maga adalah orang pertama yang mengadukan apa yang ia lihat dan dengar pada Bang Raka lalu dua saudara kembarnya akan menambah-nambahkan komentar. Fateh tau harusnya ia menjaga sebisa mungkin agar tidak kembali di cibir oleh Bang Raka tapi ia gemas dengan Puti Aini yang melupakannya begitu saja. Padahal Fateh tidak bisa melepaskan bayangnya begitu saja.
Nia menggeleng.
“Aku Fateh. Orang yang makan malam sama kamu dan saudaramu bahkan besok harinya kita kembali ketemu.”
“Iya, dia Om Ateh,” ucap Rima mengangguk setuju. Di sampingnya Ghafi langsung membekap mulut kembarannya yang hobi sekali ikut campur urusan orang dewasa.
Fateh melihat Puti Aini mengerutkan dahinya.
Mau tidak mau Nia harus menyuarakan isi kepalanya para pria yang mengaku sebagai Fateh. “Tapi Aini bilang anakmu cuma dua,” ucapnya kemudian melihat pada empat bocah yang bersama Fateh.
“Apa Fateh pernah bilang kalau dia sudah punya anak?” tanya Fateh kesal luar biasa.
“Tau nih.. aku kan bilangnya Om Ateh.. bukan Papa atau Ayah,” ucap Rima yang berhasil lepas dari bekapan Ghafi melalui sebuah tendangan di tulang kering.