Ia masih berdiri di depan pintu. Menatap pada arah di mana Fateh akhirnya pergi. Aini merasa sudah cukup diberi kesempatan untuk melihat dari dekat bahkan mengobrol dengan kekasih hatinya itu. Karena kalau tidak, kalau ia masih saja bertemu dengannya, Aini khawatir akan berubah menjadi serakah. Memang sedih rasanya mengingat bahwa dirinya tidak berjodoh dengan pria itu. Tapi kembali lagi pada prinsipnya selama ini, selama Fateh bahagia, Aini juga akan merasakan hal yang sama. Jadi, selama pria itu bahagia dengan keluarganya, Aini akan mencoba untuk turut bahagia pula. Walaupun tentu saja sulit karena bahagia Fateh bukan dirinya sedangkan bahagia Aini adalah pria itu seorang.
Otaknya dengan keras kepala mengatakan tidak ada yang berubah karena toh selama ini pun Fateh tidak pernah benar-benar muncul dalam hidupnya, tapi Ai tetap merasakan kekosongan pada dadanya. Menyadari bahwa pria yang ia inginkan untuk bersamanya sepanjang masa, pria yang menjadi penyemangat hidup Aini hanya dengan mengingat bagaimana tingkahnya di Bina Bangsa sudah harus ia lupakan. Karena nyatanya dia tidak akan pernah bisa Aini miliki.
Dan sekarang lima menit setelah pria itu pergi, Ai menyadari satu hal yang membuat dadanya berdetak dengan cara yang paling menyakitkan. Bahwa ternyata ada yang terasa jauh lebih menyedihkan dari pada mengetahui Fateh sudah berkeluarga. Yaitu melepaskan bayangnya untuk selamanya. Hanya bayang Fateh loh, tapi kenapa sesulit ini? Fateh bukannya pergi ke alam baka tapi Aini benar-benar tidak bisa menghentikan derai tangisnya.
Kehidupan Aini di Bina Bangsa tidak pernah bersentuhan sama sekali dengan Fatih Ardan Mubarack. Namun begitu Ai tetap punya kenangan tentang pria itu karena selalu melihatnya dari jauh. Tawa Fateh bahkan keisengannya terasa begitu segar di ingatan Aini Seolah pria itu tertawa untuknya, juga sambil menatap matanya.
Sebut dirinya penghayal garis keras. Sebut saja, silahkan sebut dengan cara terbaik yang kalian punya sehingga Aini merasa bodoh dan dipermalukan. Sebelum semalam, Aini pernah atau selalu berharap suatu hari Fateh akan mendatanginya dan mengaku bahwa selama ini pun dia juga selalu memperhatikan Aini di Bina Bangsa, diam-diam tanpa sepengetahuan Aini sendiri. Bahwa Fateh telah menanti agar perasaannya pada Aini bersambut. Tapi mana mungkin ya, ‘kan? Aini memperhatikan Fateh itu sudah seperti setiap saat. Mana lagi waktu yang tersisa untuk Fateh memperhatikannya?
Diah baru saja selesai mandi sore itu ketika ia tidak menemukan majikannya dimana-mana. Menyusuri semua ruangan di rumah itu di mana Puti Aini biasa menghabiskan waktu, tetap saja ia tidak menemukan beliau.
Di ruang kerjanya tidak ada.
Di kamar mandi tidak ada.
Di dapur tidak ada.
Di pustaka pun tidak ada.
Diah menggeleng, tidak mungkin sang putri berada di luar bukan? Ini hujan deras, ngapain Puti Aini berada di luar? Mandi hujan? Yang benar saja, hanya bocah yang masih mandi hujan. Namun begitu Diah tetap mau mencoba mengecek. Mengecek saja kan tidak rugi. Tidak basah juga karena dia sudah menyambar payung.
Begitu sampai di luar Diah segera membuang payungnya dan berlari pada Puti Aini yang berdiri pada kedua lututnya. Ketika Diah sampai di depan sang majikan, ia bisa melihat Puti Aini memegang dadanya erat seolah beliau merasa begitu sakit di sana.
Diah panik. Puti nya yang sudah berhenti menangis sejak bertahun-tahun lalu kembali menangis tapi dengan cara yang paling memilukan. Seperti dirinya sedang menghadiri sebuah pemakaman dan sudah tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini. Sebanyak apapun Diah bertanya pada sang majikan tentang apa yang terjadi, ia tetap tidak mendapatkan jawaban. Karena merasa dirinya tidak akan bisa menyelesaikan masalah ini Diah menawarkan pada Puti Aini untuk menghubungi Sultan Ramdan saja.
Aini menangkap lengan dayangnya yang berniat menjauh. “Bantu aku ke dalam saja. Aku mau tidur,” ucapnya lirih.
Tidur? Tidur apanya karena Diah tidak akan mengizinkan sang majikan untuk tidur tanpa mandi terlebih dahulu. Tentu saja Puti Aini menolak di suruh mandi, akan tetapi Diah menggertak majikannya tersebut sehingga tidak punya pilihan selain masuk ke bawah pancuran shower. Dan ya, Puti Aini memang masuk ke bawah pancuran shower tapi dengan pakaian lengkap dan tidak melakukan apa-apa. Hanya melamun sambil memandangi tembok.
Kepala Diah jadi begitu gatal. Semuanya gatal padahal ia yakin tidak sedang kutuan. Tidak ingin melihat pemandangan itu lebih lama ia segera beranjak menuju dapur. Sudah lama memang Puti Aini tidak minum coklat panas. Tapi Diah mendapat firasat ia harus membuatkan itu alih-alih memberikan teh.
