P. S. I Hate You 16

1416 Kata
Diah mondar mandir di dalam kamarnya. Jarum pendek pada jam yang terpajang di dinding baru menunjukkan pukul sembilan. Itu artinya sudah beberapa jam sejak Puti tidur. Entah kenapa, hari ini Diah tidak suka dengan sang majikan yang tidur awal. Biarlah Puti Aini-nya terjaga sampai tengah malam dengan dirinya yang bolak-balik mengingatkan untuk tidur. Diah lebih memilih dirinya yang kerepotan dari pada dirinya yang jadi tidak punya apa-apa untuk dikerjakan seperti sekarang. Memantapkan hatinya sekali lagi, Diah berniat mengecek keadaan Puti Aini. Sang Dayang membuat langkahnya begitu pelan saat memasuki kamar itu. Begitu berhasil masuk ia  berdiri untuk beberapa saat. Mengamati apakah ada pergerakan yang menunjukkan tidur majikannya terganggu atau tidak. Namun kemudian ia menyerngit bingung. Kenapa Puti Aini tidur di pinggir ranjang, heh? Seingat Diah yang selama tujuh tahun belakangan selalu masuk untuk menyiapkan air hangat juga pakaian sang putri, tidak lupa membangunkannya, Puti Aini selalu tidur tepat di tengah ranjang. Setelah lama berpikir, Diah kemudian menepuk jidatnya sendiri. Saking parnoan, ia bahkan sampai mencurigai posisi tidur sang majikan. Berjalan dengan melihat pada lantai, takut menginjak sesuatu sehingga membuat keributan, beberapa detik kemudian Diah sampai di sisi ranjang yang majikannya tiduri. Meski dirinya sendiri panas dingin, Diah tetap mengulurkan punggung tangan kanannya pada jidat Puti. Tentunya setelah terlebih dahulu menarik lengan bajunya agar tidak menyapu wajah bak dewi itu. Tepat setelah punggung tangannya mendarat di jidat Puti Radinka Aini Jebat, darahnya berdesir. Bersamaan dengan hal itu Diah terjatuh dengan p****t yang lebih dahulu mengenai lantai. Meskipun tidak langsung pada lantai melainkan pada karpet yang tebal, rasanya tetap saja sakit. “Siapa yang mengizinkan kamu memegangku? Sebelum itu siapa yang mengizinkamu masuk ke kamarku?” tanya Aini masih dengan posisi berbaring. Bedanya tadi saat masih terpejam wajahnya bak seorang dewi sedangkan sekarang sangar sekali. Diah betul-betul ingat saat pertama kali ia mengecek keadaan Puti satu atau dua jam yang lalu. Majikannya itu tidak semarah ini. Satu atau dua jam yang lalu Diah juga melakukan hal yang sama, yaitu mengecek suhu sepupunya Sultan Ramdan ini. Bedanya ketika dirinya ketahuan untuk pertama kalinya, Puti hanya membuka mata kemudian mengatakan bahwa ia tidak sakit sama sekali kemudian meminta Diah  agar segera beristirahat. Katanya besok akan jadi hari yang panjang. Tapi kenapa barusan Diah seperti ditegur oleh penjaga neraka? Dan Diah tidak pernah begitu takut saat melihat majikannya bangun dari posisi berbaringnya. Duduk, lalu menggeliat seperti baru saja bangun dari tidur yang begitu lama. Kenapa Diah bilang begitu? Karena alih-alih bertanya jam berapa sekarang, Puti Aini justru bertanya tanggal berapa sekarang dan memastikan tahun sama sekali belum berganti. “Tadi aku sudah cuci muka? Sudah pakai toner, serum, krim malam? Sudah lewat satu jam sejak terakhir kali makan baru aku tidur ‘kan? Aku ga makan coklat ‘kan? Kenapa kamu ga jawab aku Diah? Kamu mau aku merepet sampai besok pagi? Diah yang terduduk dengan kedua tangan menopang bobot tubuhnya di belakang punggung merasa butuh waktu untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi. Bener sih, ini yang selalu Diah hadapi, majikan yang tidak sabaran juga emosian. Bertahun-tahun mengabdi dan yang paling berkesan baginya justru masa-masa selama beberapa tahun terakhir. Di mana ia tunggang langgang melayani wanita ini. Miris bukan? Dan apanya yang sudah cuci muka, pakai toner, serum, dan krim malam. Bukannya tadi Puti mandi tanpa sabunan sama sekali? Hanya berdiri di bawah shower dengan mata kosong seperti orang yang sedang mengalami kemalangan. “Fateh? Fateh gimana? Dia jadi datang? Lama ngobrol sama aku?” Diah.. Diah.. kamu bikin salah apa semalam? Atau hari ini tuh hari mengerjai sedunia? Tadi majikanmu berpura-pura tidak tau caranya membuka smartphone lah sekarang dia sok-sok-an lupa dengan orang yang dia temui beberapa jam yang lalu. “DIAH!” pekik Aini atau sekarang kita sebut Nia saja. Ga perlu di tanya lah, ga perlu ragu. Pasti dia. “Ta- tadi Fateh datang. Dia datang, Puti.. dan ngobrolnya ga lama karena dia yang kaya badmood gitu gara-gara anda lebih mendahulukan calon suami anda.” Diah bangkit kemudian berdiri dengan sopan meski tangannya ingin sekali meraba p****t yang masih cenat cenut. “Ulangi sekali lagi!” pinta Nia melotot. Glek. Aku salah ngomong atau bagaimana? Ini Puti beneran ga disambar petir ‘kan ya, tadi? “Calon suamiku datang?” tanya Nia. Cinta pertamanya datang berkunjung tapi bukan