Padahal dirinya yakin tidak membutuhkan waktu lama hanya untuk secangkir coklat panas, tapi ketika kembali ke kamar sang majikan Diah menemukannya hendak menyuruk di balik selimut tebalnya. Tidak bisa, tentu saja tidak bisa karena Diah, lagi-lagi, tidak akan mengizinkannya.
Diah menyambar tangan sang Putri, membuat mereka berdua sama-sama kaget. Puti Aini kaget karena dirinya ditarik dengan cukup kuat sedang Diah kaget karena dirinya bisa bersikap seperti ini pada majikan yang sangat ia hormati. Namun begitu, pegangan Diah pada lengan kanan Puti Aini tidak mengendor sama sekali. Diah juga tidak kicep seperti biasa saat ditatap sang majikan, ia justru memberikan senyum manisnya.
Setelah adegan tarik-menarik dengan Diah di sinilah Aini duduk dengan segelas coklat panas pada kedua tangannya. Duduk merenung di depan cermin dengan Diah yang sedang mengeringkan rambutnya.
“Diminum, Puti..” pinta Diah pada sang majikan.
“Ga usah catokan, Di.. aku mau tidur kok ini,” ucap Aini pada sang Dayang. Ia bisa melihat Dian memegang sebuah catokan melalui bayangan yang dihasilkan oleh cermin yang terletak setengah meter darinya saat ini.
Diah mengunci rapat mulutnya. Hanya ini yang bisa ia lakukan untuk Puti Aini, menemaninya. Karena majikannya ini menolak untuk bercerita dan Diah pun tidak akan memaksa. Kalau Puti Aini tidak ingin bercerita berarti ini adalah sesuatu yang tidak boleh diketahui oleh sembarangan orang. Puti Aini adalah orang yang realistis, Diah percaya setiap tindakanya punya maksud dann tujuan yang jelas.
“Di!”
“Sebentar aja, Puti,”
“Boleh tolong ambilkan ponselku, Di?” tanya Aini. Salah satu yang membedakan ia dan Nia adalah bahwa Aini selalu meminta tolong sedangkan Nia tidak pernah tidak memerintah.
Setelah mendapatkan ponselnya yang Aini sadar bahwa benda itu adalah benda yang jauh lebih canggih dari ponsel tujuh tahun yang lalu. Aini baru akan menyentuh layarnya tapi benda itu sudah langsung menyala. Menampilkan wajah Nia yang tampak begitu bahagia.
Aini menoleh ke belakang, “I- ini.. polanya apa? Passwordnya apa?” tanya nya pada Diah.
Diah menyatukan kedua alisnya bingung. Tapi karena sang putri tetap menanti jawabannya, akhirnya ia kembali membuka mulutnya. “Wajah sama sidik jari Puti sendiri, ‘kan?” Alih-alih menjawab, Diah terdengar seperti bertanya pada dirinya sendiri.
‘Hah?’ Aini menatap kembali layar ponselnya yang ternyata hanya punya tiga tombol saja dan itupun hanya di sisi bodi samping ponsel sedangkan yang bagian depan layar blas. Setelah itu ia balik lagi menatap Diah. “Di- dimana aku harus tempelkan sidik jariku?” Karena Aini merasa sidik jari adalah pilihan terbaik. Wajahnya jauh lebih lebar dari layar ponsel ini sehingga tidak opsi pertama jadi terdengar lebih mudah.
‘Duh, Puti kena sambar petir ya tadi?’ tanya Diah membatin. Kemudian tanpa mengurangi rasa hormat ia mengambil jari telunjuk kanan sang Putri dan menempelkannya ke layar. “Di sini. Tapi ini udah kebuka kok, Puti.. ponsel zaman sekarang kan ada sensor pendeteksi wajah. Jadi kalo berhadapan sama wajah anda, dia kebuka otomatis kecuali keadaan emang redup banget.”
Aini mengangguk takjub. Untuk beberapa menit kemudian ia sibuk mengacak-acak ponselnya Nia. Mencari aplikasi note tempat ia dan Nia sering bertukar pesan waktu itu. Ada begitu banyak aplikasi yang di zaman Aini belum ada. Karena dirinya paling familiar dengan w******p, Aini memilih aplikasi itu saja.
“Di, kamu jangan ngintip ya!” ucap Aini setelah mengundang Bang Ramdan pada grup baru yang ia buat. Setelah grup itu berhasil dibuat Aini segera mengeluarkan Bang Ramdan dari grup.
“Iya, Puti..”
Kemudian di sisa waktu yang ada, selagi Diah menyelesaikan pekerjaannya mencatok rambut yang sama sekali tidak Aini minta, dia justru melakukan hal lain. Mengetikkan apa saja yang sudah terjadi selama dua hari ini pada Nia. Tepat saat Diah selesai, Aini pun selesai dengan sesi curhat atau sebut saja melapornya pada Nia. Ia sudah menyematkan grup yang baru itu sehingga pasti akan langsung ditemukan oleh Nia.
“Sudah?” tanya Aini pada Diah yang dijawab dengan anggukan.
“Sekarang anda sudah cantik untuk tidur.” Diah meletakkan kedua tangannya di lengan atas sang majikan untuk menariknya berdiri kemudian mendorongnya pelan menuju ranjang. Setelah itu baru pamit.
“Di, boleh aku peluk kamu sebentar?” tanya Aini pada Dayangnya yang sudah bersiap keluar dari kamar. Aini mendekati Diah yang tampak bingung kemudian memeluknya erat. Mengucapkan salam perpisahannya. “Yang betah ya sama Nia..” ucap Aini sambil mengelus punggung Dayang kesayangannya itu.