dirinya yang pria itu temui? Lucu sekali dunia ini. Mentang-mentang dirinya adalah si palsu lalu dunia hendak mencibirnya begitu? Apa dirinya hanya boleh menggantikan Aini si pengecut tapi tidak diizinkan untuk merasakan manisnya cinta? “Da- datang,” jawab Diah ragu-ragu. Antara dimarahi karena menjawab atau dimarahi karena tidak menjawab. Nia memijit pangkal hidungnya. Kalau harus bersaing dengan wanita lain mah dia pasti menang. Tapi kalau bersaing dengan Aini belum tentu. Pertama Aini itu tipe cewek yang pasti disukai oleh cowok karena dia bisa dikibulin. Nia berani bertaruh semua orang akan menikahi Aini karena mudah diselingkuhi dan kalaupun ketahuan yang bisa Aini lakukan hanyalah menangis dan pasrah pada keadaan. Kedua, Nia tidak bisa langsung melabrak Aini karena kalau dia muncul berarti Nia yang bersembunyi dan sebaliknya. Nia yang melabrak Aini itu seperti matahari yang mengejar bulan. Alias mustahil. Tanpa menoleh pada Dayangnya itu, Nia menggerakkan tangannya. Menyuruh Diah untuk segera pergi dari kamarnya. Nia sungguh ingin bertemu dengan Aini sekali saja hanya untuk mencoba menjambak rambut cewek itu. Bangkit dari ranjang, Nia kemudian melakukan semua ritual malamnya yang tentu saja tidak akan dilakukan oleh Aini pada tubuh mereka. Si Tuan Putri itu ‘kan taunya tinggal beres. Tau-tau cantik aja gitu. Satu jam kemudian saat ia sudah masuk kembali ke dalam selimut, Nia mencoba menjemput kantuk dengan memainkan ponselnya. Siapa sangka ia justru menemukan sesuatu yang membuat kantuk tidak akan sanggup menyinggahinya? Ada sebuah grup aneh bernama Aini yang disematkan sehingga berada pada baris paling atas. Lihat? Nia bahkan tidak bisa punya privasi kalau dengan Aini. Dulu memang aturannya apa yang milik Nia adalah milik Aini. Sekali lagi itu dulu. Sekarang mah semuanya milik Nia. Dengan hati yang hitam seperti arang, ia mengetikkan pesan untuk Aini dengan mengabaikan apa yang tertulis sebelumnya.   Jangan sembarangan periksa ponsel orang ya! Jangan makan sembarangan! Paling penting nih, jangan kegatelan sama ARIF. Dia milikku!   Setelah selesai dengan uneg-unegnya, dan kebetulan ia masih belum mengantuk Nia menggulir layar ponselnya ke bawah. Satu detik. Dua detik. Tiga detik. Empat detik. Senyum senang muncul begitu saja di wajahnya. Untuk memastikannya, Nia membaca sekali lagi chat dari Aini dari awal sampai akhir.   Jangan pernah kasih tanah itu sama Fateh, ya, Nia. Tanah itu ga untuk dijual sama siapapun terlepas dari berapapun harga yang mereka tawarkan. Juga jangan biarkan Fateh bangun mall bla-bla-bla-bla…   Nia mengangguk-angguk pelan sambil mencebikkan bibirnya. Mencibir Puti Aini yang memberi tahu dirinya apa yang boleh dan tidak boleh di lakukan. Sudah merasa paling benar tuh si Ai. Kalau segitu pandainya kenapa tidak urus saja dirimu sendiri, hah? Namun begitu Nia kembali memasang senyum bahagianya saat membaca chat berikutnya.   Aku ga tau mau cerita sama siapa lagi. Kamu orang terdekatku. Aku bener-bener patah hati, Nia. Fateh sudah menikah dan punya dua anak. Jadi sekarang apapun rencana kamu sama Bang Arif, setelah kamu pastikan sendiri kalau dia orang yang baik, menikahlah. Nikah sama dia. Hari ini Bang Arif datang. Kayaknya mau ketemu sama kamu tapi karena yang ada itu Aini, dia jadi buru-buru pergi gitu. Baik-baik sama Diah, ya, Nia.. jangan menyusahkannya. Titip Bang Ramdan sama Azka. Pakai baju tidur yang sopan. Kamu ga tau rumah bisa kemasukan maling atau engga. Jaga diri.   “Ini kamu serius mau musnah, ‘kan, Ai?” tanya Nia dengan derai tawanya. Meski Aini tidak mengucapkan kalimat selamat tinggal dengan jelas, Nia tetap tau apa maksudnya. Sudah pasti Aini kehilangan niat untuk menguasai tubuhnya kembali saat mengetahui Fateh kecintaannya itu sudah menikah. Cowok yang sampai sekarang Nia tidak tau tampangnya itu memang berbahaya untuk kelangsungan hidupnya. Hanya mengetahui bahwa Fateh akan datang menemuinya saja Aini langsung mendapat kekuatan untuk bangkit. Dua hari dong Nia dibuat tidak berdaya. Baguslah kalau Aini kita patah hati, dia jadi seperti burung yang patah sayapnya. Tidak bisa kemana-mana lantaran tidak berdaya. “Ramdan,” panggil Nia pada ponsel yang berhasil menyambungkannya dengan sang sepupu. “Nia? Ngapain kamu telfon aku? Adikku mana?” Mengabaikan fakta bahwa Ramdan tidak suka dengan kembalinya dirinya, Nia kemudian menyahut sang sepupu tampannya. “Aku mau pesta dong, mulai sekarang hari ulang tahunku pindah jadi hari ini.” Tuuut.. sambungan telfon diputuskan begitu saja. “Heh! Kurang ajar,” gumam Nia pada ponselnya. “Oh kangen nih Ramdan sama Nia.. Kangen denger Nia merepet ini dia. Awas kau ya!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN